BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bioteknologi diartikan
sebagai penerapan prinsip ilmu dan rekayasa dalam mengolah bahan
organik dan anorganik dengan memanfaatkan makhluk hidup untuk membuat
suatu produk dan jasa yang bermanfaat bagi manusia. Makhluk hidup atau
zat hidup yang biasa dimanfaatkan dalam bioteknologi dapat berupa hewan,
tumbuhan, mikroba (misalnya bakteri dan jamur), dan enzim. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika,
dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan
yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang
dan jasa.
Bioteknologi
secara umum berarti meningkatkan kualitas suatu organisme melalui
aplikasi teknologi. Aplikasi teknologi tersebut dapat memodifikasi
fungsi biologis suatu organisme dengan menambahkan gen dari organisme
lain atau merekayasa gen pada organisme tersebut.
Sejauh
ini makhluk hidup yang paling dimanfaatkan dalam bidang bioteknologi
adalah mikroba, oleh karena itu bioteknologi memiliki hubungan yang erat
dengan mikroba. Untuk melangsungkan kehidupannya, sebagain besar
mikroba melakukan interaksi dengan makhluk hidup lain seperti tumbuhan,
hewan, dan manusia. Meskipun ada pula mikroba yang dapat hidup secara
bebas di alam. Interaksi tersebut dapat bersifat menguntungkan dan
merugikan bagi mahluk hidup tersebut.
Secara umum, pada penulisan makalah ini akan dibahas mengenai interaksi mikroba yang dibagi atas bakteri, fungi, protozoa dan virus dengan aplikasinya pada hewan. Interaksi hewan dengan mikroba ada yang bersifat menguntungkan dan merugikan. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari kajian bioteknologi antara mikroba dengan hewan maka akan dikaji secara mendalam interaksi antara mikroba dengan hewan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan interaksi?
2. Bagaimana interaksi antara mikroba dengan hewan?
3. Bagaimana hubungan mikroba dengan siklus biogeokimia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian interaksi.
2. Untuk mengetahui interaksi antara mikroba dengan hewan.
3. Untuk mengetahui hubungan mikroba dalam siklus biogeokimia.
1.4 Manfaat Penulisan
Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dalam bidang bioteknologi khususnya terkait dengan interaksi mikroba dengan hewan.
Bagi pembaca
Dapat
mengetahui interaksi antara mikroba dengan hewan serta dapk yang
ditimbulkan dari interaksi tersebut misalnya dapat menimbulkan penyakit
sehingga dapat sesegara mungkin mengupayakan pencegahan terhadap
penyakit tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Interaksi
Interaksi
adalah hubungan yang saling mempengaruhi antara komponen yang satu
dengan komponen yang lain dalam suatu ekosistem yang bersifat dinamis.
Interaksi antar mikroorganisme yang menempati suatu habitat yang sama akan memberikan
pengaruh positif, saling menguntungkan dan pengaruh negatif; saling
merugikan dan netral; tidak ada pengaruh yang berarti. Interaksi yang
“netral” sebenarnya jarang terjadi hanya dapat terjadi dalam keadaan
dorman seperti endospora. Beberapa macam interaksi yang meungkin terjadi antara mikoorganisme dengan organisme lain dapat dilukiskan dalam tabel 1.1 di bawah ini:
Macam Interaksi
|
Organisme A
|
Organisme B
|
Komensalisme
|
+
|
0
|
Mutualisme
|
+
|
+
|
Neutralisme
|
0
|
0
|
Antagonisme
- Amensalisme
- Parasitisme
- Predasi
|
0
+
+
|
-
-
-
|
Keterangan :
+ = memberikan pengaruh menguntungkan
- = memberikan pengaruh merugukan/menekan pertumbuhan
0 = tak memberikan pengaruh.
2.2 Interaksi Yang Terjadi Antara Mikroba Dengan Hewan
2.2.1 Interaksi Bakteri Bioluminesensi dengan ikan
Berbagai
keanekaragaman makhluk hidup yang ada merupakan salah satu tanda dari
keagungan Tuhan atas semua ciptaan-Nya yang ada di alam raya. Semua
mekhluk yang diciptakan Tuhan pastilah memiliki keunikan atau
karakteristik tersendiri yang membedakan dari organisme lainnya.
Karakteristik tersebut berfungsi untuk kelestarian dan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dari suatu organisme. Keunikan
tersebut dapat berupa kemapuan merubah diri atau berkamuflase ataupun
ada organ tambahan, seperti labirin ataupun antena.
Samudera
merupakan salah satu habitat dari organisme. Ada oganisme yang hidup di
permukaan samudera, dan ada yang hidup pada kedalaman samudera. Keadaan
kedalaman samudera dingin, gelap, dan tenang. Tidak ada tumbuhan yang
dapat tumbuh disana, sehingga hewan memakan hewan lain atau tumbuhan
mati dan hewan yang tenggelam perlahan-lahan dari permukaan. Hewan yang
tinggal di laut yang dalam dilengkapi dengan organ tamabahan yang unik.
Organ ini berfungsi sebagai penunjang kelangsungan hewan tersebut untuk
hidup di kedalaman laut.
Umumnya
ikan yang hidup di perairan laut dalam memiliki kemampuan menghasilkan
pendaran cahaya. Cahaya yang dikeluarkan tersebut dinamakan bioluminescens,
yang umumnya bewarna biru atau biru kehijau-hijauan. Terdapat dua
sumber cahaya yang dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada
kulit, yaitu warna yang dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis
dengan ikan dan cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri. Ikan-ikan
yang dapat mengeluaran cahaya umumnya tinggal di bagian laut dalam dan
hanya sedikit yang hidup diperairan dangkal. Bioluminesensi adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia tertentu.
Bakteri bioluminesensi (bakteri sumber cahaya)
Bakteri
bercahaya telah ditemukan di laut, pesisir, dan lingkungan terestrial.
Ada sembilan jenis bakteri laut penghasil cahaya yaitu: Photobacterium
phosphoreum, Photobacterium leiognathi, Alteromonas hanedai, Vibrio
logei, Vibrio fischeri, Vibrio harveyi, Vibrio splendidus, Vibrio orientalis, dan Vibrio vulnificus. Bakteri Terestrial adalah luminescens Photorhabdus dan Vibrio cholerae biotipe albensis.
Bakteri
bercahaya terestrial terutama ditemukan dalam hubungan simbiotik dengan
nematoda bertindak sebagai parasit untuk ulat. Jamur juga dapat
menerangi malam. Jamur bercahaya menghasilkan cahaya kontinyu (tidak
berdenyut) dalam tubuh buah dan miselium dari beberapa agarics.
Contohnya adalah Armillaria mellea dan Mycena spp.
Hal
ini diyakini bahwa jamur bercahaya menggunakan cahaya mereka untuk
menarik serangga yang akan menyebarkan spora fungis untuk meningkatkan
reproduksi.
Bakteri
bercahaya adalah pemancar cahaya yang paling banyak didistribusikan
organisme dengan mayoritas yang ada dalam air laut dan sisanya tinggal
di lingkungan darat atau air tawar. Sementara sebagian besar spesies
bakteri bercahaya mampu hidup bebas, sebagian besar ditemukan di alam
terkait dalam simbiosis dengan organisme host yaitu: ikan, cumi, kepiting, nematoda, dll
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2) atau (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β). Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan oleh gen luxB. Selain luciferase,
masih terdapat beberapa enzim lain yang terlibat dalam keseluruhan
reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut operon lux.
Bioluminesensi pada ikan
Cahaya yang dikeluarkan oleh mahluk hidup dinamakan bioluminescens,
yang umumnya bewarna biru atau biru kehijau-hijauan. Terdapat dua
sumber cahaya yang dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada
kulit, yaitu warna yang dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis
dengan ikan dan cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri. Ikan-ikan
yang dapat mengeluaran cahaya umumnya tinggal di bagian laut dalam dan
hanya sedikit yang hidup diperairan dangkal. Sebagian dari padanya
bergerak ke permukaan untuk ruaya makanan.
Di laut dalam terletak antara 300 – 1000 meter dibawah permukaan laut. Sel pada kulit ikan yang dapat mengeluarkan cahaya disebut sel
cahaya atau photophore (photocyt). Ini biasanya terdapat pada golongan
Elasmobranchii (Sphinax, Etmopterus, Bathobathis moresbyi) dan Teleostei
(Stomiatidae, Hyctophiformes, Batrachoididae).
Cahaya
yang dikeluarkan oleh bakteri yang hidup bersimbiosis dengan ikan,
misalnya terdapat pada ikan-ikan dari famili Macroridae, Gadidae,
Honcentridae, Anomalopodidae, Leiognathidae, Serranidae, dan
Saccopharyngidae.
Di Laut Banda ikan leweri batu (Photoblepharon palpebatrus) dan leweri air (Anomalops katoptron), yang keduanya termaksud kedalam famili Anomalopodidae, mempunyai bakteri cahaya yang terletak dibawah matanya. Kedua ikan tersebut hidup di perairan dangkal. Anomalops mengeluarkan cahaya yang berkedap-kedip secara teratur yang dikendalikan oleh organ cahaya yang keluar masuk suatu kantong pigmen hitam dibawah mata. Photoblepharon menunujukan suatu cahaya yang menyala terus, tetapi dapat pula dipadamkan oleh suatu lipatan jaringan hitam yang menutupi organ cahayanya.
Bakteri
yang dapat mengeluarkan cahaya terdapat didalam kantung kelenjar di
epidermis. Pemantulan cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri diatur oleh
jaringan yang berfungsi sebagai lensa.
Pada
bagian yang berlawanan dengan lensa banyak pigmen yang berfungsi
sebagai pemantul. Ada juga kelenjar yang berisi bakteri itu dikelilingi
oleh sel-sel pigmen itu seluruhnya. Pemencaran cahaya yang dikeluarkan
oleh bakteri diatur oleh konstraksi pigmen yang berfungsi sebagai iris
mata. Pada ikan Malacochepalus (yang hidup di laut dalam), pengeluaran cahayanya mempunyai peranan dalam pemijahan. Kekuatan cahayanya dapat menerangi sampai sejauh 10 meter dengan panjang gelombang 410 – 600 mμ. Pada musim pemijahan, bila ikan jantan bertemu dengan ikan betina, maka si jantan akan membimbing betinanya untuk mencari tempat yang baik untuk berpijah. Cahaya yang dikeluarkan oleh ikan jantan dipakai sebagai isyarat untuk diikuti oleh si betina. Angler fish (Linophyrin bravibarbis) yang terdapat di dasar laut mempunyai tentakel yang bercahaya. Diduga ikan ini mempunyai kultur bakteri yang terdapat pada kulitnya
Tentakel yang ujungnya mempunyai jaringan yang membesar itu digerakan diatas kultur bakteri tersebut, sehingga bakteri yang bercahaya terbawa oleh tentakel untuk menarik perhatian mangsanya.
Antenna
ikan angler yang dapat mengeluarkan cajaya di kegelapan merupakan
peristiwa bioluminense. Bioluminesen merupakan pancaran sinar oleh
organisme sebagai hasil dari oksidasi dari berbagai substrat dalam
memproduksi enzim. Susunan substrat yang sangat stabil disebut dengan
lusiferin, dan enzim yang sangat sensitive sebagai katalisator oksidasi
disebut lusiferase.
Bioluminesen
dapat diproduksi oleh bakteri, jamur, ataupun binatang invertebrate
lain. Dari sekian banyak hewan bertulang belakang, hanya kelas Pisces
yang mampu memproduksi sinar. Ikan menghasilkan bioluminesen dengan dua
cara, yaitu dihasilka oleh pori-pori yang bercahaya ataupun organ yang
mampu bersimbiose dengan bakteri atau organisme lain penghasil sinar.
Sehingga, cahaya yang terdapat pada antenna ikan angler sebenarnya
berasal dari organ yang bersimbiosis dengan jutaan bakteri yang
mengeluarkan cahanya sendiri.
Fungsi
dari antenna ikan angler yang bercahaya yaitu digunakan untuk menaksir
kedalaman laut dimana ikan tersebut tinggal. Fungsi lain yaitu untuk
menarik dan mengecoh perhatian mangsanya, serta untuk menyinari
ligkungan sekitarnya. Antenna bercahaya pada ikan angler juga dapat
menyala atau mati, sehingga mengecoh ikan-ikan kecil ataupun mangsa yang
lain untuk mendekat, sehingga dengan mudah ikan angler dapat menangkap
mangsanya.
Organ cahaya pada ikan ialah sebagai tanda pengenal individu ikan
sejenis, untuk memikat mangsa, menerangi lingkungan sekitarnya,
mengejutkan musuh dan melarikan diri, sebagi penyesuaian terhadap
ketiadaan sinar di laut dalam dan diduga sebagai ciri ikan beracun. Ikan
angler tidak banyak melakukan gerakan, bahkan cenderung pasif. Hal
tersebut bertujuan untuk menghemat energy dikarenakan makanan yang
tersedian di kedalaman laut sangat sedikit.
Antenna
yang bercahaya hanya terdapat pada antenna ikan angler betina. Ukuran
ikan angler betina lebih besar dengan panjang sekitar 8 cm, sedangkan
ukuran ikan angler jantan lebih kecil dengan panjang hanya sekitar 3 cm.
sehingga yang menarik pasangan adalah ikan betina. Antenna yang berada
pada ikan angler betina berfungsi untuk menarik lawan jenis. Ikan jantan
yang berukuran lebih kecil akan menempelkan organ perekatnya pada
bagian sirip ikan betina, sehigga ikan jantan mengikuti kemanapun ikan
betina bergerak. Ikan jantan juga mendapatkan makanan dari ikan betina.
Sehingga dapat dikatakan ikan angler jantan seperti parasit pada ikan
betina, namun dari simbiose tersebut, ikan angler jantan secara permanen
menjadi pasangan serasi bagi ikan betina.
Aplikasi Bioluminesensi
1. Bidang medis
Adanya
penemuan tentang bioluminesensi telah dimanfaatkan manusia di dalam
berbagai bidang, salah satunya adalah bidang medis. Di bidang tersebut
bioluminesensi dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang disebut bioluminescence imaging (BLI).
Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel kanker dalam tubuh dapat diketahui
sehingga tindakan perawatan yang tepat dapat ditentukan. Temuan ini juga
dapat mempermudah riset mengenai perawatan atau obat kanker yang
efektif dapat mengatasi penyakit tersebut karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah.
2. Sebagai gen pelapor
Bioluminesensi juga telah dimanfaatkan sebagai gen pelapor untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca manusia. Penggunaan bioluminesensi sebagai gen pelapor juga telah diaplikasikan pada tanaman transgenik hasil rekayasa genetika. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan gen dari kunang-kunang pada tanaman tembakau transgenik yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens untuk mengamati ekspresi dari gen yang dimasukkan ke tanaman tembakau tersebut. Dalam bidang ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat digunakan untuk pembuatan biosensor
untuk mendeteksi keberadaan polutan atau kontaminan tertentu di
lingkungan. Salah satu contoh yang telah diaplikasikan adalah pembuatan
biosensor untuk deteksi senyawa ekotoksik organotin.
3. Industri makanan
Dalam industri makanan, bioluminesensi yang memanfaakan penggunaan ATP juga telah dimanfaatkan untuk mendeteksi mikroba patogen yang terkandung di dalam makanan.
2.2.2 Interaksi antara Rayap dengan Flora Usus
Rayap di daerah subtropik disebut dengan “semut putih (white ants)
karena memiliki morfologi yang mirip dengan semut. Berdasarkan hubungan
evolusi (filogeni), tidak ada hubungan antara rayap dengan semut.
Hubungan lebih dekat terjadi antara rayap dengan kecoa (Blattodea) (Lo et al. 2000; Inward et al. 2007).
Rayap
merupakan salah satu kelompok serangga dengan jumlah keragaman yang
besar. Rayap (Ordo Isoptera) terdiri atas tujuh family, yaitu
Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae,
Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae. Sampai sekarang sudah
tercatat 14 subfamili, 281 genus dan lebih dari 2600 spesies termasuk
dalam kelompok ini (Kambhampati dan Eggleton 2000).
Rayap
merupakan serangga sosial yang memiliki pembagian tugas yan jelas yang
dinyatakan dalam pembagian kasta. Berdasarkan kemampuan bereproduksi
rayap dibagi menjadi dua kasta yaitu kasta reproduktif dan kasta steril
(Krishna 1969; Lee & Wood 1971).
Kasta
reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan reproduktif sekunder.
Kasta reproduktif primer (pendiri koloni) disebut laron terdiri atas
jantan (raja) dan betina (ratu). Ciri khas kasta reproduktif primer
adalah adanya sepasang sayap pada bagian toraks. Sedangkan kasta
reproduktif sekunder berfungsi menggantikan kasta reproduktif apabila
raja dan ratu mati atau untuk menambah jumlah telur apabila telur yang
dihasilkan oleh ratu tidak mencukupi kebutuhan koloni (Krishna 1969).
Kasta
steril terdiri atas pekerja dan prajurit. Ciri dari kasta ini adalah
tidak adanya sayap dan perkembangan organ seksual ditekan atau tidak
berkembang. Pekerja bertanggung jawab untuk mencari makan dan memelihara
telur, larva dan ratu. Larva, prajurit, dan ratu tidak mampu untuk
member makan dirinya sendiri sehingga bergantung pada makanan yang
diberikan pekerja. Jumlah pekerja mencapai 90% dari seluruh anggota
koloni. Rayap prajurit bertugas menjaga koloni dari serangan musuh dan
juga menjaga pekerja yang mencari makan di sekitar sarang. Prajurit
dibedakan dengan pekerja berdasarkan modifikasi bagian mulut dan kepala
yang mengalami kitinasi yang kuat, biasanya terpigmentasi dan seringkali
lebih besar daripada ukuran kepala kasta yang lain (Krishna 1969).
Secara
umum makanan rayap adalah semua bahan yang mengandung selulosa. Bignell
dan Eggleton (2000), membagi rayap menjadi beberapa kelompok
berdasarkan jenis makanannya. Pertama, rayap pemakan tanah (soil feeder)
yang mendapatkan makanan dari mineral tanah. Material yang dicerna
sangat heterogen, mengandung banyak bahan organik tanah dan silica.
Rayap jenis ini ditemukan pada Apicotermitinae, Termitinae,
Nasutitermitinae, dan Indotermitinae. Kedua, rayap pemakan kayu (wood-feeder)
yang mendapatkan makanan dengan memakan kayu dan sampah berkayu,
termasuk cabang mati yang masih menempel di pohon. Hampir semua rayap
tingkat rendah adalah pemakan kayu, semua subfamily dari Termitinae
kecuali Apicotermitinae, Termitinae, dan Nasutitermitinae.
v Simbiosis pada saluran pencernaan rayap
Saluran
pencernaan rayap terdiri atas usus depan, usus tengah, dan usus
belakang. Saluran pencernaan ini menempati sebagian besar dari abdomen.
Usus depan terdiri atas esofagus dan tembolok yang dilengkapi dengan
kelenjar saliva. Esofagus dan tembolok memanjang pada bagian posterior
atau bagian tengah dari thorak. Kelenjar saliva mensekresikan
endoglukanase dan enzim lain ke dalam saluran pencernaan. Usus tengah
merupakan bagian yang berbentuk tubular yang mensekresikan suatu
membrane peritrofik di sekeliling material makanan. Usus tengah pada
rayap tingkat tinggi juga diketahui mensekresikan endoglukonase. Usus
belakang merupakan tempat bagi sebagian besar simbion (Noirot &
Noirot-Timothee 1969; Scharf & Tartar 2008)
Berdasarkan
simbiosisnya dengan mikroorganisme rayap terbagi atas dua kelompok
yaitu, rayap tingkat tinggi yang bersimbiosis dengan bakteri dan rayap
tingkat rendah yang bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa. Rayap
tingkat tinggi mempunyai sistem pencernaan yang lebih berkembang
dibandingkan rayap tingkat rendah karena menghasilkan enzim selulase
selama proses pencernaan selulosa dalam usus belakangnya.
Rayap
bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa pada saluran pencernaannya.
Pada rayap tingkat rendah lebih banyak bersimbiosis dengan protozoa
dibandingkan dengan bakteri, sebaliknya pada rayap tingkat tinggi lebih
banyak bersimbiosis dengan bakteri dibandingkan dengan protozoa (Krishna
1969; Bignell 2000; Breznak 2000).
Protozoa yang bersimbiosis dengan rayap tingkat rendah berbeda pada tiap spesies. Zootermopsis angusticollis bersimbiosis dengan Tricercomitis, Hexamastix, dan Trichomitopsis. Mastotermes darwiniensis bersimbiosis dengan Mixotricha paradoxa (Breznak 2000). Coptotermes formosanus bersimbiosis dengan Pseudotrichonympha grasii, Spirotrichonympha leidy, Holomastigoides mirabile (Inoue et al. 2005; Nakashima et al. 2002b), dan Holomastigoides hartmanni (Tanaka et al. 2006). Coptotermes lacteus bersimbiosis dengan Holomastigoides mirabile (Watanabe et al. 2002). Reticulitermes speratus bersimbiosis dengan Teranympha mirabilis, Triconympha agilis (Ohtoko et al. 2000), Dinenympha exilis dan Pyrsonympha grandis (Todaka et al.2007)
Sedangkan beberapa contoh bakteri simbion pemecah selulosa pada rayap adalah bakteri fakultatif Serratia marcescens, Enterobacter erogens, Enterobacter cloacae, dan Citrobacter farmeri yang menghuni usus belakang rayap spesies Coptotermes formosanus (famili Rhinotermitidae) dan berperan memecah selulosa, hemiselulosa dan menambat nitrogen.
Penelitian lain mengatakan protozoa
yang menghuni usus rayap tidaklah bekerja sendirian tetapi melakukan
simbiosis mutualisme dengan sekelompok bakteri. Flagella yang dimiliki
oleh protozoa tersebut ternyata adalah sederetan sel bakteri yang
tertata dengan baik sehingga mirip flagella pada protozoa umumnya.
Bakteri yang menyusun flagella memberikan motilitas pada protozoa untuk
mendekati sumber makanan, sedangkan ia sendiri menerima nutrien dari
protozoa. Contoh genus bakteri ini adalah Spirochaeta dengan Trichomonas
termopsidis sebagai simbionnya.
Ada
beberapa hipotesis tentang peranan bakteri yang terdapat pada usus
belakang rayap tingkat tinggi yaitu melindungi rayap dari bakteri asing,
asetogenesis, fiksasi nitrogen, methanogenesis, dan metabolisme piruvat.
Meskipun bakteri tidak melibatkan diri secara langsung dalam proses
pencernaan rayap namun bakteri ini akan disebarkan oleh rayap pekerja
kepada nimfa-nimfa baru.
Perilaku
rayap yang sekali-kali mengadakan hubungan dalam bentuk menjilat,
mencium dan menggosokkan anggota tubuhnya dengan lainnya (perilaku
trofalaksis) merupakan cara rayap menyampaikan bakteri dan protozoa
berflagellata bagi individu yang baru saja ganti kulit (ekdisis) untuk
menginjeksi kembali invidu rayap tersebut. Di samping itu, juga
merupakan cara menyalurkan makanan ke anggota koloni lainnya.
Sama
seperti pada rayap tingkat tinggi, bakteri yang terdapat dalam usus
belakang rayap tingkat rendah juga mempunyai peranan dalam proses
pencernaan makanan, meskipun bakteri ini tidak berperan utama dalam
proses dekomposisisi selulosa. Protozoa yang terdapat pada usus belakang
rayap tingkat rendah merupakan protoza flagellata. Lebih dari 400
spesies protozoa flagellata telah diidentifikasi dalam usus belakang
rayap tingkat rendah. Biomassa mikroba ini meliputi sekitar sepertujuh
sampai dengan sepertiga berat rayap. Protozoa ini mempunyai peranan
penting dalam metabolisme selulosa dan berfungsi menguraikan selulosa
dalam proses percernaan makanannnya menghasilkan asetat sebagai sumber
energi bagi rayap.
Hasil
penelitian Belitz and Waller (1998) menunjukkan bahwa defaunasi
protozoa dalam usus belakang rayap dengan menggunakan oksigen murni
menyebabkan kematian rayap sekitar dua sampai tiga minggu walaupun
diberi kertas saring yang mengandung selulosa. Namun rayap ini akan
hidup lebih lama dengan makanan yang sama dengan adanya kehadiran
protozoa dalam usus belakangnya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan
rayap sangat tergantung pada mikroba simbiosisnya. Hal ini juga
menunjukkan bahwa proses penguraian selulosa dalam usus belakang rayap
berlangsung dalam keadaan anaerobik.
Beberapa
bakteri yang menghuni usus rayap juga diketahui dapat menghasilkan
factor tumbuh berupa vitamin B yang dapat digunakan oleh rayap, seperti
spesies Enterobacter agglomerans, mampu melakukan fiksasi nitrogen
(Atlas % Bartha 1998). Beberapa metanogen juga ditemukan sebagai
endosimbion pada beberapa protozoa pada serangga.
2.2.3 Interaksi Mikroba pada Rumen Ruminansia
Rumen atau perut besar merupakan bagian terbesar dari susunan lambung ruminansia.
Secara garis besar terdapat 3 kelompok utama mikroba rumen, yaitu:
bakteri, protozoa, dan jamur. Mikroorganisme di dalam retikulo-rumen
mempunyai peranan penting dalam proses fermentasi pakan. Mikroorganisme
utama yang terdapat dalam rumen adalah bakteri, protozoa, jamur (yeast)
dan kapang (mould). Proses fermentasi oleh mikroorganisme ini pada
rurninansia memegang peranan sangat penting, karena produk akhir
fermentasi yang bagi mikroorganisme itu sendiri merupakan limbah, yakni
asam lemak terbang dan beberapa vitamin, bagi induk semang justru
merupakan sumber energi dan zat yang membantu proses pencernaan
selanjutnya.
Simbiosis ini sangat menguntungkan kedua belah pihak, karena di satu pihak
mikroorganisme memerlukan bahan organik, sehingga hidupnya sangat
menggantungkan dirinya kepada bahan pakan yang dikonsumsi induk semang,
di pihak lain, induk semang yang tidak mampu mencerna serat kasar,
dengan adanya mikroorganisme ini dapat memanfaatkannya. Bahkan beberapa
vitamin yang biasanya sedikit terdapat dalam hijauan, dapat disediakan
oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdapat dalam rumen akan
dijelaskan sebagai berikut.
1. Bakteri Rumen
Sebagian
besar bakteri rumen berbentuk cocci kecil. Bakteri rumen
diklasifikasikanatas berdasarkan macam substrat yang digunakan sebagai
sumber energi utama, yakni:
a. Bakteri Selulolitik
Bakteri
ini menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan glukosida,
sellulosa dan dimer selobiosa. Sepanjang yang diketahui tak satupun
hewan yang mampu memproduksi enzim selulase sehingga pencernaan selulosa
sangat tergantung pada bakteri yang terdapat di sepanjang saluran
pencernaan pakan. Bakteri selulolitik akan dominan apabila makanan utama
ternak berupa serat kasar. Contoh bakteri selulolitik antara lain
adalah : Bacteriodes succinogenes, Ruminicoccus f lavefaciens.
b. Bakteri Hemiselulosa
Hemiselulosa
merupakan struktur polisakarida yang penting dalam dinding sel tanaman.
Mikroorganisme yang dapat menghidrolisa selulosa biasanya juga dapat
menghidrolisa hemiselulosa. Meskipun demikian ada beberapa spesies yang
dapat menghidrolisa hemiselulosa tetapi tidak dapat menghidrolisa
selulosa. Contoh bakteri hemiselulolitik antara lain: Butyrivibrio fibriosolven, Bacteriodes ruminicola.
c. Acid Utilizer Bacteria (bakteri pemakai asam)
Beberapa janis bakteri
dalam rumen dapat menggunakan asam laktat meskipun jenis bakteri ini
umumnya tidak terdapat dalam jumlah yang berarti. Asam oksalat yang
bersifat racun pada mamalia akan dirombak oleh bakteri rumen, sehingga
menyebabkan ternak ruminansia mampu mengkonsumsi tanaman yang beracun
bagi ternak lainnya sebagai bahan makanan. Beberapa spesies bakteri
pemakai asam laktat yang dapat dijumpai dalam jumlah yang banyak setelah
ternak mendapatkan tambahan jumlah makanan butiran maupun pati dengan
tiba-tiba adalah : Peptostreptococcus bacterium, Propioni bacterium.
d. Bakteri Amilolitik
Beberapa
bakteri selulolitik juga dapat memfermentasi pati, meskipun demikian
beberapa jenis bakteri amilolitik tidak dapat menggunakan memfermentasi
selulosa. Bakteri amilolitik akan menjadi dominan dalam jumlahnya
apabila makanan mengandung pati yang tinggi, seperti butir-butiran.
Bakteri amilolitik yang terdapat di dalam rumen antara lain: Bacteriodes amylophilus, Butyrivibrio fibrisolvens.
e. Sugar Untilizer Bacteria (bakteri pemakai gula)
Hampir
semua bakteri pemakai polisakarida dapat memfermentasikan disakarida
dan monosakarida. Tanaman muda mengandung karbohidrat siap terfermentasi
dalam konsentrasi yang tinggi yang segera akan mengalami fermentasi
begitu sampai di retikulo-rumen. Kesemua ini merupakan salah satu
kelemahan/kerugian dari sistem pencernaan ruminansia. Sebenarnya gula
akan lebih efisien apabila dapat dicerna dan diserap langsung di usus
halus. Bakteri pemakai gula yang terdapat di dalam rumen antara lain : Treponemma bryantii, Lactobacillus ruminus.
f. Bakteri Proteolitik
Bakteri
proteolitik merupakan jenis bakteri yang paling banyak terdapat pada
saluran pencernaan makanan mamalia termasuk karnivora (carnivora).
Didalam rumen, beberapa spesies diketahui menggunakan asam amino sebagai
sumber utama enersi. Beberapa contoh bakteri proteolitik antara lain: Bacteroides amylophilus, Clostridium sporogenes.
g. Bakteri Methanogenik
Sekitar
25 persen dari gas yang diproduksi di dalam rumen adalah gas methan.
Bakteri pembentuk gas methan lambat pertumbuhannya. Contoh bakteri ini
antara lain: Methanobacterium ruminantium, Methanobacterium formicium
h. Bakteri Lipolitik
Beberapa spesies bakteri menggunakan glycerol dan sedikit
gula. sementara itu beberapa spesies lainnya dapat menghidrolisa asam
lemak tak jenuh dan sebagian lagi dapat menetralisir asam lemak rantai
panjang menjadi keton. Enzim lipase bakteria dan protozoa sangat efektif
dalam menghidrolisa lemak dalam chloroplast. Contoh bakteri lipolitik
antara lain: Anaerovibrio lipolytica.
i. Bakteri Ureolitik
Sejumlah
spesies bakteri rumen menunjukkan aktivitas ureolitik dengan jalan
menghidrolisis urea menjadi CO2 dan amonia. Beberapa jenis bakteri
ureolitik menempel pada epithelium dan menghidrolisa urea yang masuk
kedalam rumen melalui difusi dari pembuluh darah yang terdapat pada
dinding rumen. Oleh karena itu konsentrasi urea dalam cairan rumen
selalu rendah. Salah satu contoh bakteri ureolitik ini misalnya adalah Streptococcus sp. .
2. Protozoa Rumen
Sebagian besar protozoa yang terdapat didalam rumen adalah cilliata dan flagellata. Cilliata adalah mikroorganisme non patogen dan anaerobik. Pada kondisi rumen yang normal dapat dijumpai ciliata sebanyak 105 - 106 ml dalam rumen.
Hal
ini pertama kali ditemukan oleh David Gruby dan Delafond (1843), dan
telah banyak dilakukan penelitian tentang taksonomi, fisiologi dan
nutrisi cilliata. Seperti halnya bakteri, cilliata juga mampu
memfermentasi hampir seluruh komponen tanaman
yang terdapat didalam rumen seperti: selulosa, hemiselulosa, fruktosan,
pektin, pati, gula terlarut dan lemak. Jika dibandingkan ciliata
mempunyai peranan yang lebih baik daripada bakteri yaitu sebagai sumber
protein dengan keseimbangan kandungan asam amino sebagai makanan ternak
ruminansia.
v Oligotricha
Jenis
ini hanya sedikit sekali menggunakan gula terlarut sebagai
makananannya, akan tetapi butir-butir pati akan menjadi sasaran utama
untuk dimangsanya. Beberapa spesies juga memangsa amilopektin. Namun
hasil penelitian terakhir diragukan tentang kemampuan protozoa rumen
untuk dapat mencerna selulosa. Pencernaan selulosa dapat dilakukan
karena protozoa memangsa bakteri dan bakteri inilah yang akan
menghasilkan enzim selulosa didalam tubuh protozoa sehingga selulosa
yang dimangsa dapat dicerna. Bakteri selulolitik juga diketahui hidup
secara simbiosis dengan Oligotricha didalam selnya.
Spesies penting dari Oligotricha antara lain:
- Diplodinium dentatum
- Eudiplodinium bursa
- Polypastron multivesiculatum
- Entodinium caudatum
-
v Holotricha
Karakteristik Holotricha adalah pergerakannya yang cepat dan bentuk sel oval. Ciliata
memiliki peran penting dalam metabolisme karbohidrat dengan menelan
gula ketika masuk ke rumen dan menyimpannya sebagai amilopektin.
Amilopektin akan dirilis ke rumen ketika Holotricha dalam fase
pertumbuhan atau dalam kondisi lisis. Mekanisme ini memiliki efek
positif bagi ternak ruminansia. Misalnya, ketika ternak beristirahat,
tidak ada lebih banyak karbohidrat dalam rumen, sehingga amilopektin
akan difermentasi. Ada beberapa spesies Holotricha seperti:
- Isotricha intestinal
- Isotricha prostoma
- Dasytricha rumiantium
Sebagian
besar protozoa dengan cepat akan memangsa dan menghidrolisis
bermacam-macam protein dengan menghasilkan amoniak berasal dari kelompok
amida dan akan melepaskan asam-asam amino serta peptida.
Protozoa di ruminansia menyimpulkan dalam simbiosis mutualisme. Protozoa dapat melakukan proses metabolisme dalam tubuh ternak ruminansia dan ruminansia bisa mendapatkan gizi dengan mencerna makanan dengan lebih mudah.
3. Jamur Rumen
a. Karakteristik
Selain protozoa
dan bakteri, dalam perut hewan ruminansia juga terdapat jamur.
Kehadiran fungi di dalam rumen berperan dalam pencernaan serat tahap
awal, karena rizoid fungi tersebut dapat tumbuh menembus dinding sel
tanaman, sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri
rumen dan juga rizobium atau hifa jamur rumen mampu masuk ke dalam
jaringan xylem, sclerenchym dan kutikula tanaman dan secara parsial merombaknya (Akin dan Borneman, 1990). Jadi jika ada pakan yang belum dapat dicerna oleh jamur rumen akan dicerna oleh bakteri. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur terbukti dapat ditemukan di dalam saluran pencernaan herbivora,
rumen sapi, domba, rusa, kambing dan ruminansia lainnya serta sekum
kuda dan gajah semua mengandung jamur meskipun jumlahnya sedikit
(Jouany, 1991). Namun jamur dari saluran pencernaan herbivora memiliki
tipe berbeda dengan jamur dari tanah maupun lingkungan perairan (Joblin
dan Naylor, 1989).
Jamur
pada rumen ruminansia pada umumnya bersifat anaerob atau mutlak tidak
memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya dan juga kondisi ini mendukung
untuk proses terbentuknya senyawa hidrogen (H) dalam proses fermentasi
selulosa. Jamur rumen dapat tumbuh dengan baik pada temperatur antara 33 – 41oC tanpa oksigen. Siklus hidupnya antara 24 - 30 jam dan hidupnya bergantung sepenuhnya pada proses fermentasi untuk mendapatkan energi.
b. Spesies Jamur Pada Rumen
Spesies
jamur yang terdapat pada rumen ruminansia pada umumnya berbeda dengan
jenis jamur yang hidup pada tanah maupun pada tempat lain. Jamur rumen dibagi menjadi dua kelompok spesies yaitu monosentris dan polisentris (Akin dan Borneman, 1990; Jouany, 1991).
ü Spesies Monosentris
Spesies
jamur monosentris hanya memiliki satu spora dalam rizobiumnya, jamur
monosentris pada rumen dikelompokkan menjadi tiga tipe morfologis yaitu :
(1) Neocallimastic sp. dengan spora poliflagella dan rizobium bercabang
banyak,
(2) Piromonas sp. dengan spora monoflagella dan rizobium bercabang.
(3) Sphaeromonas sp. dengan zoospora monoflagella dan rizobium
membengkak.
Contoh spesies jamur monosentrik adalah Neocallimastix frontalis, Neocallimastix patriciarum, Piromonas commuunis, Sphaeromonas commuunis, dan Sphaeromonas equi.
ü Spesies Jamur Polisentris
Spesies jamur polisentris mengandung beberapa spora dengan inti di dalamnya. Contoh jamur polisentris adalah Neocallimastix joyonii.pada umumnya Jamur
anaerob banyak ditemukan di dalam rumen hewan ruminansia, sekum kuda
dan feses gajah (Akin dan Borneman, 1990). Namun hasil temuan lainnya
menunjukkan bahwa jenis jamur polisentris pada kerbau, sapi dan domba
berbeda antara satu dengan yang lainnya. (Jouany, 1991).
c. Jenis Bahan Yang Dirombak Pada Rumen
o Jamur Perombak lignin.
selain jamur di alam yang berfungsi sebagai perombak lignin,jamur yang ada pada rumen hewan ruminansia juga berperan dalam perombakan lignin. Ciri khas jamur rumen terletak pada kemampuannya dalam mengkoloni dinding sel tanaman pakan yang mengandung lignin dan merombaknya (Akin dan Borneman, 1990). Spesies jamur perombak lignin dikelompokkan atas dasar warna saat fermentasi substrat menjadi soft rot, brown rot dan white rot (Paul, 2007).
o Jamur Perombak selulosa.
Jamur
anaerob perombak selulosa terbukti ada di dalam rumen dan diketahui
berperan aktif pada proses pencernaan serat kasar pakan. Semua jamur
rumen perombak lignoselulosa adalah perombak selulosa. Hasil fermentasi
jamur rumen bermanfaat bagi hewan inang maupun mikrobia lainnya di dalam
rumen (Akin dan Borneman, 1990).
Spesies jamur rumen perombak selulosa umumnya bergantian antara bentuk thallus dan flagella.
Jamur rumen perombak selulosa diduga tidak esensial karena jumlahnya
sangat sedikit, namun diyakini memiliki peran sangat penting dalam
perombakan serat kasar pakan kualitas rendah, oleh karena itu diperlukan
penelitian perannya di dalam rumen (Jouany, 1991).
Beberapa kelebihan jamur selulolitik rumen menurut Akin dan Borneman, (1990) adalah :
(1) mampu menghasilkan enzim selulase dan silanase kadar tinggi,
(2) mampu mengkoloni jaringan dinding sel tanaman lebih baik dibandingkan bakteri,
(3) hasil inkubasi pakan berserat oleh jamur rumen lebih lunak dibandingkan oleh bakteri .
o Jamur Perombak hemiselulosa.
Jamur rumen berperan penting dalam proses perombakan hemiselulosa (Madigan et al., 1997). Semua jamur perombak selulosa umumnya adalah juga perombak hemiselulosa. Jamur rumen mampu menghasilkan enzim silanase lebih tinggi dibandingkan jamur anaerob lainnya (Akin dan Borneman, 1990). Namun produksi silanase tersebut dipengaruhi oleh adanya gula, jika terdapat gula maka produksi silanase terhambat. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma reesei dan Penicillium chrysoporium menghasilkan β-xylosidase yang memiliki ukuran lebih besar ( antara 90 - 122 kDa), namun umumnya kurang populer dibandingkan endosilanase lainnya (Peres et al., 2002). Endosilanase dan endoglukanase dari jamur rumen Neocallimastix frontalis mempunyai aktivitas beberapa kali lebih tinggi dibandingkan endosilanase dan endoglukanase dari jamur anaerobik lainnya.
2.2.4 Siklus biogeokimia
Siklus
biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau
senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali
lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya
melalui organisme, tetapi juga melibatkan reaksireaksi kimia dalam
lingkungan abiotik sehingga disebut siklus biogeokimia. Siklus-siklus
tersebut antara lain: siklus oksigen, siklus karbon, siklus nitrogen,
siklus fosfor dan siklus sulfur. Siklus biogeokimia merupakan pergerakan memutar unsur apa pun melalui atmosfer, samudra, kerak bumi, dan makhluk hidup (Burnie, 1999). Menurut Hutchinson (1944-1950),
siklus biogeokimia merupakan suatu pertukaran atau perubahan yang
terus–menerus dari bahan-bahan antara komponen biotik dan abiotik.
Berdasarkan sumber yang ada di alam, siklus biogeokimia dibagi dalam 2
golongan yaitu :
a. Tipe gas, sebagai sumbernya atmosfer dan lautan (hidosfer) misalnya siklus hidrogen.
b. Tipe sedimen, sumbernya adalah batuan bumi seperti fosfor, kalsium dan kalium.
Siklus biogeokimia pada akhirnya cenderung mempunyai mekanisme umpan-balik yang dapat mengatur sendiri (self regulating), menjaga
siklus itu dalam keseimbangan. Dalam suatu ekosistem, materi pada
setiap tingkat trofik tidak hilang. Materi berupa unsur-unsur penyusun
bahan organik tersebut didaur-ulang. Unsur-unsur tersebut masuk ke dalam
komponen biotik melalui udara, tanah, dan air. Daur ulang materi
tersebut melibatkan makhluk hidup dan batuan (geofisik).
Unsur-unsur
seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, hidrogen, dan oksigen
adalah beberapa di antara unsur yang penting bagi kehidupan. Unsur-unsur
tersebut diperlukan oleh makhluk hidup dalam jumlah yang banyak,
sedangkan unsur yang lain hanya dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit.
Meskipun setiap saat unsur-unsur yang ada tersebut dimanfaatkan oleh
organisme, keberadaan unsur-unsur tersebut tetap ada. Hal tersebut
dikarenakan, unsur yang digunakan oleh organisme untuk menyusun senyawa
organik dalam tubuh organisme, ketika organisme-organisme tersebut mati,
unsur-unsur penyusun senyawa organik tadi oleh pengurai akan
dikembalikan ke alam, baik dalam tanah ataupun dikembalikan lagi ke
udara. Jadi, dalam proses tersebut melibatkan makhluk hidup, tanah, dan
reaksi-reaksi kimia di dalamnya. Itulah yang dimaksud sebagai siklus biogeokimia. Siklus biogeokimia terdiri dari siklus nitrogen, siklus fosfor, siklus sulfur, dan siklus karbon.
Fungsi daur biogeokimia
adalah sebagai siklus materi yang mengembalikan semua unsur-unsur kimia
yang sudah terpakai oleh semua yang ada di bumi baik komponen biotik
maupun komponen abiotik, sehingga kelangsungan hidup di bumi dapat
terjaga.
Ada dua siklus abiotik yaitu fase atmosfer dan fase sedimen. Fase atmosfer penting bagi elemen seperti nitrogen, sedangkan fase sedimen penting bagi elemen seperti fosfor. Fosfor
relatif kurang mengikuti fase atmosfer. Siklus biogeokimia yang terjadi
dominan pada fase atmosfer disebut siklus waduk atmosfer dan siklus
biogeokimia yang lebih banyak terjadi pada fase sedimen disebut siklus
waduk sedimen.
1.Jenis-Jenis Siklus Biogeokimia
Seperti yang telah disebutkan di atas, siklus biogeokimia terdiri dari siklus nitrogen, siklus fosfor, siklus sulfur, dan siklus karbon.
a) Siklus Karbon
Siklus
karbon adalah siklus biogeokimia di mana karbon dipertukarkan antara
biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Dalam siklus ini
terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur
pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah:
1. Atmosfer
2. Biosfer Teresterial, meliputi freshwater sistem dan material nonhayati organik seperti soil karbon (karbon tanah)
3. Lautan, meliputi karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati atau nonhayati
4. Sedimen, meliputi bahan baker fosil
Pertukaran karbon antara reservoir terjadi karena proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam yaitu :
Karbon di Atmosfer
Kandungan
karbon terbesar yang terdapat diatmosfer bumi adalah gas karbondioksida
(CO2) sebesar 0.03%. Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang
sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer, namun gas ini
memiliki peran penting dalam menyokong kehidupan gas-gas lain yang
mengandung karbon di atmosfer semakin bertambah selama beberapa tahun
terakhir ini dan berperan dalam peningkatan pemanasan global.
Karbon dapat diambil dari atmosfer dengan berbagai cara, antara lain:
1. Melalui proses fotosintesis
Ketika
matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesis untuk mengunbah
karbondioksida menjadi karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
Karbon pada proses ini akan banyak di serap oleh tumbuhan yang baru saja
tumbuh atau pepohonan pada hutan yang sedang di reboisasi sehingga
membutuhkan pertumbuhan yang cepat
2. Melalui sirkulasi termohalin
Pada
permukaan laut di daerah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan
karbondioksida lebih mudah larut dalam air. Karbondioksida yang larut
tersebut akan terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air
di permukaan yang lebih berat menuju ke dalam laut. Di laut bagian atas ,
pada daerah yang poduktivitasnya tinggi organisme membentuk cangkang
karbonat dengan bagian-bagian tubuh lainnya yang keras. Proses ini
menyebabkan aliran karbon menuju ke bawah.
3. Melalui pelapukan batu silikat
Proses
ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali
ke atmosfer seperti dua proses sebelumnya. Pelapukan batuan silikat
tidak memilki efek yang terlalu besar terhadap karbondioksida pada
atmosfer karena ion karbonat pada atmosfer yang terbentuk terbawa oleh
air laut dan selanjutnya akan dipakai untuk membuat karbonat laut.
Karbon dapat kembali lagi ke atmosfer dengan berbagai cara pula antara lain:
1. Melalui respirasi tumbuhan dan binatang
Proses ini merupakan reaksi eksotermik dan termasuk juga penguraian glukosa menjadi karbohidrat dan air.
2. Melalui pembusukan, tumbuhan, dan binatang
Jamur
dan bakteri menguraikan senyawa karbon pada tumbuhan dan binatang yang
mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia aksigen
atau menjadi metana jika tidak tersedia oksigen
3. Melalui pembakaran material organik
Proses
ini berlangsung dengan cara mengoksidasi karbon yang terkandung pada
material organik menjadi karbondioksida. Pembakaran bahan bakar fosil
seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam akan melepaskan karbon yang
tersimpan di dalam geosfer, sehingga menyebabkan kadar karbon dioksida
di atmosfer semakin bertambah.
4. Melalui produksi semen
Salah
satu komponen semen yaitu kapur atau kalium oksida dihasilkan dengan
cara memanaskan batu kapur yang akan menghasilkan karbon dioksida dalam
jumlah banyak.
5. Melalui erupsi vulkanik
Erupsi
vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepasakan gas ke atmosfer.
Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah
karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer hampir sama dengan jumlah
karbon dioksida yang hilang dari atmosfer akibat pelapukan batuan
silikat.
6. Melalui pemanasan permukaan laut
Di
permukaan laut, ketika air laut menjadi lebih hangat, karbon dioksida
yang larut dalam air akan dilepas ke atmosfer sebagai uap air.
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi.
Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara :
§ Ketika
matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk mengubah
karbondioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer.
Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan
yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang
cepat.
§ Pada
permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan CO2
akan lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan terbawa
oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang
lebih berat ke kedalaman laut atau interior laut.
§ Di
laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang
tinggi, organisme membentuk jaringan yang mengandung karbon, beberapa
organisme juga membentuk cangkang karbonat dan bagianbagian tubuh
lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke bawah.
§ Pelapukan
batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak
memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke
atmosfer. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap
CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut
dimana selanjutnya dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi
yang sebaliknya (reverse reaction).
Sumber karbon bagi makhluk hidup di alam terdapat dalam bentuk karbondioksida (CO2), terdapat di atmosfer maupun terlarut dalam air. Tumbuhan hijau memanfaatkan CO2
dalam fotosintesis untuk menyusun karbohidrat, protein, dan lemak.
Hewan dan manusia memperoleh karbon dalam bentuk karbohidrat, protein,
dan lemak yang berasal dari tumbuhan hijau. Melalui respirasi tumbuhan,
hewan, dan manusia, CO2 dilepaskan ke atmosfer. Karbon dilepaskan juga
pada proses pembusukan sisa tumbuhan dan hewan yang mati oleh
mikroorganisme serta pembakaran karbon organik seperti batu bara dan
minyak bumi.
b) Siklus Nitrogen
Siklus
nitrogen merupakan proses pembentukan dan penguraian nitrogen sebagai
sumber protein utama di alam. Nitrogen menjadi penyusun utama protein
dan sangat diperlukan oleh tumbuhan dan hewan dalam jumlah besar.
Nitrogen diperlukan tumbuhan dalam bentuk terikat (ikatan suatu senyawa
dengan unsur lain). Nitrogen bebas dapat difiksasi (di ikat) di dalam
tanah oleh bakteri yang bersifat simbiotik dan dapat mengikat protein
jika bekerjasama dengan akar tumbuhan polong, yang mempunyai bintil
akar, rumpun tropik, dan beberapa jenis gangaang.
Beberapa
jenis bakteri yang dapat menambah nitrogen terdapat pada akar legume
tumbuhan lain, misalnya Marsiella crenata. Selain itu terdapat bakteri
dalam tanah yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yaitu
acetobacter sp yang bersifat aerob dan clostridium sp. yang bersifat
anaerob. Selain itu, terdapat beberapa jenis spesies gangganng biru yang
dapat menambat nitrogen, antara lain nostoc sp. dan anabaena sp.
Tumbuhan
memperoleh nitrogen di dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit
(NO2-), dan ion nitrat (NO3-). Dalam tanah nitrogen terdapat dalam
organik tanah di berbagai tahap pembusukan, namun belum dapat
dimanfaatkan tumbuhan. Nitrogen yang dimanfaatkan tumbuhan biasanya
terikat dalam bentuk ammonium dan (NH4+) ion nitrat (NO3-).
Amonia
diperoleh dari hasil penguraian jaringan yang mati dan oleh bakteri.
Amonia ini dapat dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu nitrosomonas
dan nitrosococcus menjadi NO2-. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikasi,
yaitu pseudomonas denitrifikasi, nitrat diubah kembali menjadi ammonia
dan ammonia diubah kembali menjadi nitrogen yang dilepas bebas ke udara.
Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem.
Nitrat
sangat mudah larut dalam tanah, sehinga cepat hilang karena proses
pembusukan. Taraf ketersesisaan nitrogen dalam tanah tergantung pada
banyaknya bahan organik, populasi zat-zat renik, dan tingkat pembasuhan
tanah oleh air. Dalam keadaan alami terjadi keseimbangan antara laju
pertumbuhan dan gaya-gaya yang menentukan penyediaan nitrogen dalam
tanah. Proses pemanenan menyebabkan sejumlah besar nitrogen terikat
hilang akibat tanah mengalami pembasuhan oleh gerak aliran air dan
kegiatan jasad renik. Selain itu nitrogen terikat juga hilang, karena
diambil oleh bakteri pengubah nitrat menjadi nitrogen. Hal ini
menyebabkan pertanian intensif sangat tergantung pada tambahan pupuk
nitrogen.
Bakteri
penghasil ion nitrit dan nitrat bersifat autotrof dan aerob, sehingga
kehidupannya dipengaruhi oleh aerosotama, suhu, dan kandungan air dalam
tanah. Sementara itu proses perubahan nitrit menjadi nitrogen bersifat
anaerob.
Peranan dari mikroba tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
1. Nitrifikasi
Proses
nitrifikasi berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama proses
nitrifikasi adalah oksidasi ammonium, konversi ammonium menjadi nitrit.
Dilakukan oleh bakteri pengoksidasi ammonium dari genus “Nitroso”
kemudian nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri pengoksidasi
nitrit dari genus “Nitro”. Selain oksidasi oleh bakteri nitrifikasi
autotrof, mikroba lain juga dapat menghasilkan nitrit dan nitrat melalui
proses oksidasi enzimatik tetapi tidak terkait dengan pertumbuhan
mikroba. Misalnya, beberapa genus bakteri pengoksidasi metana mengandung
membran yang mengikat enzim monooksigenase metana yang dapat
mengooksidasi ammonium maupun metana. Nitrifikasi heterotrof yang paling
banyak dijumpai adalah oksidasi ammonium atau senyawa nitrogen oleh
berbagai jenis bakteri heterotrof dan jamur.
Bakteri pengooksidasi ammonium yang terkenal adalah Nitrosomonas tetapi, pada tanah asam bakteri pengooksidasi ammonium yang dominan adalah Nitrosospira , sementara bakteri Nitrosolobus juga dijumpai pada beberapa jenais tanah. Secara keseluruhan, reaksi konversi ammonium menjadi nitrit adalah :
NH3 + 1,5 O2 -------> NO2- + H+ + H2O
Langkah pertama dalam reaksi tersebut adalah konversi NH3 menjadi NH2OH atau Hidroksilamina oleh enzim ammonia monooksigenase yang terikat pada membran yakni :
NH3 + O2 + 2H+ + 2e- ---------> NH2OH + H2O
Hidroksilamina kemudian dikonversi menjadi nitrit dengan reaksi :
NH2OH + H2O -------- > NO2- + 5H+ + 4e-
Bakteri pengooksidasi nitrit yang terkenal adalah Nitrobacter spp. Walaupun Nitrospira juga dijumpai pada beberapa tanah oksidasi nitrit menjadi nitrat merupakan reaksi satu langkah:
NO2- + 1,5 O2 ------- > NO3-
Nitrit
dioksidasi menjdi nitrat oleh nitrit oksidoreduktase yang terikat pada
membrane, yang memindahkan oksigen dari air dan memmindahkan sepasang
electron.
NO2- + H2O ------> NO3- + 2H+ + 2e-
Tabel 1.2 Bakteri Nitrifikasi Khemoautotrof, Bakteri pengooksidasi NH3
Genus
|
Spesies
|
Nitrosomonas
|
europeae
|
eutropus
| |
marina
| |
Nitrosococus
|
nitrosus
|
mobilis
| |
oceanus
| |
Nitrosospira
|
briensis
|
Nitrosolabus
|
Multiformis
|
Nitrosovibro
|
tenuis
|
Tabel 1.3 Bakteri pengooksidasi NO2-
Genus
|
Spesies
|
Nitrobacter
|
urinogradskyi
|
bamburgensis
| |
vulgaris
| |
Nitrospina
|
grasilis
|
Nitrococcus
|
mobilis
|
Nitrospira
|
marina
|
2. Denitrifikasi
Bakteri denitrifikasi di dominasi oleh genus Pseumonas dengan spesies Alcaligenus, Flavobakterium, dan juga genus Basilus. Reaksi denitrifikasi adalah sebagai berikut.
2NO3- + 5H2 + 2 H+ --------- > N2 + 6H2O
Di
alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organic
(pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan
tanah). Fosfor
merupakan sumber energi primer bagi oksidasi mikroba. Bakteri yang
sangat efektif dalam melarutkan fosfor (bakteri pelarut fosfor) dari
batuan fosfat adalah Bacillus megaterium var. Phosphaticum.
Bakteri ini dikemas dalam bentuk inokulum yang disebut fosfobakterin
dan diaplikasikan ke tanah untuk memacu pelarutan mineral fosfor. Selain
itu ada juga jamur mikoriza yang membentuk simbiosis dengan akar
tanaman untuk memacu serapan fosfor .
Fosfat
organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer
(pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di
air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut.
Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat
dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di
air tanah dan laut.
Fosfat
anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini
berulang terus menerus.Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P,
antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus
megatherium.
d) Siklus Sulfur
Mikroba
berperan pada siklus sulfur terutama oksidasi dan reduksi sulfur.
Senyawa sulfur yang telah termineralisasi dapat ditransformasi menjadi
SO42- atau H2S oleh mikroba. Tahap reduksi dari SO42- menjadi H2S dilakukan oleh spesies bakteri Desulfovibrio, Desulfotomaculum, dan Desulfomas pada kondisi anaerob. Kemudian H2S
digunakan bakteri fotoautrotrof anaerob seperti Chromatium dan
melepaskan sulfur dan oksigen. Mikroorganisme pengoksidasi sulfur banyak
dijumpai dalam tanah, maka jumlahnya jarang sekali membatasi oksidasi
(Janzen dan Bettary, 1987). Organisme pengoksidasi yang bersifat
heterotrof seperti Arthrobacter dan Pseudomonas yang
melakukan sebagian besar oksidasi sulfur, memerlukan karbon organik
untuk memenuhi kebutuhan energi dan karbonnya. Pada kondisi tidak cukup
karbon, mikroba autotrof termasuk genus Thiobacillus, menjadi lebih penting. Organisme ini memperoleh energinya dari sulfur anorganik dan memperoleh karbon dari CO2.
Oksidasi
Sulfur dilakukan oleh beberapa kelompok bakteri, yang terkenal adalah
bakteri sulfur hijau, bakteri sulfur ungu, dan bakteri sulfur tidak
berwarna (Thiobacillus). Bakteri sulfur hijau dijumpai pada kondisi
anaerob seperti lumpur dan air yang tidak ada oksigen. Bakteri ini
sebagian besar dijumpai di bawah lapisan bakteri sulfur ungu. Bakteri
ini bersifat fotolitotrof maupun anaerob dan mampu menggunakan sulfida
sebagai donor elektron. Dikenal empat genera bakteri sulfur hijau, yaitu
Chlorobium, Prosthecohloris, Pelodictyon, dan Clathrochloris. Sedangkan bakteri ungu disebut juga Chromatiacaea.
Thiobacillus adalah bakteri aerob, gram negatif, berbentuk batang. Oksidasi sulfur yang dilakukan oleh Thiobacillus dapat menjadi sangat penting secara komersial untuk industri pertambangan. Timbunan batubara yang banyak mengandung Thiobacillus dapat
menghasilkan produk samping berupa asam sulfat. Hal ini menyebabkan
drainase tambang asam dan dapat menjadi masalah serius yang berkaitan
dengan hilangnya biodiversitas dan habitat.
e) Siklus Oksigen
Di
atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di
udara berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik,
pembakaran batubara, dan asap pabrik. Karbon dioksida di udara
dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis dan menghasilkan
oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk
berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama akan
membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi
sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Interaksi
adalah hubungan yang saling mempengaruhi antara komponen yang satu
dengan komponen yang lain dalam suatu ekosistem yang bersifat dinamis.
2. Interaksi mikroba dengan hewan diantaranya:
· Interaksi Bakteri Bioluminesensi dengan ikan
Terdapat
dua sumber cahaya yang dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada
kulit, yaitu warna yang dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis
dengan ikan dan cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri.
· Interaksi antara Rayap dengan Flora Usus
Rayap bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa pada saluran pencernaannya
· Interaksi Mikroba pada Rumen Ruminansia
Mikroorganisme
di dalam retikulo-rumen mempunyai peranan penting dalam proses
fermentasi pakan. Mikroorganisme utama yang terdapat dalam rumen adalah
bakteri, protozoa, jamur (yeast) dan kapang (mould).
3. Siklus
biogeokimia merupakan suatu pertukaran atau perubahan yang
terus-menerus dari bahan-bahan antara komponen biotik dan abiotik.
Siklus biogeokimia terdiri dari:
a) Siklus Karbon
b) Siklus Nitrogen
c) Siklus Sulfur
d) Siklus Fosfor
e) Siklus Oksigen
3.2 Saran
1. Interaksi
antara mikroba dengan hewan memberi manfaat tersendiri untuk mikroba
maupun organisme lainnya, oleh karena itu sudah semestinya kita
menghargai keanekaragaman demi keseimbangan alam.
2. Selain
bersifat merugikan, mikroba juga memiliki manfaat yang penting bagi
manusia dan mahluk lain, oleh karena itu mikroba harus dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya.
daftar pustakanya tolong di cantumkan sehingga makalah yang anda posting bisa dipertanggung jawabkan. trimakasih
BalasHapusdaftar pustakanya manaaaaaaaa.....
BalasHapus????