Jumat, 13 April 2012

Interaksi Antara Mikroba Dengan Hewan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Bioteknologi diartikan sebagai penerapan prinsip ilmu dan rekayasa dalam mengolah bahan organik dan anorganik dengan memanfaatkan makhluk hidup untuk membuat suatu produk dan jasa yang bermanfaat bagi manusia. Makhluk hidup atau zat hidup yang biasa dimanfaatkan dalam bioteknologi dapat berupa hewan, tumbuhan, mikroba (misalnya bakteri dan jamur), dan enzim. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Bioteknologi secara umum berarti meningkatkan kualitas suatu organisme melalui aplikasi teknologi. Aplikasi teknologi tersebut dapat memodifikasi fungsi biologis suatu organisme dengan menambahkan gen dari organisme lain atau merekayasa gen pada organisme tersebut.
            Sejauh ini makhluk hidup yang paling dimanfaatkan dalam bidang bioteknologi adalah mikroba, oleh karena itu bioteknologi memiliki hubungan yang erat dengan mikroba. Untuk melangsungkan kehidupannya, sebagain besar mikroba melakukan interaksi dengan makhluk hidup lain seperti tumbuhan, hewan, dan manusia. Meskipun ada pula mikroba yang dapat hidup secara bebas di alam. Interaksi tersebut dapat bersifat menguntungkan dan merugikan bagi mahluk hidup tersebut.
              Secara umum, pada penulisan makalah ini akan dibahas mengenai interaksi mikroba yang dibagi atas bakteri, fungi, protozoa dan virus  dengan aplikasinya pada hewan. Interaksi hewan dengan mikroba ada yang bersifat menguntungkan dan merugikan. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari kajian bioteknologi antara mikroba dengan hewan maka akan dikaji secara mendalam interaksi antara mikroba dengan hewan.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan interaksi?
2.      Bagaimana interaksi antara mikroba dengan hewan?
3.      Bagaimana hubungan mikroba dengan siklus biogeokimia?

1.3    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian interaksi.
2.      Untuk mengetahui interaksi antara mikroba dengan hewan.
3.      Untuk mengetahui hubungan mikroba dalam siklus biogeokimia.

1.4    Manfaat Penulisan
Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dalam bidang bioteknologi khususnya terkait dengan interaksi mikroba dengan hewan.

Bagi pembaca
Dapat mengetahui interaksi antara mikroba dengan hewan serta dapk yang ditimbulkan dari interaksi tersebut misalnya dapat menimbulkan penyakit sehingga dapat sesegara mungkin mengupayakan pencegahan terhadap penyakit tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Interaksi
Interaksi adalah hubungan yang saling mempengaruhi antara komponen yang satu dengan komponen yang lain dalam suatu ekosistem yang bersifat dinamis.
Interaksi antar mikroorganisme yang menempati suatu habitat yang sama akan memberikan pengaruh positif, saling menguntungkan dan pengaruh negatif; saling merugikan dan netral; tidak ada pengaruh yang berarti. Interaksi yang “netral” sebenarnya jarang terjadi hanya dapat terjadi dalam keadaan dorman seperti endospora. Beberapa macam interaksi yang meungkin terjadi antara mikoorganisme dengan organisme lain dapat dilukiskan dalam tabel 1.1 di bawah ini:
Macam Interaksi
Organisme A
Organisme B
Komensalisme
+
0
Mutualisme
+
+
Neutralisme
0
0
Antagonisme
- Amensalisme
-    Parasitisme
-    Predasi
0
+
+
-
-
-
Keterangan :
+ = memberikan pengaruh menguntungkan
-  = memberikan pengaruh merugukan/menekan pertumbuhan
0 = tak memberikan pengaruh.


2.2    Interaksi Yang Terjadi Antara Mikroba Dengan Hewan
2.2.1 Interaksi Bakteri Bioluminesensi dengan ikan
Berbagai keanekaragaman makhluk hidup yang ada merupakan salah satu tanda dari keagungan Tuhan atas semua ciptaan-Nya yang ada di alam raya. Semua mekhluk yang diciptakan Tuhan pastilah memiliki keunikan atau karakteristik tersendiri yang membedakan dari organisme lainnya. Karakteristik tersebut berfungsi untuk kelestarian dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari suatu organisme. Keunikan tersebut dapat berupa kemapuan merubah diri atau berkamuflase ataupun ada organ tambahan, seperti labirin ataupun antena.
Samudera merupakan salah satu habitat dari organisme. Ada oganisme yang hidup di permukaan samudera, dan ada yang hidup pada kedalaman samudera. Keadaan kedalaman samudera dingin, gelap, dan tenang. Tidak ada tumbuhan yang dapat tumbuh disana, sehingga hewan memakan hewan lain atau tumbuhan mati dan hewan yang tenggelam perlahan-lahan dari permukaan. Hewan yang tinggal di laut yang dalam dilengkapi dengan organ tamabahan yang unik. Organ ini berfungsi sebagai penunjang kelangsungan hewan tersebut untuk hidup di kedalaman laut.
Umumnya ikan yang hidup di perairan laut dalam memiliki kemampuan menghasilkan pendaran cahaya. Cahaya yang dikeluarkan tersebut dinamakan bioluminescens, yang umumnya bewarna biru atau biru kehijau-hijauan. Terdapat dua sumber cahaya yang dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada kulit, yaitu warna yang dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis dengan ikan dan cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri. Ikan-ikan yang dapat mengeluaran cahaya umumnya tinggal di bagian laut dalam dan hanya sedikit yang hidup diperairan dangkal. Bioluminesensi adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia tertentu.
*  Bakteri bioluminesensi (bakteri sumber cahaya)
Bakteri bercahaya telah ditemukan di laut, pesisir, dan lingkungan terestrial. Ada sembilan jenis bakteri laut penghasil cahaya yaitu:  Photobacterium phosphoreum, Photobacterium leiognathi, Alteromonas hanedai, Vibrio logei, Vibrio fischeri, Vibrio harveyi, Vibrio splendidus, Vibrio orientalis, dan Vibrio vulnificus. Bakteri Terestrial adalah luminescens Photorhabdus dan Vibrio cholerae biotipe albensis.
Bakteri bercahaya terestrial terutama ditemukan dalam hubungan simbiotik dengan nematoda bertindak sebagai parasit untuk ulat. Jamur juga dapat menerangi malam. Jamur bercahaya menghasilkan cahaya kontinyu (tidak berdenyut) dalam tubuh buah dan miselium dari beberapa agarics. Contohnya adalah Armillaria mellea dan Mycena spp.
Hal ini diyakini bahwa jamur bercahaya menggunakan cahaya mereka untuk menarik serangga yang akan menyebarkan spora fungis untuk meningkatkan reproduksi.
Bakteri bercahaya adalah pemancar cahaya yang paling banyak didistribusikan organisme dengan mayoritas yang ada dalam air laut dan sisanya tinggal di lingkungan darat atau air tawar. Sementara sebagian besar spesies bakteri bercahaya mampu hidup bebas, sebagian besar ditemukan di alam terkait dalam simbiosis dengan organisme host  yaitu: ikan, cumi, kepiting, nematoda, dll
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2) atau (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase. Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β). Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan oleh gen luxB. Selain luciferase, masih terdapat beberapa enzim lain yang terlibat dalam keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut operon lux. 
*  Bioluminesensi pada ikan
Cahaya yang dikeluarkan oleh mahluk hidup dinamakan bioluminescens, yang umumnya bewarna biru atau biru kehijau-hijauan. Terdapat dua sumber cahaya yang dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada kulit, yaitu warna yang dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis dengan ikan dan cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri. Ikan-ikan yang dapat mengeluaran cahaya umumnya tinggal di bagian laut dalam dan hanya sedikit yang hidup diperairan dangkal. Sebagian dari padanya bergerak ke permukaan untuk ruaya makanan.
Di laut dalam terletak antara 300 – 1000 meter dibawah permukaan laut. Sel pada kulit ikan yang dapat mengeluarkan cahaya disebut sel cahaya atau photophore (photocyt). Ini biasanya terdapat pada golongan Elasmobranchii (Sphinax, Etmopterus, Bathobathis moresbyi) dan Teleostei (Stomiatidae, Hyctophiformes, Batrachoididae).
Cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri yang hidup bersimbiosis dengan ikan, misalnya terdapat pada ikan-ikan dari famili Macroridae, Gadidae, Honcentridae, Anomalopodidae, Leiognathidae, Serranidae, dan Saccopharyngidae.
Di Laut Banda ikan leweri batu (Photoblepharon palpebatrus) dan leweri air (Anomalops katoptron), yang keduanya termaksud kedalam famili Anomalopodidae, mempunyai bakteri cahaya yang terletak dibawah matanya. Kedua ikan tersebut hidup di perairan dangkal. Anomalops mengeluarkan cahaya yang berkedap-kedip secara teratur yang dikendalikan oleh organ cahaya yang keluar masuk suatu kantong pigmen hitam dibawah mata. Photoblepharon menunujukan suatu cahaya yang menyala terus, tetapi dapat pula dipadamkan oleh suatu lipatan jaringan hitam yang menutupi organ cahayanya.
Bakteri yang dapat mengeluarkan cahaya terdapat didalam kantung kelenjar di epidermis. Pemantulan cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri diatur oleh jaringan yang berfungsi sebagai lensa.
Pada bagian yang berlawanan dengan lensa banyak pigmen yang berfungsi sebagai pemantul. Ada juga kelenjar yang berisi bakteri itu dikelilingi oleh sel-sel pigmen itu seluruhnya. Pemencaran cahaya yang dikeluarkan oleh bakteri diatur oleh konstraksi pigmen yang berfungsi sebagai iris mata. Pada ikan Malacochepalus (yang hidup di laut dalam), pengeluaran cahayanya mempunyai peranan dalam pemijahan. Kekuatan cahayanya dapat menerangi sampai sejauh 10 meter dengan panjang gelombang 410 – 600 mμ. Pada musim pemijahan, bila ikan jantan bertemu dengan ikan betina, maka si jantan akan membimbing betinanya untuk mencari tempat yang baik untuk berpijah. Cahaya yang dikeluarkan oleh ikan jantan dipakai sebagai isyarat untuk diikuti oleh si betina. Angler fish (Linophyrin bravibarbis) yang terdapat di dasar laut mempunyai tentakel yang bercahaya. Diduga ikan ini mempunyai kultur bakteri yang terdapat pada kulitnya
Tentakel yang ujungnya mempunyai jaringan yang membesar itu digerakan diatas kultur bakteri tersebut, sehingga bakteri yang bercahaya terbawa oleh tentakel untuk menarik perhatian mangsanya.
Antenna ikan angler yang dapat mengeluarkan cajaya di kegelapan merupakan peristiwa bioluminense. Bioluminesen merupakan pancaran sinar oleh organisme sebagai hasil dari oksidasi dari berbagai substrat dalam memproduksi enzim. Susunan substrat yang sangat stabil disebut dengan lusiferin, dan enzim yang sangat sensitive sebagai katalisator oksidasi disebut lusiferase.
Bioluminesen dapat diproduksi oleh bakteri, jamur, ataupun binatang invertebrate lain. Dari sekian banyak hewan bertulang belakang, hanya kelas Pisces yang mampu memproduksi sinar. Ikan menghasilkan bioluminesen dengan dua cara, yaitu dihasilka oleh pori-pori yang bercahaya ataupun organ yang mampu bersimbiose dengan bakteri atau organisme lain penghasil sinar. Sehingga, cahaya yang terdapat pada antenna ikan angler sebenarnya berasal dari organ yang bersimbiosis dengan jutaan bakteri yang mengeluarkan cahanya sendiri.
Fungsi dari antenna ikan angler yang bercahaya yaitu digunakan untuk menaksir kedalaman laut dimana ikan tersebut tinggal. Fungsi lain yaitu untuk menarik dan mengecoh perhatian mangsanya, serta untuk menyinari ligkungan sekitarnya. Antenna bercahaya pada ikan angler juga dapat menyala atau mati, sehingga mengecoh ikan-ikan kecil ataupun mangsa yang lain untuk mendekat, sehingga dengan mudah ikan angler dapat menangkap mangsanya. Organ cahaya pada ikan ialah sebagai tanda pengenal individu ikan sejenis, untuk memikat mangsa, menerangi lingkungan sekitarnya, mengejutkan musuh dan melarikan diri, sebagi penyesuaian terhadap ketiadaan sinar di laut dalam dan diduga sebagai ciri ikan beracun. Ikan angler tidak banyak melakukan gerakan, bahkan cenderung pasif. Hal tersebut bertujuan untuk menghemat energy dikarenakan makanan yang tersedian di kedalaman laut sangat sedikit.
Antenna yang bercahaya hanya terdapat pada antenna ikan angler betina. Ukuran ikan angler betina lebih besar dengan panjang sekitar 8 cm, sedangkan ukuran ikan angler jantan lebih kecil dengan panjang hanya sekitar 3 cm. sehingga yang menarik pasangan adalah ikan betina. Antenna yang berada pada ikan angler betina berfungsi untuk menarik lawan jenis. Ikan jantan yang berukuran lebih kecil akan menempelkan organ perekatnya pada bagian sirip ikan betina, sehigga ikan jantan mengikuti kemanapun ikan betina bergerak. Ikan jantan juga mendapatkan makanan dari ikan betina. Sehingga dapat dikatakan ikan angler jantan seperti parasit pada ikan betina, namun dari simbiose tersebut, ikan angler jantan secara permanen menjadi pasangan serasi bagi ikan betina.
*   Aplikasi Bioluminesensi
1.   Bidang medis
          Adanya penemuan tentang bioluminesensi telah dimanfaatkan manusia di dalam berbagai bidang, salah satunya adalah bidang medis. Di bidang tersebut bioluminesensi dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang disebut bioluminescence imaging (BLI). Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel kanker dalam tubuh dapat diketahui sehingga tindakan perawatan yang tepat dapat ditentukan. Temuan ini juga dapat mempermudah riset mengenai perawatan atau obat kanker yang efektif dapat mengatasi penyakit tersebut karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah.
2.   Sebagai gen pelapor
          Bioluminesensi juga telah dimanfaatkan sebagai gen pelapor untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca manusia. Penggunaan bioluminesensi sebagai gen pelapor juga telah diaplikasikan pada tanaman transgenik hasil rekayasa genetika. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan gen dari kunang-kunang pada tanaman tembakau transgenik yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens untuk mengamati ekspresi dari gen yang dimasukkan ke tanaman tembakau tersebut. Dalam bidang ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat digunakan untuk pembuatan biosensor untuk mendeteksi keberadaan polutan atau kontaminan tertentu di lingkungan. Salah satu contoh yang telah diaplikasikan adalah pembuatan biosensor untuk deteksi senyawa ekotoksik organotin.
3.   Industri makanan
            Dalam industri makanan, bioluminesensi yang memanfaakan penggunaan ATP juga telah dimanfaatkan untuk mendeteksi mikroba patogen yang terkandung di dalam makanan.

          2.2.2  Interaksi antara Rayap dengan Flora Usus
Rayap di daerah subtropik disebut dengan “semut putih (white ants) karena memiliki morfologi yang mirip dengan semut. Berdasarkan hubungan evolusi (filogeni), tidak ada hubungan antara rayap dengan semut. Hubungan lebih dekat terjadi antara rayap dengan kecoa (Blattodea) (Lo et al. 2000; Inward et al. 2007).
Rayap merupakan salah satu kelompok serangga dengan jumlah keragaman yang besar. Rayap (Ordo Isoptera) terdiri atas tujuh family, yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae. Sampai sekarang sudah tercatat 14 subfamili, 281 genus dan lebih dari 2600 spesies termasuk dalam kelompok ini (Kambhampati dan Eggleton 2000).
Rayap merupakan serangga sosial yang memiliki pembagian tugas yan jelas yang dinyatakan dalam pembagian kasta. Berdasarkan kemampuan bereproduksi rayap dibagi menjadi dua kasta yaitu kasta reproduktif dan kasta steril (Krishna 1969; Lee & Wood 1971).
Kasta reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan reproduktif sekunder. Kasta reproduktif primer (pendiri koloni) disebut laron terdiri atas jantan (raja) dan betina (ratu). Ciri khas kasta reproduktif primer adalah adanya sepasang sayap pada bagian toraks. Sedangkan kasta reproduktif sekunder berfungsi menggantikan kasta reproduktif apabila raja dan ratu mati atau untuk menambah jumlah telur apabila telur yang dihasilkan oleh ratu tidak mencukupi kebutuhan koloni (Krishna 1969).
Kasta steril terdiri atas pekerja dan prajurit. Ciri dari kasta ini adalah tidak adanya sayap dan perkembangan organ seksual ditekan atau tidak berkembang. Pekerja bertanggung jawab untuk mencari makan dan memelihara telur, larva dan ratu. Larva, prajurit, dan ratu tidak mampu untuk member makan dirinya sendiri sehingga bergantung pada makanan yang diberikan pekerja. Jumlah pekerja mencapai 90% dari seluruh anggota koloni. Rayap prajurit bertugas menjaga koloni dari serangan musuh dan juga menjaga pekerja yang mencari makan di sekitar sarang. Prajurit dibedakan dengan pekerja berdasarkan modifikasi bagian mulut dan kepala yang mengalami kitinasi yang kuat, biasanya terpigmentasi dan seringkali lebih besar daripada ukuran kepala kasta yang lain (Krishna 1969).
Secara umum makanan rayap adalah semua bahan yang mengandung selulosa. Bignell dan Eggleton (2000), membagi rayap menjadi beberapa kelompok berdasarkan jenis makanannya. Pertama, rayap pemakan tanah (soil feeder) yang mendapatkan makanan dari mineral tanah. Material yang dicerna sangat heterogen, mengandung banyak bahan organik tanah dan silica. Rayap jenis ini ditemukan pada Apicotermitinae, Termitinae, Nasutitermitinae, dan Indotermitinae. Kedua, rayap pemakan kayu (wood-feeder) yang mendapatkan makanan dengan memakan kayu dan sampah berkayu, termasuk cabang mati yang masih menempel di pohon. Hampir semua rayap tingkat rendah adalah pemakan kayu, semua subfamily dari Termitinae kecuali Apicotermitinae, Termitinae, dan Nasutitermitinae.

v Simbiosis pada saluran pencernaan rayap
Saluran pencernaan rayap terdiri atas usus depan, usus tengah, dan usus belakang. Saluran pencernaan ini menempati sebagian besar dari abdomen. Usus depan terdiri atas esofagus dan tembolok yang dilengkapi dengan kelenjar saliva. Esofagus dan tembolok memanjang pada bagian posterior atau bagian tengah dari thorak. Kelenjar saliva mensekresikan endoglukanase dan enzim lain ke dalam saluran pencernaan. Usus tengah merupakan bagian yang berbentuk tubular yang mensekresikan suatu membrane peritrofik di sekeliling material makanan. Usus tengah pada rayap tingkat tinggi juga diketahui mensekresikan endoglukonase. Usus belakang merupakan tempat bagi sebagian besar simbion (Noirot & Noirot-Timothee 1969; Scharf & Tartar 2008)
Berdasarkan simbiosisnya dengan mikroorganisme rayap terbagi atas dua kelompok yaitu, rayap tingkat tinggi yang bersimbiosis dengan bakteri dan rayap tingkat rendah yang bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa. Rayap tingkat tinggi mempunyai sistem pencernaan yang lebih berkembang dibandingkan rayap tingkat rendah karena menghasilkan enzim selulase selama proses pencernaan selulosa dalam usus belakangnya.
Rayap bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa pada saluran pencernaannya. Pada rayap tingkat rendah lebih banyak bersimbiosis dengan protozoa dibandingkan dengan bakteri, sebaliknya pada rayap tingkat tinggi lebih banyak bersimbiosis dengan bakteri dibandingkan dengan protozoa (Krishna 1969; Bignell 2000; Breznak 2000).
Protozoa yang bersimbiosis dengan rayap tingkat rendah berbeda pada tiap spesies. Zootermopsis angusticollis bersimbiosis dengan Tricercomitis, Hexamastix, dan Trichomitopsis. Mastotermes darwiniensis bersimbiosis dengan Mixotricha paradoxa (Breznak 2000). Coptotermes formosanus bersimbiosis dengan Pseudotrichonympha grasii, Spirotrichonympha leidy, Holomastigoides mirabile (Inoue et al. 2005; Nakashima et al. 2002b), dan Holomastigoides hartmanni (Tanaka et al. 2006). Coptotermes lacteus bersimbiosis dengan Holomastigoides mirabile (Watanabe et al. 2002). Reticulitermes speratus bersimbiosis dengan Teranympha mirabilis, Triconympha agilis (Ohtoko et al. 2000), Dinenympha exilis dan Pyrsonympha grandis (Todaka et al.2007)
Sedangkan beberapa contoh bakteri simbion pemecah selulosa pada rayap adalah bakteri fakultatif Serratia marcescens, Enterobacter erogens, Enterobacter cloacae, dan Citrobacter farmeri yang menghuni usus belakang rayap spesies Coptotermes formosanus (famili Rhinotermitidae) dan berperan memecah selulosa, hemiselulosa dan menambat nitrogen.
Penelitian lain mengatakan protozoa yang menghuni usus rayap tidaklah bekerja sendirian tetapi melakukan simbiosis mutualisme dengan sekelompok bakteri. Flagella yang dimiliki oleh protozoa tersebut ternyata adalah sederetan sel bakteri yang tertata dengan baik sehingga mirip flagella pada protozoa umumnya. Bakteri yang menyusun flagella memberikan motilitas pada protozoa untuk mendekati sumber makanan, sedangkan ia sendiri menerima nutrien dari protozoa. Contoh genus bakteri ini adalah Spirochaeta dengan Trichomonas termopsidis sebagai simbionnya.
Ada beberapa hipotesis tentang peranan bakteri yang terdapat pada usus belakang rayap tingkat tinggi yaitu melindungi rayap dari bakteri asing, asetogenesis, fiksasi nitrogen, methanogenesis, dan metabolisme piruvat. Meskipun bakteri tidak melibatkan diri secara langsung dalam proses pencernaan rayap namun bakteri ini akan disebarkan oleh rayap pekerja kepada nimfa-nimfa baru.
Perilaku rayap yang sekali-kali mengadakan hubungan dalam bentuk menjilat, mencium dan menggosokkan anggota tubuhnya dengan lainnya (perilaku trofalaksis) merupakan cara rayap menyampaikan bakteri dan protozoa berflagellata bagi individu yang baru saja ganti kulit (ekdisis) untuk menginjeksi kembali invidu rayap tersebut. Di samping itu, juga merupakan cara menyalurkan makanan ke anggota koloni lainnya.
Sama seperti pada rayap tingkat tinggi, bakteri yang terdapat dalam usus belakang rayap tingkat rendah juga mempunyai peranan dalam proses pencernaan makanan, meskipun bakteri ini tidak berperan utama dalam proses dekomposisisi selulosa. Protozoa yang terdapat pada usus belakang rayap tingkat rendah merupakan protoza flagellata. Lebih dari 400 spesies protozoa flagellata telah diidentifikasi dalam usus belakang rayap tingkat rendah. Biomassa mikroba ini meliputi sekitar sepertujuh sampai dengan sepertiga berat rayap. Protozoa ini mempunyai peranan penting dalam metabolisme selulosa dan berfungsi menguraikan selulosa dalam proses percernaan makanannnya menghasilkan asetat sebagai sumber energi bagi rayap.
Hasil penelitian Belitz and Waller (1998) menunjukkan bahwa defaunasi protozoa dalam usus belakang rayap dengan menggunakan oksigen murni menyebabkan kematian rayap sekitar dua sampai tiga minggu walaupun diberi kertas saring yang mengandung selulosa. Namun rayap ini akan hidup lebih lama dengan makanan yang sama dengan adanya kehadiran protozoa dalam usus belakangnya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan rayap sangat tergantung pada mikroba simbiosisnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa proses penguraian selulosa dalam usus belakang rayap berlangsung dalam keadaan anaerobik.
Beberapa bakteri yang menghuni usus rayap juga diketahui dapat menghasilkan factor tumbuh berupa vitamin B yang dapat digunakan oleh rayap, seperti spesies Enterobacter agglomerans, mampu melakukan fiksasi nitrogen (Atlas % Bartha 1998). Beberapa metanogen juga ditemukan sebagai endosimbion pada beberapa protozoa pada serangga.

2.2.3 Interaksi Mikroba pada Rumen Ruminansia
            Rumen atau perut besar merupakan bagian terbesar dari susunan lambung ruminansia. Secara garis besar terdapat 3 kelompok utama mikroba rumen, yaitu: bakteri, protozoa, dan jamur. Mikroorganisme di dalam retikulo-rumen mempunyai peranan penting dalam proses fermentasi pakan. Mikroorganisme utama yang terdapat dalam rumen adalah bakteri, protozoa, jamur (yeast) dan kapang (mould). Proses fermentasi oleh mikroorganisme ini pada rurninansia memegang peranan sangat penting, karena produk akhir fermentasi yang bagi mikroorganisme itu sendiri merupakan limbah, yakni asam lemak terbang dan beberapa vitamin, bagi induk semang justru merupakan sumber energi dan zat yang membantu proses pencernaan selanjutnya.
Simbiosis ini sangat menguntungkan kedua belah pihak, karena di satu  pihak mikroorganisme memerlukan bahan organik, sehingga hidupnya sangat menggantungkan dirinya kepada bahan pakan yang dikonsumsi induk semang, di pihak  lain, induk semang yang tidak mampu mencerna serat   kasar, dengan adanya mikroorganisme ini dapat memanfaatkannya. Bahkan beberapa vitamin yang biasanya sedikit terdapat dalam hijauan, dapat disediakan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdapat dalam rumen akan dijelaskan sebagai berikut.

1.    Bakteri Rumen
                        Sebagian besar bakteri rumen berbentuk cocci kecil. Bakteri rumen diklasifikasikanatas berdasarkan macam substrat yang digunakan sebagai sumber energi utama, yakni:
a. Bakteri Selulolitik
            Bakteri ini menghasilkan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan glukosida, sellulosa dan dimer selobiosa. Sepanjang yang diketahui tak satupun hewan yang mampu memproduksi enzim selulase sehingga pencernaan selulosa sangat tergantung pada bakteri yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan pakan. Bakteri selulolitik akan dominan apabila makanan utama ternak berupa serat kasar. Contoh bakteri selulolitik antara lain adalah : Bacteriodes succinogenes, Ruminicoccus f lavefaciens.
            b. Bakteri Hemiselulosa
            Hemiselulosa merupakan struktur polisakarida yang penting dalam dinding sel tanaman. Mikroorganisme yang dapat menghidrolisa selulosa biasanya juga dapat menghidrolisa hemiselulosa. Meskipun demikian ada beberapa spesies yang dapat menghidrolisa hemiselulosa tetapi tidak dapat menghidrolisa selulosa. Contoh bakteri hemiselulolitik antara lain: Butyrivibrio fibriosolven, Bacteriodes ruminicola.
c. Acid Utilizer Bacteria (bakteri pemakai asam)
            Beberapa janis  bakteri dalam rumen dapat menggunakan asam laktat meskipun jenis bakteri ini umumnya tidak terdapat dalam jumlah yang berarti. Asam oksalat yang bersifat racun pada mamalia akan dirombak oleh bakteri rumen, sehingga menyebabkan ternak ruminansia mampu mengkonsumsi tanaman yang beracun bagi ternak lainnya sebagai bahan makanan. Beberapa spesies bakteri pemakai asam laktat yang dapat dijumpai dalam jumlah yang banyak setelah ternak mendapatkan tambahan jumlah makanan butiran maupun pati dengan tiba-tiba adalah : Peptostreptococcus bacterium, Propioni bacterium.
d. Bakteri Amilolitik
            Beberapa bakteri selulolitik juga dapat memfermentasi pati, meskipun demikian beberapa jenis bakteri amilolitik tidak dapat menggunakan memfermentasi selulosa. Bakteri amilolitik akan menjadi dominan dalam jumlahnya apabila makanan mengandung pati yang tinggi, seperti butir-butiran. Bakteri amilolitik yang terdapat di dalam rumen antara lain: Bacteriodes amylophilus, Butyrivibrio fibrisolvens.
e. Sugar Untilizer Bacteria (bakteri pemakai gula)
                                    Hampir semua bakteri pemakai polisakarida dapat memfermentasikan disakarida dan monosakarida. Tanaman muda mengandung karbohidrat siap terfermentasi dalam konsentrasi yang tinggi yang segera akan mengalami fermentasi begitu sampai di retikulo-rumen. Kesemua ini merupakan salah satu kelemahan/kerugian dari sistem pencernaan ruminansia. Sebenarnya gula akan lebih efisien apabila dapat dicerna dan diserap langsung di usus halus. Bakteri pemakai gula yang terdapat di dalam rumen antara lain : Treponemma bryantii, Lactobacillus ruminus.
f. Bakteri Proteolitik
            Bakteri proteolitik merupakan jenis bakteri yang paling banyak terdapat pada saluran pencernaan makanan mamalia termasuk karnivora (carnivora). Didalam rumen, beberapa spesies diketahui menggunakan asam amino sebagai sumber utama enersi. Beberapa contoh bakteri proteolitik antara lain: Bacteroides amylophilus, Clostridium sporogenes.
            g. Bakteri Methanogenik
Sekitar 25 persen dari gas yang diproduksi di dalam rumen adalah gas methan. Bakteri pembentuk gas methan lambat pertumbuhannya. Contoh bakteri ini antara lain: Methanobacterium ruminantium,                                         Methanobacterium formicium
h. Bakteri Lipolitik
            Beberapa spesies bakteri menggunakan glycerol dan sedikit gula. sementara itu beberapa spesies lainnya dapat menghidrolisa asam lemak tak jenuh dan sebagian lagi dapat menetralisir asam lemak rantai panjang menjadi keton. Enzim lipase bakteria dan protozoa sangat efektif dalam menghidrolisa lemak dalam chloroplast. Contoh bakteri lipolitik antara lain: Anaerovibrio lipolytica.
 i. Bakteri Ureolitik
          Sejumlah spesies bakteri rumen menunjukkan aktivitas ureolitik dengan jalan menghidrolisis urea menjadi CO2 dan amonia. Beberapa jenis bakteri ureolitik menempel pada epithelium dan menghidrolisa urea yang masuk kedalam rumen melalui difusi dari pembuluh darah yang terdapat pada dinding rumen. Oleh karena itu konsentrasi urea dalam cairan rumen selalu rendah. Salah satu contoh bakteri ureolitik ini misalnya adalah Streptococcus sp. .
2. Protozoa Rumen
Sebagian besar protozoa yang terdapat didalam rumen adalah cilliata dan flagellata. Cilliata adalah mikroorganisme non patogen dan anaerobik. Pada kondisi rumen yang normal dapat dijumpai ciliata sebanyak 105 - 106 ml dalam rumen.
Hal ini pertama kali ditemukan oleh David Gruby dan Delafond (1843), dan telah banyak dilakukan penelitian tentang taksonomi, fisiologi dan nutrisi cilliata. Seperti halnya bakteri, cilliata juga mampu memfermentasi hampir seluruh komponen  tanaman yang terdapat didalam rumen seperti: selulosa, hemiselulosa, fruktosan, pektin, pati, gula terlarut dan lemak. Jika dibandingkan ciliata mempunyai peranan yang lebih baik daripada bakteri yaitu sebagai sumber protein dengan keseimbangan kandungan asam amino sebagai makanan ternak ruminansia.
v  Oligotricha
Jenis ini hanya sedikit sekali menggunakan gula terlarut sebagai makananannya, akan tetapi butir-butir pati akan menjadi sasaran utama untuk dimangsanya. Beberapa spesies juga memangsa amilopektin. Namun hasil penelitian terakhir diragukan tentang kemampuan protozoa rumen untuk dapat mencerna selulosa. Pencernaan selulosa dapat dilakukan karena protozoa memangsa bakteri dan bakteri inilah yang akan menghasilkan enzim selulosa didalam tubuh protozoa sehingga selulosa yang dimangsa dapat dicerna. Bakteri selulolitik juga diketahui hidup secara simbiosis dengan Oligotricha didalam selnya.
Spesies penting dari Oligotricha antara lain:
-          Diplodinium dentatum
-          Eudiplodinium bursa
-          Polypastron multivesiculatum
-          Entodinium caudatum
-           
v  Holotricha
Karakteristik Holotricha adalah pergerakannya yang cepat dan bentuk sel oval.  Ciliata memiliki peran penting dalam metabolisme karbohidrat dengan menelan gula ketika masuk ke rumen dan menyimpannya sebagai amilopektin. Amilopektin akan dirilis ke rumen ketika Holotricha dalam fase pertumbuhan atau dalam kondisi lisis. Mekanisme ini memiliki efek positif bagi ternak ruminansia. Misalnya, ketika ternak beristirahat, tidak ada lebih banyak karbohidrat dalam rumen, sehingga amilopektin akan difermentasi. Ada beberapa spesies Holotricha seperti:
-          Isotricha intestinal
-          Isotricha prostoma
-          Dasytricha rumiantium
Sebagian besar protozoa dengan cepat akan memangsa dan menghidrolisis bermacam-macam protein dengan menghasilkan amoniak berasal dari kelompok amida dan akan melepaskan asam-asam amino serta peptida.
Protozoa di ruminansia menyimpulkan dalam simbiosis mutualisme. Protozoa dapat melakukan proses metabolisme dalam tubuh ternak ruminansia dan ruminansia bisa mendapatkan gizi dengan mencerna makanan dengan lebih mudah.

3. Jamur Rumen
  a. Karakteristik
Selain protozoa dan bakteri, dalam perut hewan ruminansia juga terdapat jamur. Kehadiran fungi di dalam rumen berperan dalam pencernaan serat tahap awal, karena rizoid fungi tersebut dapat tumbuh menembus dinding sel tanaman, sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen dan juga rizobium atau hifa jamur rumen mampu masuk ke dalam jaringan xylem, sclerenchym dan kutikula  tanaman dan secara parsial merombaknya (Akin dan Borneman, 1990). Jadi jika ada pakan yang belum dapat dicerna  oleh jamur rumen akan dicerna oleh bakteri. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa jamur terbukti dapat ditemukan di dalam saluran pencernaan herbivora, rumen sapi, domba, rusa, kambing dan ruminansia lainnya serta sekum kuda dan gajah semua mengandung jamur meskipun jumlahnya sedikit (Jouany, 1991). Namun jamur dari saluran pencernaan herbivora memiliki tipe berbeda dengan jamur dari tanah maupun lingkungan perairan (Joblin dan Naylor, 1989).
Jamur pada rumen ruminansia pada umumnya bersifat anaerob atau mutlak tidak memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya dan juga kondisi ini mendukung untuk proses terbentuknya senyawa hidrogen (H) dalam proses fermentasi selulosa. Jamur rumen dapat tumbuh dengan  baik pada temperatur antara 33 – 41oC tanpa oksigen. Siklus hidupnya antara 24 - 30 jam dan hidupnya bergantung sepenuhnya pada proses fermentasi untuk mendapatkan energi.

  b. Spesies Jamur Pada Rumen
 Spesies jamur yang terdapat pada rumen ruminansia pada umumnya berbeda dengan jenis jamur yang hidup pada tanah maupun pada tempat lain. Jamur rumen dibagi menjadi dua kelompok spesies yaitu monosentris dan polisentris (Akin dan Borneman, 1990; Jouany, 1991).
ü Spesies Monosentris
Spesies jamur monosentris hanya memiliki satu spora dalam rizobiumnya, jamur monosentris pada rumen dikelompokkan menjadi tiga tipe morfologis yaitu :
(1)   Neocallimastic sp. dengan spora poliflagella dan rizobium bercabang
banyak,
(2) Piromonas sp. dengan spora monoflagella dan rizobium bercabang. 

             (3) Sphaeromonas sp. dengan zoospora monoflagella dan rizobium  
                  membengkak.
Contoh spesies  jamur  monosentrik adalah Neocallimastix frontalis,  Neocallimastix patriciarum, Piromonas commuunis, Sphaeromonas commuunis, dan Sphaeromonas equi.
ü Spesies Jamur Polisentris
Spesies jamur polisentris mengandung beberapa spora dengan inti di dalamnya. Contoh jamur polisentris adalah Neocallimastix joyonii.pada umumnya Jamur anaerob banyak ditemukan di dalam rumen hewan ruminansia, sekum kuda dan feses gajah (Akin dan Borneman, 1990). Namun hasil temuan lainnya menunjukkan bahwa jenis jamur polisentris pada kerbau, sapi dan domba berbeda antara satu dengan yang lainnya. (Jouany, 1991).
c. Jenis Bahan Yang Dirombak Pada Rumen
o  Jamur Perombak lignin.
selain jamur di alam yang berfungsi sebagai perombak lignin,jamur yang ada pada rumen hewan ruminansia juga berperan dalam perombakan lignin. Ciri khas jamur rumen terletak pada kemampuannya dalam  mengkoloni dinding sel tanaman pakan yang mengandung lignin dan merombaknya (Akin dan Borneman, 1990).  Spesies jamur perombak lignin dikelompokkan atas dasar warna saat fermentasi substrat menjadi soft rot, brown rot dan white rot (Paul, 2007).
o  Jamur Perombak selulosa.
Jamur anaerob perombak selulosa terbukti ada di dalam rumen dan diketahui berperan aktif pada proses pencernaan serat kasar pakan. Semua jamur rumen perombak lignoselulosa adalah perombak selulosa. Hasil fermentasi jamur rumen bermanfaat bagi hewan inang maupun mikrobia lainnya di dalam rumen (Akin dan Borneman, 1990). 
Spesies jamur rumen perombak selulosa umumnya bergantian antara bentuk thallus dan flagella. Jamur rumen perombak selulosa diduga tidak esensial karena jumlahnya sangat sedikit, namun diyakini memiliki peran sangat penting dalam perombakan serat kasar pakan kualitas rendah, oleh karena itu diperlukan penelitian perannya di dalam rumen (Jouany, 1991).
          Beberapa kelebihan jamur selulolitik rumen menurut Akin dan Borneman, (1990) adalah :
(1) mampu menghasilkan enzim selulase dan silanase kadar tinggi,
(2) mampu mengkoloni jaringan dinding sel tanaman lebih baik dibandingkan bakteri,
(3) hasil inkubasi pakan berserat oleh jamur rumen lebih lunak dibandingkan oleh bakteri .
o Jamur Perombak hemiselulosa.
Jamur rumen berperan penting dalam proses perombakan hemiselulosa (Madigan et al., 1997). Semua jamur perombak selulosa umumnya adalah juga perombak hemiselulosa. Jamur rumen mampu menghasilkan enzim silanase lebih tinggi dibandingkan jamur anaerob lainnya (Akin dan Borneman, 1990).  Namun produksi silanase tersebut dipengaruhi oleh adanya gula, jika terdapat gula maka produksi silanase terhambat. Beberapa jenis jamur seperti Trichoderma reesei dan Penicillium chrysoporium menghasilkan β-xylosidase yang memiliki ukuran lebih besar ( antara 90 - 122 kDa), namun umumnya  kurang populer dibandingkan endosilanase lainnya (Peres et al., 2002). Endosilanase dan endoglukanase dari jamur rumen Neocallimastix frontalis mempunyai aktivitas beberapa kali lebih tinggi dibandingkan endosilanase dan endoglukanase dari jamur anaerobik lainnya.

2.2.4 Siklus biogeokimia
Siklus biogeokimia atau siklus organikanorganik adalah siklus unsur atau senyawa kimia yang mengalir dari komponen abiotik ke biotik dan kembali lagi ke komponen abiotik. Siklus unsur-unsur tersebut tidak hanya melalui organisme, tetapi juga melibatkan reaksireaksi kimia dalam lingkungan abiotik sehingga disebut siklus biogeokimia. Siklus-siklus tersebut antara lain: siklus oksigen, siklus karbon, siklus nitrogen, siklus fosfor dan siklus sulfur. Siklus biogeokimia merupakan pergerakan memutar unsur apa pun melalui atmosfer, samudra, kerak bumi, dan makhluk hidup (Burnie, 1999). Menurut Hutchinson (1944-1950), siklus biogeokimia merupakan suatu pertukaran atau perubahan yang terus–menerus dari bahan-bahan antara komponen biotik dan abiotik. Berdasarkan sumber  yang ada di alam, siklus biogeokimia dibagi dalam 2 golongan yaitu :
a.   Tipe gas, sebagai sumbernya atmosfer dan lautan (hidosfer) misalnya siklus hidrogen.
b.   Tipe sedimen, sumbernya adalah batuan bumi seperti fosfor, kalsium dan kalium.
Siklus biogeokimia pada akhirnya cenderung mempunyai mekanisme umpan-balik yang dapat mengatur sendiri (self regulating), menjaga siklus itu dalam keseimbangan. Dalam suatu ekosistem, materi pada setiap tingkat trofik tidak hilang. Materi berupa unsur-unsur penyusun bahan organik tersebut didaur-ulang. Unsur-unsur tersebut masuk ke dalam komponen biotik melalui udara, tanah, dan air. Daur ulang materi tersebut melibatkan makhluk hidup dan batuan (geofisik).
Unsur-unsur seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, hidrogen, dan oksigen adalah beberapa di antara unsur yang penting bagi kehidupan. Unsur-unsur tersebut diperlukan oleh makhluk hidup dalam jumlah yang banyak, sedangkan unsur yang lain hanya dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Meskipun setiap saat unsur-unsur yang ada tersebut dimanfaatkan oleh organisme, keberadaan unsur-unsur tersebut tetap ada. Hal tersebut dikarenakan, unsur yang digunakan oleh organisme untuk menyusun senyawa organik dalam tubuh organisme, ketika organisme-organisme tersebut mati, unsur-unsur penyusun senyawa organik tadi oleh pengurai akan dikembalikan ke alam, baik dalam tanah ataupun dikembalikan lagi  ke udara. Jadi, dalam proses tersebut melibatkan makhluk hidup, tanah, dan reaksi-reaksi kimia di dalamnya. Itulah yang dimaksud sebagai siklus biogeokimia. Siklus biogeokimia terdiri dari siklus nitrogen, siklus fosfor, siklus sulfur, dan siklus karbon.
Fungsi daur biogeokimia adalah sebagai siklus materi yang mengembalikan semua unsur-unsur kimia yang sudah terpakai oleh semua yang ada di bumi baik komponen biotik maupun komponen abiotik, sehingga kelangsungan hidup di bumi dapat terjaga.
Ada dua siklus abiotik yaitu fase atmosfer dan fase sedimen.  Fase atmosfer penting bagi elemen seperti nitrogen, sedangkan fase sedimen penting bagi elemen seperti fosfor. Fosfor relatif kurang mengikuti fase atmosfer. Siklus biogeokimia yang terjadi dominan pada fase atmosfer  disebut siklus waduk atmosfer dan siklus biogeokimia yang lebih banyak terjadi pada fase sedimen disebut siklus waduk sedimen.
1.Jenis-Jenis Siklus Biogeokimia
Seperti yang telah disebutkan di atas, siklus biogeokimia terdiri dari siklus nitrogen, siklus fosfor, siklus sulfur, dan siklus karbon.
a)                 Siklus Karbon
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia di mana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah:
1.      Atmosfer
2.      Biosfer Teresterial, meliputi freshwater sistem dan material nonhayati organik seperti soil karbon (karbon  tanah)
3.      Lautan, meliputi karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati atau nonhayati
4.      Sedimen, meliputi bahan baker fosil
Pertukaran karbon antara reservoir terjadi karena proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam yaitu :

Karbon di Atmosfer
Kandungan karbon terbesar yang terdapat diatmosfer bumi adalah gas karbondioksida (CO2) sebesar 0.03%. Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer, namun gas ini memiliki peran penting dalam menyokong kehidupan gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer semakin bertambah selama beberapa tahun terakhir ini dan berperan dalam peningkatan pemanasan global.
Karbon dapat diambil dari atmosfer dengan berbagai cara, antara lain:
1.      Melalui proses fotosintesis
Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesis untuk mengunbah karbondioksida menjadi karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Karbon pada proses ini akan banyak di serap oleh tumbuhan yang baru saja tumbuh atau pepohonan pada hutan yang sedang di reboisasi sehingga membutuhkan pertumbuhan yang cepat
2.      Melalui sirkulasi termohalin
Pada permukaan laut di daerah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan karbondioksida lebih mudah larut dalam air. Karbondioksida yang larut tersebut akan terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat menuju ke dalam laut. Di laut bagian atas , pada daerah yang poduktivitasnya tinggi organisme membentuk cangkang karbonat dengan bagian-bagian tubuh lainnya yang keras. Proses ini menyebabkan aliran karbon menuju ke bawah.
3.      Melalui pelapukan batu silikat
Proses ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer seperti dua proses sebelumnya. Pelapukan batuan silikat tidak memilki efek yang terlalu besar terhadap karbondioksida pada atmosfer karena ion karbonat pada atmosfer yang terbentuk terbawa oleh air laut dan selanjutnya akan dipakai untuk membuat karbonat laut.
Karbon dapat kembali lagi ke atmosfer dengan berbagai cara pula antara lain:
1.      Melalui respirasi tumbuhan dan binatang
Proses ini merupakan reaksi eksotermik dan termasuk juga penguraian glukosa menjadi karbohidrat dan air.
2.      Melalui pembusukan, tumbuhan, dan binatang
Jamur dan bakteri menguraikan senyawa karbon pada tumbuhan dan binatang yang mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia aksigen atau menjadi metana jika tidak tersedia oksigen
3.      Melalui pembakaran material organik
Proses ini berlangsung dengan cara mengoksidasi karbon yang terkandung pada material organik menjadi karbondioksida. Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam akan melepaskan karbon yang tersimpan di dalam geosfer, sehingga menyebabkan kadar karbon dioksida di atmosfer semakin bertambah.
4.      Melalui produksi semen
Salah satu komponen semen yaitu kapur atau kalium oksida dihasilkan dengan cara memanaskan batu kapur yang akan menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah banyak.
5.      Melalui erupsi vulkanik
Erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepasakan gas ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer hampir sama dengan jumlah karbon dioksida yang hilang dari atmosfer akibat pelapukan batuan silikat.
6.      Melalui pemanasan permukaan laut
Di permukaan laut, ketika air laut menjadi lebih hangat, karbon dioksida yang larut dalam air akan dilepas ke atmosfer sebagai uap air.
Siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi.
Karbon diambil dari atmosfer dengan berbagai cara :
§   Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesa untuk mengubah karbondioksida menjadi karbohidrat, dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat.
§   Pada permukaan laut ke arah kutub, air laut menjadi lebih dingin dan CO2 akan lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat ke kedalaman laut atau interior laut.
§   Di laut bagian atas (upper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang tinggi, organisme membentuk jaringan yang mengandung karbon, beberapa organisme juga membentuk cangkang karbonat dan bagianbagian tubuh lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke bawah.
§   Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse reaction).
Sumber karbon bagi makhluk hidup di alam terdapat dalam bentuk karbondioksida (CO2), terdapat di atmosfer maupun terlarut dalam air. Tumbuhan hijau memanfaatkan CO2 dalam fotosintesis untuk menyusun karbohidrat, protein, dan lemak. Hewan dan manusia memperoleh karbon dalam bentuk karbohidrat, protein, dan lemak yang berasal dari tumbuhan hijau. Melalui respirasi tumbuhan, hewan, dan manusia, CO2 dilepaskan ke atmosfer. Karbon dilepaskan juga pada proses pembusukan sisa tumbuhan dan hewan yang mati oleh mikroorganisme serta pembakaran karbon organik seperti batu bara dan minyak bumi.

b)     Siklus Nitrogen
Siklus nitrogen merupakan proses pembentukan dan penguraian nitrogen sebagai sumber protein utama di alam. Nitrogen menjadi penyusun utama protein dan sangat diperlukan oleh tumbuhan dan hewan dalam jumlah besar. Nitrogen diperlukan tumbuhan dalam bentuk terikat (ikatan suatu senyawa dengan unsur lain). Nitrogen bebas dapat difiksasi (di ikat) di dalam tanah oleh bakteri yang bersifat simbiotik dan dapat mengikat protein jika bekerjasama dengan akar tumbuhan polong, yang mempunyai bintil akar, rumpun tropik, dan beberapa jenis gangaang.
Beberapa jenis bakteri yang dapat menambah nitrogen terdapat pada akar legume tumbuhan lain, misalnya Marsiella crenata. Selain itu terdapat bakteri dalam tanah yang dapat mengikat nitrogen secara langsung, yaitu acetobacter sp yang bersifat aerob dan clostridium sp. yang bersifat anaerob. Selain itu, terdapat beberapa jenis spesies gangganng biru yang dapat menambat nitrogen, antara lain nostoc sp. dan anabaena sp.
Tumbuhan memperoleh nitrogen di dalam tanah berupa amonia (NH3), ion nitrit (NO2-), dan ion nitrat (NO3-). Dalam tanah nitrogen terdapat dalam organik tanah di berbagai tahap pembusukan, namun belum dapat dimanfaatkan tumbuhan. Nitrogen yang dimanfaatkan tumbuhan biasanya terikat dalam bentuk ammonium dan (NH4+) ion nitrat (NO3-).
Amonia diperoleh dari hasil penguraian jaringan yang mati dan oleh bakteri. Amonia ini dapat dinitrifikasi oleh bakteri nitrit, yaitu nitrosomonas dan nitrosococcus menjadi NO2-. Selanjutnya oleh bakteri denitrifikasi, yaitu pseudomonas denitrifikasi, nitrat diubah kembali menjadi ammonia dan ammonia diubah kembali menjadi nitrogen yang dilepas bebas ke udara. Dengan cara ini siklus nitrogen akan berulang dalam ekosistem.
Nitrat sangat mudah larut dalam tanah, sehinga cepat hilang karena proses pembusukan. Taraf ketersesisaan nitrogen dalam tanah tergantung pada banyaknya bahan organik, populasi zat-zat renik, dan tingkat pembasuhan tanah oleh air. Dalam keadaan alami terjadi keseimbangan antara laju pertumbuhan dan gaya-gaya yang menentukan penyediaan nitrogen dalam tanah. Proses pemanenan menyebabkan sejumlah besar nitrogen terikat hilang akibat tanah mengalami pembasuhan oleh gerak aliran air dan kegiatan jasad renik. Selain itu nitrogen terikat juga hilang, karena diambil oleh bakteri pengubah nitrat menjadi nitrogen. Hal ini menyebabkan pertanian intensif sangat tergantung pada tambahan pupuk nitrogen.
Bakteri penghasil ion nitrit dan nitrat bersifat autotrof dan aerob, sehingga kehidupannya dipengaruhi oleh aerosotama, suhu, dan kandungan air dalam tanah. Sementara itu proses perubahan nitrit menjadi nitrogen bersifat anaerob.
Peranan dari mikroba tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
1.      Nitrifikasi
Proses nitrifikasi berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama proses nitrifikasi adalah oksidasi ammonium, konversi ammonium menjadi nitrit. Dilakukan oleh bakteri pengoksidasi ammonium dari genus “Nitroso” kemudian nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri pengoksidasi nitrit dari genus “Nitro”.  Selain oksidasi oleh bakteri nitrifikasi autotrof, mikroba lain juga dapat menghasilkan nitrit dan nitrat melalui proses oksidasi enzimatik tetapi tidak terkait dengan pertumbuhan mikroba. Misalnya, beberapa genus bakteri pengoksidasi metana mengandung membran yang mengikat enzim monooksigenase metana yang dapat mengooksidasi ammonium maupun metana. Nitrifikasi heterotrof yang paling banyak dijumpai adalah oksidasi ammonium atau senyawa nitrogen oleh berbagai jenis bakteri heterotrof dan jamur.
Bakteri pengooksidasi ammonium yang terkenal adalah Nitrosomonas tetapi, pada tanah asam bakteri pengooksidasi ammonium yang dominan adalah  Nitrosospira , sementara bakteri Nitrosolobus juga dijumpai pada beberapa jenais tanah. Secara keseluruhan, reaksi konversi ammonium menjadi nitrit adalah :
                      NH3 + 1,5 O------->  NO2+ H+ + H2O
Langkah pertama dalam reaksi tersebut adalah konversi NH3 menjadi NH2OH atau Hidroksilamina oleh enzim ammonia monooksigenase yang terikat pada membran yakni :
                      NH3 + O2 + 2H+ + 2e-  --------->  NH2OH + H2O
Hidroksilamina kemudian dikonversi menjadi nitrit dengan reaksi :
                             NH2OH + H2O  -------- > NO2- + 5H+ 4e-
Bakteri pengooksidasi nitrit yang terkenal adalah Nitrobacter spp. Walaupun Nitrospira juga dijumpai pada beberapa tanah oksidasi nitrit menjadi nitrat merupakan reaksi satu langkah:
                    NO2+ 1,5 O2  ------- > NO3-
Nitrit dioksidasi menjdi nitrat oleh nitrit oksidoreduktase yang terikat pada membrane, yang memindahkan oksigen dari air dan memmindahkan sepasang electron.
                             NO2-   + H2O ------>   NO3- + 2H+ 2e-

Tabel 1.2 Bakteri Nitrifikasi Khemoautotrof, Bakteri pengooksidasi NH3
Genus
Spesies
Nitrosomonas
europeae
eutropus
marina
Nitrosococus
nitrosus
mobilis
oceanus
Nitrosospira
briensis
Nitrosolabus
Multiformis

Nitrosovibro
tenuis

                            Tabel 1.3 Bakteri pengooksidasi NO2-
Genus
Spesies
Nitrobacter
urinogradskyi
bamburgensis
vulgaris
Nitrospina
grasilis
Nitrococcus
mobilis
Nitrospira
marina

2.    Denitrifikasi
Bakteri denitrifikasi di dominasi oleh genus Pseumonas  dengan spesies Alcaligenus, Flavobakterium, dan juga genus Basilus. Reaksi denitrifikasi adalah sebagai berikut.
2NO3-  + 5H2 + 2 H+     --------- > N2 + 6H2O

c)   Siklus Fosfor
Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organic (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfor merupakan sumber energi primer bagi oksidasi mikroba. Bakteri yang sangat efektif dalam melarutkan fosfor (bakteri pelarut fosfor) dari batuan fosfat adalah Bacillus megaterium var. Phosphaticum. Bakteri ini dikemas dalam bentuk inokulum yang disebut fosfobakterin dan diaplikasikan ke tanah untuk memacu pelarutan mineral fosfor. Selain itu ada juga jamur mikoriza yang membentuk simbiosis dengan akar tanaman untuk memacu serapan fosfor .
Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut.
Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus.Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium.

d)     Siklus Sulfur
Mikroba berperan pada siklus sulfur terutama oksidasi dan reduksi sulfur. Senyawa sulfur yang telah termineralisasi dapat ditransformasi menjadi SO42- atau H2S oleh mikroba. Tahap reduksi dari SO42- menjadi H2S dilakukan oleh spesies bakteri Desulfovibrio, Desulfotomaculum, dan Desulfomas pada kondisi anaerob. Kemudian H2S digunakan bakteri fotoautrotrof anaerob seperti Chromatium dan melepaskan sulfur dan oksigen. Mikroorganisme pengoksidasi sulfur banyak dijumpai dalam tanah, maka jumlahnya jarang sekali membatasi oksidasi (Janzen dan Bettary, 1987). Organisme pengoksidasi yang bersifat heterotrof seperti Arthrobacter dan Pseudomonas yang melakukan sebagian besar oksidasi sulfur, memerlukan karbon organik untuk memenuhi kebutuhan energi dan karbonnya. Pada kondisi tidak cukup karbon, mikroba autotrof termasuk genus Thiobacillus, menjadi lebih penting. Organisme ini memperoleh energinya dari sulfur anorganik dan memperoleh karbon dari CO2.
Oksidasi Sulfur dilakukan oleh beberapa kelompok bakteri, yang terkenal adalah bakteri sulfur hijau, bakteri sulfur ungu, dan bakteri sulfur tidak berwarna (Thiobacillus). Bakteri sulfur hijau dijumpai pada kondisi anaerob seperti lumpur dan air yang tidak ada oksigen. Bakteri ini sebagian besar dijumpai di bawah lapisan bakteri sulfur ungu. Bakteri ini bersifat fotolitotrof maupun anaerob dan mampu menggunakan sulfida sebagai donor elektron. Dikenal empat genera bakteri sulfur hijau, yaitu Chlorobium, Prosthecohloris, Pelodictyon, dan Clathrochloris. Sedangkan bakteri ungu disebut juga Chromatiacaea.
Thiobacillus adalah bakteri aerob, gram negatif, berbentuk batang. Oksidasi sulfur yang dilakukan oleh Thiobacillus dapat menjadi sangat penting secara komersial untuk industri pertambangan. Timbunan batubara yang banyak mengandung Thiobacillus dapat menghasilkan produk samping berupa asam sulfat. Hal ini menyebabkan drainase tambang asam dan dapat menjadi masalah serius yang berkaitan dengan hilangnya biodiversitas dan habitat.

e)                    Siklus Oksigen
Di atmosfer terdapat kandungan COZ sebanyak 0.03%. Sumber-sumber COZ di udara berasal dari respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap pabrik. Karbon dioksida di udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis dan menghasilkan oksigen yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk berespirasi. Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai bahan bakar yang juga menambah kadar C02 di udara.

BAB III
PENUTUP


3.1     Simpulan
1.      Interaksi adalah hubungan yang saling mempengaruhi antara komponen yang satu dengan komponen yang lain dalam suatu ekosistem yang bersifat dinamis.
2.      Interaksi mikroba dengan hewan diantaranya:
·      Interaksi Bakteri Bioluminesensi dengan ikan
Terdapat dua sumber cahaya yang dikeluarkan oleh ikan dan keduanya terdapat pada kulit, yaitu warna yang dikeluarkan oleh bakteri yang bersimbiosis dengan ikan dan cahaya yang dikeluarkan oleh ikan itu sendiri.
·      Interaksi antara Rayap dengan Flora Usus
Rayap bersimbiosis dengan bakteri dan protozoa pada saluran pencernaannya
·      Interaksi Mikroba pada Rumen Ruminansia
Mikroorganisme di dalam retikulo-rumen mempunyai peranan penting dalam proses fermentasi pakan. Mikroorganisme utama yang terdapat dalam rumen adalah bakteri, protozoa, jamur (yeast) dan kapang (mould).
3.    Siklus biogeokimia merupakan suatu pertukaran atau perubahan yang terus-menerus dari bahan-bahan antara komponen biotik dan abiotik.
Siklus biogeokimia terdiri dari:
a)  Siklus Karbon
b)  Siklus Nitrogen
c)  Siklus Sulfur
d) Siklus Fosfor
e)  Siklus Oksigen


3.2     Saran
1.    Interaksi antara mikroba dengan hewan memberi manfaat tersendiri untuk mikroba maupun organisme lainnya, oleh karena itu sudah semestinya kita menghargai keanekaragaman demi keseimbangan alam.
2.    Selain bersifat merugikan, mikroba juga memiliki manfaat yang penting bagi manusia dan mahluk lain, oleh karena itu mikroba harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

2 komentar:

  1. daftar pustakanya tolong di cantumkan sehingga makalah yang anda posting bisa dipertanggung jawabkan. trimakasih

    BalasHapus
  2. daftar pustakanya manaaaaaaaa.....
    ????

    BalasHapus