Senin, 25 Juni 2012

Vaksin dan Toksin


2.1 Tinjauan toksin yang digunakan untuk vaksin
     Jika sebuah mikroorganisme dapat menimbulkan penyakit maka mikroorganisme ini di sebut pathogen. Terdapat beberapa mikroorganisme di alam yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, dengan inokulum yang kecil dapat menyebabkan penyakit pada manusia jika pertahanan tubuh mulai melemah. Keganasan suatu penyakit merupakan ukuran tingkatan dari pathogenesis dan dikaitkan pada organisme yang berpotensial menghasilkan toksin dan invasiness.
     Toksigenitas atau produksi toksin ialah salah satu penyebab terbesar dari bakteri yang menyebabkan penyakit. Toksin sendiri memiliki pengertian zat racun yang dibentuk dan dikeluarkan oleh organisme yang dapat menyebabkan kerusakan radikal dalam struktur, merusak total hidup atau keefektifan organisme lain pada satu bagian. Toksin yang berasal dari bakteri adalah komponen racun terlarut yang diproduksi oleh bakteri, dan menyebabkan pengaruh negatif terhadap sel-sel inang dengan cara mengubah metabolisme normal dari sel inang tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini bisa dibedakan atas dua jenis yaitu endotoksin dan enterotoksin.
1. Endotoksin
     Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel bakteri Gram negatif, baik coccus maupun basil dan tidak mengaktifkan pelepasan dari sel. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran terluar (outer membran) bakteri Gram negatif seperti E. coli, Salmonella, Shigella dan Pseudomonas.
     LPS terletak pada membran terluar. Karena membran luar hanya dimiliki oleh bakteri Gram negatif, maka endotoksin dapat dikatakan sebagai toksin yang khas dimiliki oleh bakteri Gram negatif, bateri Gram positif tidak mempunyai endotoksin .
    
     Efek toksik dari LPS disebabkan oleh komponen lipid (lipid A) dari LPS sementara polisakarida O yang hidrofilik berperan sebagai carrier pembawa lipid A. Komponen lipid A ini bukanlah struktur makromolekuler tunggal melainkan terdiri dari susunan kompleks dari residu-residu lipid.
     Endotoksin adalah LPS sementara eksotoksin adalah polipetida. Enzim-enzim yang menghasilkan LPS tersebut dikodekan oleh gen-gen pada kromosom bakteri daripada plasmid atau DNA bakteriofage yang biasanya mengkodekan eksotoksin. Toksisitas endotoksin lebih rendah dibandingkan dengan eksotoksin, namun beberapa organisme memiliki endotoksin yang lebih efektif dibanding yang lain. Endotoksin adalah antigen yang lemah dan menginduksi antibodi dengan lemah sehingga tidak cocok digunakan sebagai antigen dalam vaksin. Keberadaan endotoksin tanpa bakteri penghasilnya sudah cukup untuk menimbulkan gejala keracunan pada inang contohnya keracunan makanan karena endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Salmonella.
     Gejala penyakit karena aktivitas endotoksin (LPS) terjadi jika bakteri mati (misalnya karena aktivitas antimikroba, aktivitas phagosit atau obat antibiotika) dan mengalami lisis sehingga LPS akan dilepas ke lingkungan atau beberapa juga dilepaskan saat penggandaan bakteri. Endotoksin akan memberi efek negatif jika terdapat dalam jumlah yang cukup besar (LPS lebih dari 100 ?g). Karena bersifat non enzimatis, maka mekanisme reaksinya tidak spesifik. LPS menyerang sistim pertahanan tubuh sehingga menyebabkan timbulnya efek biologis dari endotoksin yaitu:
1. Demam karena pelepasan makrofag oleh interleukin-1 yang beraksi karena pusat pengaturan temperatur hipotalamus. Selain itu, demam juga dapat disebabkan oleh karena endotoksin dapat memicu pelepasan protein pirogen endogen (protein di dalam sel) yang memengaruhi pusat pengatur suhu tubuh di dalam otak.
2. Hipotensi karena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah.
3. Aktivasi jalur alternatif dari jalur komplemen sehingga terjadi peradangan dan kerusakan jaringan.
4. Aktivasi makrofag, peningkatan kemampuan fagosit, dan aktivasi dari banyak klon limfosit B sehingga meningkatkan produksi antibodi.
5. Peradangan, penurunan kadar besi dan pembekuan darah
     Efek langsung maupun tak langsung lain dari endotoksin termasuk stimulasi pembentukan sel granulosit, penggumpalan dan degenerasi dari sel trombosit.
    
2. Eksotoksin
     Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya spesifik pada beberapa species bakteri tertentu (bisa Gram positif maupun Gram negatif) yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut. Sebagai contoh, toksin botulin hanya dihasilkan oleh Clostridium botulinum.
     Pada beberapa pathogen, toksin merupakan faktor virulence: toksin hanya diproduksi oleh strain yang virulent. Beberapa patogen bisa mensekresikan eksotoksin ke dalam pangan. Pada kondisi ini, walaupun bakterinya tidak ada, toksin akan menyebabkan keracunan pangan jika masuk ke saluran pencernaan (intoksikasi). Pada beberapa patogen, bakteri hidup masuk ke saluran pencernaan dan memproduksi toksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan (toksiko-infeksi).
     Eksotoksin berukuran lebih besar dari endotoksin, dengan berat molekul sekitar 50 – 1000 kDa. Toksin ini berfungsi seperti enzim dan memiliki sifat-sifat enzim yaitu terdenaturasi oleh panas, asam dan enzim proteolitik. Potensi toksiknya tinggi (konsentrasi 1 ?g dapat menyebabkan keracunan). Aktivitas biologis dari eksotoksin berlangsung dengan mekanisme reaksi dan substrat yang spesifik. Substrat (didalam inang) bisa berupa komponen dari sel-sel jaringan, organ atau cairan tubuh. Biasanya, bagian yang dirusak oleh toksin mengindikasikan lokasi dari substrat untuk toksin tersebut.
     Istilah seperti enterotoksin, neuro-toksin, dan hemolysin kadang-kadang digunakan untuk mengindikasikan sisi target dari suatu eksotoksin. Eksotoksin bersifat antigenik. Artinya, secara in vivo, aktivitasnya dapat dinetralkan oleh antibody yang spesifik untuk eksotoksin tersebut. Beberapa eksotoksin memiliki aktivitas sitotoksik yang sangat spesifik. Misalnya, toksin botulin yang hanya menyerang syaraf. Beberapa eksotoksin yang lain memiliki spektrum aktivitas yang lebih lebar dan menyebabkan kematian (nekrosis) dari beberapa sel dan jaringan (non spesifik) misalnya toksin yang diproduksi oleh Staphylococcus, Streptococcus, Clostridium, dan sebagainya. Toksin dengan spektrum aktivitas yang lebar ini biasanya merusak membran sel inang dan menyebabkan kematian sel karena terjadinya kebocoran isi sel. Sitotoksin menyebabkan kerusakan secara intraseluler.
    

Pengontrol
* Disekresikan oleh sel hidup, konsentrasi tinggi dalam medium cair.




* Dihasilkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif
* Polipeptida dengan berat molekul 10.000-900.000.


* Relatif tidak stabil, toksisitas sering hilang dengan cepat melalui pemanasan pada temperature di atas 60°c.
* Sangat antigenic, merangsang pembentukan antitoksin titer tinggi. Antitoksin menetralisir toksin.
* Diubah menjadi toksoid yang bersifat antigenic dan nontoksin oleh formalin, asam, panas,dll. Toksoid digunakan untuk imunisasi (missal, toksoid tetanus).
* Sangat toksik, fatal bagi hewan dalam jumlah 1 mikrogram atau kurang.

* Biasanya berikatan dengan reseptor spesifik pada sel.
* Biasanya tidak menimbulkan demam bagi host.

* Sering dikontrol oleh gen ekstrakromosom (misal, plasmid).
* Bagian integral dinding sel bakteri garam negative. Dilepaskan saat sel mati dan sebagian salama pertumbuhan. Mungkin tidak perlu dilepaskan untuk menimbulkan efek biologis.
* Hanya ditemukan dalam bakeri gram negatif.
* Kompleks lipopolisakarida. Bagian lipid A yang kemungkinan yang menyebabkan toksisitas.

* Relatif stabil, tahan panas pada temperature di atas 60°c selama berjam-jam tanpa kehilangan toksisitasnya.
* Imunogenik lemah, antibodi bersifat antitoksik dan protektif.

* Tidak diubah menjadi toksoid.




* Toksik sedang, fatal bagi hewan dalam jumlah puluhan sampai ratusan mikrogram.
* Reseptor spesifik tidak ditemukan pada sel.
* Biasanya menimbulkan demam bagi host dengan melepaskan interleukin-1 dan mediator lain.
* Sintesis dikendalikan oleh gen kromosom.
Mekanisme toksisitas oleh mikroorganisme Eksositosis dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
1. Menghambat sintesis protein : toksin dipteri
2. Hiperaktivitas ekskresi: toksin kolera
3. Penghambatan aktivitas neurotransmitter: toksin tetanus






Mikroba Penghasil Toksin Yang Berkaitan Dengan Vaksin (Toksoid)
1. Clostridium tetani
 Klasifikasi Ilmiah
Kingdom  :
 Bacteria
 Division   :
 Firmicutes
 Class        :
 Clostridia
 Order       :
 Clostridiales
 Family     :
 Clostridiaceae
 Genus      :
 Clostridium
 Species    :
 Clostridium tetani
     C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Tahan dalam autoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya.
     Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
     Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
     Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.



Patogenesis
     Infeksi Clostridium tetani  muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.
     Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
    
     Gambar 2. Luka Akibat Besi Berkarat
     Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak, toksin terikat pada ganglion di medula spinalis. Toksin menghambat pelepasan asetilkolin (mengganggu transmisi neurotransmitter) Gejala klonis yang ditimbulkan dari toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol.
    
     Gambar 3. Mekanisme Pemblokan Neurotransmitter
     Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.

Pencegahan dan Pengobatan
            Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara :
1. Imunisasi aktif dengan toksoid
a. Anti Tetanus Serum (ATS)
Suatu vaksin yang terbuat dari serum kuda yang telah kebal dari infeksi tetanus, namun karena angka kejadian alergi yang cukup tinggi untuk vaksin ini, sehingga penggunaannya sudah mulai ditinggalkan, termasuk di negara maju vaksin ini sudah tidak dipergunakan sama sekali. Vaksin ini memberikan kekebalan secara pasif.

Gambar 4. Anti Tetanus Serum

  b. Tetanus Toksoid (TT)
Vaksin ini mengandung toksin (racun) dari kuman C. tetani yang telah dilemahkan. Vaksin ini sengaja dimasukkan ke dalam tubuh dengan tujuan untuk merangsang antibodi anti Tetanus, dan penggunaan vaksin ini perlu diperpanjang dengan vaksin booster. Dan jenis vaksin ini adalah vaksin yang memberikan kekebalan aktif.

Gambar 5. Tetanus Toksin
c. Tetanus Globulin
Suatu vaksin yang mengandung fraksi antibodi anti Tetanus dari manusia, dan vaksin ini dapat dipergunakan dengan segera setelah penderita mendapatkan luka, karena bekerja secara pasif, maka vaksin ini mampu menetralisir secara langsung racun dari kuman C. tetani yang telah masuk ke dalam tubuh.

Gambar 6. Tetanus Globulin
 2. Perawatan luka menurut cara yang tepat
 3. Penggunaan antitoksi profilaksis
     Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus, dimana penderitanya akan mendapatkan kekebalan terhadap racun atau toksin Tetanus baik secara pasif maupun aktif. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).
     Pengobatan untuk penderita tetanus, dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain :
1. Antibiotika :
     Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
     Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
     Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3. Antikonvulsan
     Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.


2. Bakteri Corynebacterium diphtheriae

            Gambar 7. Corynebacterium diphtheriae
Klasifikasi
Kingdom    : Bakteri 
Filum         : Actinobacteria
Kelas         : Actinobacteria
Order         : Actinomycetales
Keluarga   : Corynebacteriaceae
Genus        : Corynebacterium
Spesies      : Corynebacterium diphtheriae

       Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini bersifat setempat dan juga menyeluruh disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh galur-galur Corynebacterium diphtheriae yang bersifat toksigenik. Ia juga dikenal sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). 
      Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan  pada manusia yaitu :
a. gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit,  pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
                             
                
b. mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan sejumlah  granula metakromatik, batasan sel tersusun  huruf v & w, mirip spt karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna hitam. batang pendek,  terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap, tidak adanya granula metakromatik . penyakit : pertengahan pada kaldu akan membentuk endapan.
      . Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
     
 Morfologi dan Sifat Biakan
            Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan.


Epidemiologi 
            Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui kontak langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia. Namun hanya  manusia yang diketahui sebagai reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia. 

Penentu Patogenitas 
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan. 
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Patogenesis
            Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran. Toksin yang dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan didistribusikan ke jaringan tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis dan juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin (proteinuria).
Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara kasus yang parah jarang dilaporkan, sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh strain toksigen yang tidak terdeteksi karena contoh koloni tidak memadai.
 Gambaran klinis
            Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
1)Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2)Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3)Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4)Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal. 
      Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
      Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir. 

 Diagnosis
            Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri, maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium. 
Pengobatan
            Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumtif keluar, tanpa perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat dengan cepat terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak dapat dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah perkembangan penyakit.
      Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan
                        Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan  menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.

3. Clostridium botulinum
Gambaran Umum Clostridium botulinum
     Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang, membentuk spora, dan bersifat anaerob obligat serta mampu menghasilkan neurotoksin yang dapat menyebabkan penyakit. Bakteri ini banyak terdapat di tanah dan mungkin mencemari hasil pertanian maupun peternakan. Botulisme adalah suatu penyakit yang disebabkan  keracunan makanan oleh bakteri. Botulisme berasal dari kata botulisme yang berarti sosis. Penyakit ini diberi nama demikian karena selama bertahun-tahun sosis yang  tidak dimasak dihubungkan dengan penyakit ini. Botulin, juga dikenal sebagai botox, yaitu  toksin  bakteri paling  mematikan yang dapat terbentuk  pada  makanan  kaleng  yang  tidak diproses dengan benar atau cukup dipanasi.
     Penyakit ini terjadi karena memakan  toksin  botulinum  yang  terdapat  dalam  makanan yang diawetkan dengan cara kurang sempurna, seperti yang dijumpai dalam makanan kaleng. Tetapi botulisme juga dapat disebabkan karena kontaminasi luka yang akan menghasilkan toksin yang tumbuh pada jaringan mati. Ada tujuh tipe Clostridium botulinum yang dikenali karena perbedaan antigenik di antara toksin yang dihasilkannya yaitu tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah tipe A, B, E, dan tipe F. Tipe C dan D menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia, sedangkan tipe G belum diketahui dapat menyebabkan penyakit atau tidak.
    

Clostridium botulinum Peyebab Botulism :
Etiologi
1. Morfologi
 Morfologi dari Cl botulinum yakni berentuk batang, berspora oval subterminal, anaerob, motil (flagela peritrikus) dan merupakan bakteri gram negatif. Tipe dari Cl. Botulinum adalah tipe A, B, C, D, E, dan F. Produksi toxin dapat pada daging kering dengan kadar air kurang dari 30%. Menghasilkan neurotoxin botulin dan pada umumnya ditemukan di tanah.


2. Sifat biakan
Di laboratorium Cl. Botulinum dapat diisolasi pada media trytose cycloserine ( TSC), selalu dalam lingkunan anerobik yang mengandung kurang dari 2% oksigen. Cl. Botulinum tidak menggunakan laktosa sebagai sumber karbon utama. Hidup pada pH 4,8-7,.
3. Struktur antigen
Bakteri ini dikelompokkan menjadi grup I-IV berdasarkan sifaf proteolitiknya dan memiliki tujuh struktur antigen yakni antigen (A-G), serta antigen somatik.
 Pathogenesis
     Toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium adalah racun yang paling ampuh. Sebagai contoh dosis letal (mematikan) bagi toksin tipe A pada tikus diperkirakan 0,000000033 mg. Ini berarti 1 gram toksin dapat membunuh 33 milyar tikus. Racun ini  menyerang urat syaraf, menyebabkan kelumpuhan pada faring dan diafragma. Cara kerja toksin ini adalah dengan menghambat pembebasan asetilkolin oleh serabut  syaraf  ketika impuls syaraf lewat di sepanjang syaraf  tepi.  Cl. Perfringens tipe C dan D menyebabkan botulism pada hewan sedangkan yang lain menyebabkan botulism pada manusia. Hewan yang rentan adalah unggas, sapi kuda dan beberapa jenis ikan. Bakteri ini menghasilkan racun saraf (neurotoksin botulin). Neurotoksin hanya dihasilkan saat terjadi proses endospora dalam keadaan anerobik. Sporanya tersebar luas di lingkungan, di tanah, udara, debu, dan air laut.
     Infeksi oleh Cl. Botulinum dapat melalui makanan maupun luka. Jika hewan menelan pakan yang terkontaminasi spora Cl. Clostridium dari lingkungan sekitarnya.Setelah tertelan maka akan menghasilkan neurotoksin di dalam usus. Pada hewan Cl. Botulinum yang menginfeksi adalah tipe C dan D, sehingga toxin yang di hasilkan adalah toxin C dan D. Kemudian toxin akan berikatan dengan reseptor pada saraf kolinergik dan memblokade pengeluaran asetikolin. Hal ini akan menggangu stimulasi gerakan otot sehingga mengakibatkan paralisis. Dalam beberapa saat akan menyebabkan muntah, lemas, kejang, dan akhirnya paralisis sistem respirasi. Infeksi melalui luka biasanya terjadi karena luka tusuk dan mekanismenya sama dengan keracunan pada makanan.
    
Epidemiologi botulisme
     Clostridium  botulinum  tersebar  luas di lingkungan darat dan perairan. Jika sporanya mencemari makanan yang sudah diolah atau mengadakan kontak dengan luka maka dapat berkembang biak menjadi sel-sel vegetatif dan menghasilkan toksin. Selain itu infeksi juga dapat terjadi pada saluran bayi yang disebut botulisme bayi. Toksinnya dihasilkan di dalam usus bayi, menyebabkan badan lemah, tidak dapat buang air besar, dan lumpuh. Infeksi semacam ini mungkin disebabkan karena pemberian susu yang mengandung spora Clostridium botulinum pada bayi.
  Gejala dari keracunan botulisme
     Gejala penyakit ini biasanya mulai muncul sekitar 12 – 48 jam setelah  mengkonsumsi  makanan yang  sudah  tercemar. Gejala tersebut meliputi kesulitan berbicara, pupil melebar, penglihatan ganda, mulut  terasa kering, mual, muntah, dan tidak dapat menelan. Kelumpuhan dapat terjadi  pada  kantung  kemih dan semua  otot  yang bekerja di daerah tersebut. Kematian mungkin terjadi  beberapa hari setelah timbulnya gejala karena tidak dapat bernafas atau jantung tidak bekerja lagi. Gejala botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu  makan  buruk, otot  lisut. Jika gejala penderita penyakit ini tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan gangguan pernafasan.
Diagnosa
    Diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang terjadi. Diagmosa dapat diperkuat dengan melakukan uji di laboratorium dengan mengisolasi bakteri. Isolasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil spesimen dari feses pasien. Hasil isolasi dapat di isolasi pada hewan percobaat (mencit) Untuk mengetahui tipenya dapat dilakukan uji netralisasi dengan pemberian anti toksin pada mencit atau uji serologi berupa ELISA. Uji netralisai membutuhkan waktu selama 48 jam.
Pencegahan Dan Pengobatan
     Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan tubuh yang  hilang. Kebanyakan  keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru (khususnya di rumah atau industry rumah tangga), misalnya pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak. Bakteri ini mencemari  produk  pangan  dalam  kaleng  yang  beredar asam rendah, ikan asap, kentang matang  yang  kurang  baik  penyimpanannya, pie beku, telur ikan fermentasi, seafood, dan madu. Tindakan  pengendalian  khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah penerapan sterilisasi panas dan  penggunaan  nitrit  pada  daging  yang  dipasteurisasi. Sedangkan bagi rumah  tangga atau  pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin terutama untuk  pangan yang  dikemas hampa udara dan  pangan segar  atau  yang  diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng  yang  kemasannya telah menggembung. Spora Cl Botulinum tersebar luas di alam, baik di tanah, air laut, air danau debu dan udara. Pakan ternak sangat mudah terkontaminasi, untuk itu penyimpanan pakan harus diperhatikan.
Untuk pengobatan dapat diberikan antibiotik penicilin atau metronidazole.dan pemberian antitoksin botulinum.
2.2  Karakteristik vaksin dan jenis-jenis vaksin
2.2.1 Sejarah Penemuan Vaksin
            Perkembangan vaksin virus diawali dengan penelitian Edward Jenner  yaitu seorang dokter dari Inggris menemukan bahwa inokulasi cacar sapi (cowpox) pada seseorang ternyata dapat melindungi orang tersebut dari penyakit cacar (smallpox).  Edward Jenner  mengambil sedikit cairan dari luka pada orang penyakit cacar yang kemudian diinokulasi dan diberikan kepada orang lain dengan tujuan orang tersebut terhindar dari penyakit cacar. Ternyata orang yang di berikan vang di berikan vaksin cacar tersebut berhasil terhindar dari penyakit cacar. Angka anak yang terkena penyakit cacar semakin menurun. Sejak saat itu vaksin mengalami perkembangan baik dari cara menentukan epitop imunodominan, strategi perbanyakan protein maupun cara aplikasinya.

Praktek vaksinasi berkembang cepat di Inggris, kemudian menjadi hal yang diharuskan dalam kalangan Angkatan Darat dan Angkatan Laut Inggris. Dan berbarengan dengan itu diterima pula oleh sebagian besar negeri-negeri di dunia. Jenner dengan cuma-cuma mempersembahkan tekniknya kepada dunia dan tak berusaha sedikit pun peroleh keuntungan uang dari itu. Tetapi, di tahun 1802 parlemen Inggris sebagai tanda terimakasih dan penghargaan menghadiahkannya uang sejumlah 20.000 pond. Maka Jenner pun menjadi orang yang temasyhur di jagad, dibanjiri rupa-rupa penghormatan dan medali. Jenner kawin dan punya tiga anak. Dia hidup hingga umur 73 tahun, meninggal dunia di awal taliun 1823 di rumahnya di kota Berkeley. Hal ini menjadi awal salah satu penemuan besar di dunia kedokteran, meskipun sebenarnya praktek ini sudah dilakukan di India, Persia dan Cina.  
            Kemudian Pada tahun 1880, Louis Pasteur dan kawan kawan telah menemukan cara vaksinasi untuk pencegahan penyakit infeksi melalui penggunaan agen penyakit yang telah dilemahkan terlebih dahulu, antara lain vaksin rabies yang berasal dari virus alam yang ganas (street virus) menjadi virus yang tidak ganas (fix virus) setelah mengalami pasase berulang. Sebelumnya Pasteur memasukkan vaksin rabies ke tubuh manusia yang menjadi kontroversi dan mendapat protes keras oleh ahli jiwa dan masyarakat. Karena mendapat protes keras dari masyarakat, Louis Pasteur kemudian mengembangkan tehnik kimia untuk mengisolasi virus dan melemahkannya, yang efeknya dapat dipakai sebagai vaksin. Oleh karena itu peranan Louis Pasteur dalam dunia ke dokteran pada saat itu sangat besar, karena telah berhasil menemukan varsin rabies. Selain vaksin rabies Pasteur menemukan Vaksin Kolera dan Antraks, Pasteur  menyingkapi tabir penyakit infeksi yang juga telah merenggut nyawa anak-anak nya. Pada tahun 1954, dua tim ahli dipimpin oleh Jonas Salk and Albert Sabin mengembangkan vaksin Polio. Vaksin untuk mencegah Polio, digunakan untuk membunuh virus digunakan untuk kampanye imunisasi. Kurang dari enam tahun, kasus Polio menurun 90%. Tetapi vaksin Salk tidak melengkapi  imunisasi secara menyeluruh untuk semua jenis virus Polio. Pada tahun 1961, Sabin telah mengembangkan vaksin oral yang bekerja secara aktif (hidup)  berupa  virus yang telah dilemahkan, untuk menggantikan imunisasi dengan suntik jenis Salk di Amerika Serikat. Pada tahun 1960-an,  vaksin digunakan secara rutin dan tidak menyebabkan kontroversi  pada masyarakat dan paramedis, dan vaksin virus aktif (hidup) telah dikembangkan untuk Campak (1963), Rubella/ campak Jerman (1966) dan penyakit Gondong (1968). Dengan adanya penemuan – penemuan tersebut, maka di jaman yang sekarang dikenalah vaksin-vaksin yang digunakan di dunia kedokteran.
2.2.2 Pengertian Vaksin
            Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi). Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau “liar”. Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif (kanker). Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Ada beberapa jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit.
2.2.3 Komposisi Vaksin (Fisikokimia antigen)
            Komposisi  vaksin terdiri dari antigen (atenuated/ diinaktifkan)  ditambah  adjuvant. Adjuvant ialah substansi yang bila disuntikkan bersama-sama dengan antigen akan menambah produksi antibody. Berbagai macam substansi dengan komposisi kimiawi memiliki efak adjuvant. Substansi semacam itu meliputi alum dan garam-garam aluminium lainnya, natrium alginate,endotoksin bakteri, dan suspense air dalam minyak dengan atau tanpa mikro bakteri yang telah dimatikan. Sebagai contoh adjuvant Freund adalah yang paling banyak dipelajari serta paling banyak digunakan didalam percobaan. Adjuvant freund terdiri dari minyak mineral,zat pengemulsi dan basilus tuberkolosis yang telah dimatikan.
Terdapat 4 jenis adjuvan  yaitu :
1. Adjuvant sebagai antigen depot : dilepaskan sedikit demi sedikit
             contoh : cfa, ifa, aluminium hydroxida
   2. Adjuvan bakteri :
            contoh : corynebacterium parvum, bordetella pertusis, muramyl dipeptida
3. Adjuvan sbg vehicle : ke limpha dan nodus limfe
4. Adjuvan alternatif
2.2.4 Jenis - jenis Vaksin
            Berdasarkan bahan imun yang digunakan ada tiga jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (aktif), vaksin hidup yang dilemahkan dan vaksin inaktif (vaksin mati).
1. Vaksin hidup (aktif)
Vaksin hidup terbuat dari virus hidup yang diatenuasikan dengan cara pasase berseri pada biakan sel tertentu atau telur ayam berembrio. Didalam vaksin mengandung virus hidup yang dapat berkembang biak dan merangsang respon imun tanpa menimbulkan sakit. Vaksin hidup yang telah dikembangkan antara lain terhadap pasteurella multocida (pada ayam), vibrio cholera (pada manusia), anthrax (pada domba), rabies (pada anjing).

2. Vaksin yang dilemahkan
Vaksin hidup yang dibuat dari bakteri atau virus yang sudah dilemahkan daya virulensinya dengan cara kultur dan perlakuan yang berulang-ulang, namun masih mampu menimbulkan reaksi imunologi yang mirip dengan infeksi alamiah. Sifat vaksin yang dilemahkan, yaitu :
* Vaksin dapat tumbuh dan berkembang biak sampai menimbulkan respon imun sehingga diberikan dalam bentuk dosis kecil antigen
* Respon imun yang diberikan mirip dengan infeksi alamiah, tidak perlu dosis berganda
* Dipengaruhi oleh circulating antibody sehingga ada efek netralisasi jika waktu pemberiannya tidak tepat.
* Mempunyai kemampuan proteksi jangka panjang dengan keefektifan mencapai 95%
* Virus yang telah dilemahkan dapat bereplikasi di dalam tubuh, meningkatkan dosis asli dan berperan sebagai imunisasi ulangan
Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin MMR, vaksin TBC, vaksin demam tifoid, vaksin campak, gondongan, dan cacar air (varisela).
3. Vaksin Mati (inaktif)
Vaksin inaktif dihasilkan dengan menghancurkan infektivitasnya sedangkan imunogenitasnya masih dipertahankan. dengan cara; (1) fisik misalnya dengan pemanasan, radiasi (2) kimia, dengan bahan kimia fenol, betapropiolakton, formaldehid, etilenimin. Dengan perlakuan ini virus menjadi inaktif tetapi imunogenitasnya masih ada. Vaksin ini sangat aman karena tidak infeksius, namun diperlukan jumlah yang banyak untuk menimbulkan respon antibodi. Sifat vaksin mati, yaitu :
* Respon imun yang timbul sebagian besar adalah humoral dan hanya sedikit atau tidak menimbulkan imunitas seluler
* Titer antibodi dapat menurun setelah beberapa waktu sehingga diperlukan dosis ulangan, dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya memacu dan menyiapkan system imun, respon imunprotektif baru barumuncul setelah dosis kedua dan ketiga
* Tidak dipengaruhi oleh circulating antibody
Contoh : vaksin rabies, vaksin influenza, vaksin polio (Salk), vaksin pneumonia pneumokokal, vaksin kolera, vaksin pertusis, dan vaksin demam tifoid.
            Berdasarkan mikroorganisme pembentuknya, terdapat vaksin yang terbuat dari komponen bakteri dan terbuat dari komponen virus.
* Vaksin dengan Komponen Bakteri :
* Vaksin Toksoid
Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan penyakit dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah. Bahan bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman. Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid yang mampu merangsang terbentuknya antibodi antitoksin. Imunisasi bakteri toksoid efektif selama satu tahun. Bahan ajuvan digunakan untuk memperlama rangsangan antigenik dan meningkatkan imunogenesitasnya.
Contoh : Vaksin Difteri dan Tetanus
* Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines)
Vaksin dengan pendekatan baru dalam teknologi vaksin yang memiliki potensi dalam menginduksi imunitas seluler. Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon ke dalam suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen yang diinsersikan ke dalam sel mamalia. Setelah disuntikkan DNA plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak berintegrasi kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen yang dikodenya. Beberapa kelemahan vaksin DNA bahwa kemungkinan DNA dalam vektor plasmid akan berintegrasi kedalam genom host/inang, kemungkinan akan menginduksi tumor atau menginduksi terbentuknya antibodi terhadap DNA. Selain itu vaksin DNA dapat menginduksi respon imun seluler yang kuat tidak hanya terhadap antigen mikroba melainkan juga terhadap antigen inangnya. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui keamanan vaksin DNA yang efektif terhadap patogen intraseluler.
* Vaksin dengan Komponen Virus :
* Vaksin Acellular dan Subunit
Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri dengan melakukan kloning dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi DNA, vaksin vektor virus dan vaksin antiidiotipe.
Contoh vaksin hepatitis B, Vaksin hemofilus influenza tipe b (Hib) dan vaksin Influenza.
* Vaksin Rekombinan
Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah besar. Gen virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan baculovirus. Dengan teknologi DNA rekombinan selain dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor untuk membawa gen sebagai antigen pelindung dari virus lainnya, misalnya gen untuk antigen dari berbagai virus disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi hewan dengan vaksin bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik. Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin.
* Vaksin Idiotipe
Vaksin yang dibuat dengan melakukan kloning dari gen virus melalui rekombinasi DNA, berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai antigen. Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan virus melalui netralisasai dan pemblokiran terhadap reseptor pre sel B.


2.2.5 Keuntungan dan kekurangan Vaksin Hidup Yang Dilemahkan
Keuntungan Vaksin Hidup Yang Dilemahkan
      Kelebihan attenuated vaccine (vaksin hidup yang dilemahkan) adalah bahwa agen infeksi yang dikandung dalam vaksin tersebut sama dengan tipe aslinya, tetapi tidak lagi mampu menimbulkan penyakit (karena mengalami mutasi atau dimutasikan) tetapi mempunyai jumlah imunogen yang sama. Selanjutnya karena agen infeksinya masih hidup maka di dalam tubuh resipien akan bertambah banyak, sehingga memberikan imunogen dalam jumlah hampir tidak terbatas sehingga merangsang pembentukan antibodi yang lebih tahan lama dan juga memberi perlindungan pada pintu-pintu masuk antigen dan tidak perlu adjuvant.
     
Kekurangan Vaksin Hidup Yang Dilemahkan
1. Agen infeksi yang terkandung di dalamnya tersebut mempunyai kemungkinan untuk mengalami mutasi balik ke sifat virulennya sehingga dapat menyebabkan penyakit.
2. Penyimpanan dan masa berlaku vaksin yang terbatas, dperlukan stabilisator dalam penyimpanan
3. Tingginya resiko tercemar dengan organisme yang tidak diinginkan.

2.2.6 Keuntungan dan kekurangan Vaksin Mati
Keuntungan Vaksin Mati
      Vaksin ini berupa mikroba yang dimatikan sehingga lebih stabil dan lebih aman dibanding vaksin hidup karena mikroba tidak dapat bermutasi balik. Vaksin ini menstimulasi sistem imun yang lebih lemah dibandingkan vaksin hidup. serta vaksin ini mudah dalam proses penyimpanannya.
Kekurangan Vaksin Mati
1. Kekebalan berlangsung singkat, sehingga harus ditingkatkan kembali dengan pengulangan vaksinasi yang mungkin menimbulkan reaksi-reaklsi hipersensitifitas.
2. Pemberian secara parenteral memberikan perlindungan yang terbatas.
3. Resistensi lokal pada pintu-pintu masuk alamiah/multiplikasi utama infeksi virus tidak terjadi. Memerlukan adjuvan untuk meningkatkan antigenisitas yang efektif.
4. Mempunyai viskositas yang tinggi sehingga sulit disuntikkan, mudah mengalami kerusakan  dalam penyimpanan pada suhu  kamar, masa kadaluarsa yang singkat.
2.2.7 Bahaya Vaksin
     Vaksin mengandung substansi berbahaya yang diperlukan untuk mencegah infeksi dan meningkatkan performa vaksin. Seperti merkuri, formaldehyde, dan aluminium, yang dapat membawa efek jangka panjang seperti keterbelakangan mental, autisme, hiperaktif. alzheimer, kemandulan, dll. Vaksin yang digunakan untuk melindungi dan mencegah tubuh terserang penyakit dapat berasal dari mikroorganisme yang dilemahkan ataupun toksin yang dihasilkan mikroorganisme tersebut. Namun seringkali vaksin juga menyebabkan beberapa efek samping yang merugikan karena vaksin akan langsung mempengaruhi system kekebalan tubuh dan juga system syaraf, misalnya :
1. Mikroorganisme yang digunakan dalam membuat vaksin masih melanjutkan proses produksi. Tidak semua kuman yang dilemahkan itu benar benar lemah pada waktu diproduksi sebagai vaksin
2. Mikroorganisme yang digunakan dalam membuat vaksin masih memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit.
3. Ada sebagian orang yang alergi terhadap sisa-sisa sel yang ditinggalkan dari proses vaksin meskipun sudah dilakukan proses pemurnian.
4. Orang-orang yang bekerja dalam pembuatan vaksin bersentuhan dengan organisme berbahaya yang digunakan sebagai bahan pembuat vaksin meskipun sudah dicegah dengan pengaman seperti masker dan sarung tangan. Material pembawa kuman ini terdiri dari material yang tidak aman untuk kesehatan, seperti logam Aluminium, Mercuri dan Formalin. Zat-zat ini terkenal sebagai zat yang berbahaya untuk sistem syaraf dan malah bersifat menimbulkan kanker.
2.3 Pembuatan vaksin oleh virus
1. Kultivasi (Inokulasi) Virus Untuk Pembuatan Vaksin
      Kultivasi merupakan proses pembiakan sel dengan menggunakan mikroorganisme dan media tertentu pada kondisi tertentu. Dari beberapa penerapan kultur sel hewan, produksi vaksin virus adalah yang tertua. Prosesnya adalah virus ditumbuhkan dalam kultur sel, misalnya sel dari embrio ayam, ginjal monyet dan lama-kelamaan sel manusia. Setelah ditumbuhkan, lalu dipanen dan virus-virus tersebut diekstraksi dengan penyaringan. Hasilnya lalu dipakai intik membunuh virus-virus itu juga atau jika vaksin tersebut dilemahkan, maka disimpan dalam suhu rendah hingga siap digunakan. Contoh vaksin yang dibuat dengan cara ini adalah poliomielistis, gondong, cacar air, rubella dan rabies. Adanya vaksin memungkinkan tubuh membangun kekebalan, misalnya membentuk antibody yang sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dan suatu sel penting yang akan tumbuh dan menghasilkan antibody, jika penyakit timbul dalam suatu bentuk virulen.
     Metode berikut ini merupakan penanaman virus pada media tertentu. Metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
A. Metode In Ovo
     Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada telur ayam yang berembrio. Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk isolasi, perkembangan dan karaterisasi avian virus serta untuk memproduksi vaksin virus. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu : rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur ayam berada.
     Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus, dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus.
     Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu : kematian embrio, pembentukan lesi pada CAM (Chorio Alantois Membran) seperti edema atau perkembang plak, lesi pada embrio seperti kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan lien, perubahan warna kehijauan pada kaki, foci nekrotik pada hepar. Metode yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio ayam meliputi : kemampuan cairan corioallantois dan untuk menyebabkan hemaglutinasi dari RBC ayam, penggunaan teknik serologis dan molekular, mikroskop elektron. Harus diperhatikan untuk dapat membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya bakteri dan agen lain (Purchase, 1989).
    
Struktur Telur Berembrio
      Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkan telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio. Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan allantoic. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio (Purchase, 1989).
Metode ini dapat dilakukan dengan tiga jenis inokulasi, antara lain:
1.  Inokulasi pada ruang chorioalantois
     Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum dimasukkan ¾ inci dengan sudut 45º dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan diinokulasikan. Setelah 40-48 jam cairan telur yang sudah diinkubasi dapat diuji untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang kecil pada kerabang di pinggir dari rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan jarumnya, diambil 0,1-0,2 ml cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang sama dari 10% suspensi dari sel darah yang. Cairan alantois yang terinfeksi dipanen setelah 1-4 hari inokulasi. Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan semalam dalam suhu 4ºC kemudian injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka kerabang tersebut dengan pinset steril. Membran ditekan ke atas yolk sac dan cairan diambil dengan spuit dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Kultur cairan tersebut untuk menghindari cairan terkontaminasi bakteri (Stephen,1980). Contoh virus yang diinokulasikan pada ruang chorioalantois ini antara lain, virus ND dan virus influenza.
2.  Inokulasi pada membran chorioalantois
     Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur diletakkan horizontal di atas tempat telur. Desinfektan kerabang disekitar ruang udara dan daerah lain di atas embrio telur. Buat lubang pada daerah tersebut dan diperdalam lagi hingga mencari membran kerabang. Virus diinokulasikan pada membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin dan diinkubasi. Setelah 3-6 hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen dengan mengeluarkan yolk sac dan embrio.
    
3. Inokulasi pada yolk sac
     Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5-7 hari. Post inokulasi diinkubasi selama 3-10 hari. Virus diinokulasikan pada bagian yolk sack dan dijaga jangan sampai terkontaminasi bakteri (Stephen, 1980). Virus yang biasa diinokulasikan di bagian ini adalah virus rabies.
    
     Gambar 10:  Kultivasi (Inokulasi) Virus Pada Telur Berembrio
    
B. Metode In Vitro
     Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan. Kultur jaringan virus dimulai dengan kultivasi embrio anak ayam cincang didalam serum atau larutan-larutan garam. Ini menuntun ke arah penggunaan kultur jaringan murni sel-sel hewan yang dapat ditumbuhi virus. Kini sel hewan dapat ditumbuhkan dengan cara yang serupa seperti yang digunakan untuk sel bakteri. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadah-wadah plastik atau kaca, maka sel-sel tersebut akan melekatkan dirinya pada permukan wadah itu dan terus-menerus membelah diri sampai seluruh daerah permukaan yang tertutupi medium terisi. Terbentuklah suatu lapisan tunggal sel dan dipergunakan untuk mengembangkan virus. Sel-sel jaringan yang berbeda-beda lebih efektif untuk kultivasi beberapa virus ketimbang yang lain. Pendekatan ini telah memungkinkan kultivasi banyak virus sebagai biakan murni dalam jumlah besar untuk penelitian dan untuk produksi vaksin secara komersial. Juga luas penggunaannya untuk isolasi dan perbanyakan virus dari bahan klinis. Vaksin yang disiapkan dari kultur jaringan mempunyai keuntungan dibandingkan dengan yang disiapkan dari telur ayam berembrio dalam hal mengurangi kemungkinan seorang pasien untuk mengembangkan hipersensitivitas atau alergi terhadap albumin telur (Merchant and Packer, 1956).
C. Metode In Vivo
     Dengan cara ini, virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Metode ini merupakan metode yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir mirip misalnya Vesikular Stomatitis pada sapi. Hewan laboratorium yang digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut (Merchant and Packer, 1956).
Contoh Vaksin Oleh Virus :
Vaksin Polio
            Imunisasi polio adalah suatu imunisasi yang memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis. Polio adalah suatu penyakit radang yang menyerang syaraf yang menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian. Penularan penyakit polio ini melalui tinja orang yang terinfeksi, percikan ludah penderita, ataupun makanan dan minuman yang dicemari. Virus polio berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang. Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak.
Terdapat 2 macam vaksin polio :
1. IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk)
Mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan. Vaksin polio inactived yang dibuat oleh Aventis Pasteur berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formaldehid. Imunitas mucosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh OPV
2. OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin)
 Mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio.  Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT Biofarma Bandung berisi virus polio tipe 1,2,3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Ketika masuk melalui oral maka vaksin ini akan menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibody baik dalam darah maupun dalam epitel usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar yang dating masuk kemudian.

Cara Kerja Imunisasi Polio :
a. Inaktifasi.
Vaksin Polio dibuat dengan cara menggunakan bakteri atau virus yang sudah di inaktifasi. Vaksin ini umumnya lebih aman dari vaksin hidup karena organisme penyebab penyakit tidak dapat bermutasi kembali menyebabkan penyakit setelah organisme tersebut dimatikan.

b. Vaksinasi
Vaksin yang mengandung virus, bakteri atau organisme lain yang telah mati disuntikkan ke dalam tubuh. Vaksin kemudian merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi untuk melawan organisme tersebut. Pada lain waktu saat organisme tersebut kembali menyerang tubuh, antibodi dari sistem kekebalan akan menyerang dan akan menghentikan infeksi.

Dosis Pemberian Imunisasi Polio :
            Vaksin polio diberikan sebanyak 2 tetes(0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula, bila dalam 10 menit dimuntahkan, maka pemberian sesuai dosisnya harus diulang
* Dosis ke-1 : saat lahir / saat pulang dari rumah sakit
* Dosis ke-2 : usia 2 bulan
*  Dosis ke-3 : usia 4 bulan
* Dosis ke-4 : usia 6 bulan
*  Dosis ke-5 : usia 18 bulan
   *  Dosis ke-6 : usia 5 tahun
                        Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibobi sampai pada tingkat yang tertingi. Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi dasar, kepada orang dewasa tidak perlu dilakukan pemberian booster secara rutin, kecuali jika dia hendak bepergian ke daerah dimana polio masih banyak ditemukan.  Kepada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio dan perlu menjalani imunisasi, sebaiknya hanya diberikan IPV.
            Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV.  Kepada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya. IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare. Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya selama beberapa hari. Hasil penelitian Gendro Wahyuhono (2001) pada 604 anak di Metro Kabupaten Lampung menunjukkan bahwa imunisasi polio efektif setelah anak mendapatkan imunisasi 3 kali dosis, di mana persentase anak yang mempunyai antibodi tripel positif meningkat setelah anak mendapat imunisasi 3 kali dosis yaitu, 96,6 %.
Tekik Pemberian Imunisasi Polio :
a. Jumlah Pemberian
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal. Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak ada istilah overdosis dalam imunisasi.
b. Usia Pemberian
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.
c. CaraPemberian
Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah Indonesia, yang digunakan adalah OPV.
d. Efek samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
e. Tingkat Kekebalan
Dapat mencekal hingga 90%.
f.  Kontra indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 38 derajat celcius), muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan, HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.

2.4 Respon tubuh terhadap vaksin dan toksin
         2.4.1  Reaksi tubuh terhadap vaksin yaitu:
      Apabila ramuan vaksin tersebut memasuki aliran darah anak. Tubuhnya akan segera bertindak untuk menyingkirkan racun tersebut melalui organ ekresi atau melalui reaksi imun seperti demam, bengkak atau ruam pada kulit. Apabila tubuh anak kuat untuk meningkatkan reaksi imun, tubuh anak mungkin akan berhasil menyingkirkan vaksin tersebut dan mencegahnya terjangkit kembali dimasa yang akan datang. Akan tetapi jika tubuh anak tidak kuat untuk meningkatkan reaksi imun, vaksin beracun akan bertahan dalam jaringan tubuh.
      Timbunan racun ini dapat menyebabkan penyakit seperti diabetes pada anak-anak, asma, penyakit neurologi, leukimia, bahkan kematian mendadak. Ratusan laporan mencatat efek samping jangka panjang yang buruk terkait vaksin seperti penyakit radang usus, autisme, esenfalitis kronis, skelerosis multipel, artritis reumatoid dan kangker. Selain itu jika tubuh diberi vaksin tubuh akan membentuk kekebalan tubuh atau adanya  respon imun. Dilihat dari berapa kali tahapan antigen maka dapat dikenal dua macam respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.
* Respons imun primer
Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada tahapn pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila dibanding dengan respons imun sekunder
* Respons imun sekunder
Pada respons imun sekunder, antibodi yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit T akan lebih cepat mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel T aktif sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori.  Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.
• Pemberian vaksin dalam tubuh akan menimbulkan kekebalan tubuh contohnya dengan pemberian imunisasi sejak dini. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit. Terdapat dua macam kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih  pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.
   Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis-jenis penyakit yang transmisinya bergantung kepada manusia, seperti misalnya penyakit difteria. Agar dapat lebih mudah memahami mengenai proses imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu diketahui tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh (lihat juga bab tentang respons imun).
Macam-macam imunisasi sebagai berikut diantaranya :
* IMUNISASI BCG
Vaksin BCG tidak dapat mencegah seseorang terhindar dari infeksi M. tuberculosa 100%, tapi dapat mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut, Berasal dari bakteri hidup yang dilemahkan ( Pasteur Paris 1173 P2), Ditemukan oleh Calmette dan Guerin
 • Diberikan sebelum usia 2 bulan Disuntikkan intra kutan di daerah insertio m. deltoid dengan dosis 0,05 ml, sebelah kanan
 • Imunisasi ulang tidak perlu, keberhasilan diragukan
Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus dilarutkan dengan 4 cc NaCl 0,9%. Setelah dilarutkan harus segera dipakai dalam waktu 3 jam, sisanya dibuang. Penyimpanan pada suhu < 5°C terhindar dari sinar matahari (indoor day-light).

Cara penyuntikan BCG
  Bersihkan lengan dengan kapas air
• Letakkan jarum hampir sejajar dengan lengan anak dengan ujung jarum yang   berlubang menghadap keatas.
  Suntikan 0,05 ml intra kutan
            – merasakan tahan
            – benjolan kulit yang pucat dengan pori- pori yang khas diameter 4-6 mm
Reaksi sesudah imunisasi BCG
1. Reaksi normal
o 2 minggu indurasi, eritema, kemudian menjadi pustula
o 3-4 minggu  pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)
o 8-12 minggu  ulkus menjadi scar diameter 3-7 mm.
2. Reaksi regional pada kelenjar
o Merupakan respon seluler pertahanan tubuh
o Kadang terjadi di kelenjar axila dan servikal (normal BCG-it is)
o Timbul 2-6 bulan sesudah imunisasi
o Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)
o Akan mengecil 1-3 bulan kemudian tanpa pengobatan.
* IMUNISASI HEPATITIS B
- Vaksin berisi HBsAg murni
- Diberikan sedini mungkin setelah lahir
- Suntikan secara Intra Muskular di daerah deltoid, dosis 0,5 ml.
- Penyimpanan vaksin pada suhu 2-8°C
- Bayi lahir dari ibu HBsAg (+) diberikan imunoglobulin hepatitis B 12 jam setelah lahir + imunisasi Hepatitis B
- Dosis kedua 1 bulan berikutnya
- Dosis ketiga 5 bulan berikutnya (usia 6 bulan)
- Imunisasi ulangan 5 tahun kemudian
- Kadar pencegahan anti HBsAg > 10mg/ml
- Produksi vaksin Hepatitis B di Indonesia, mulai program imunisasi pada tahun 1997
Efek samping
• Demam ringan
• Perasaan tidak enak pada pencernaan
• Rekasi nyeri pada tempat suntikan
* IMUNISASI POLIO
o Vaksin dari virus polio (tipe 1,2 dan 3) yang dilemahkan, dibuat dalam biakan sel-vero : asam amino, antibiotik, calf serum dalam magnesium klorida dan fenol merah
o Vaksin berbentuk cairan dengan kemasan 1 cc atau 2 cc dalam flacon, pipet.
o Pemberian secara oral sebanyak 2 tetes (0,1 ml)
o Vaksin polio diberikan 4 kali, interval 4 minggu
o Imunisasi ulangan, 1 tahun berikutnya, SD kelas I, VI
o Anak diare gangguan penyerapan vaksin.
o Penyimpanan pada suhu 2-8°C
o Virus vaksin bertendensi mutasi di kultur jaringan maupun tubuh penerima vaksin
o Beberap virus diekskresi mengalami mutasi balik menjadi virus polio ganas yang neurovirulen
o Paralisis terjadi 1 per 4,4 juta penerima vaksin dan 1 per 15,5 juta kontak dengan penerima vaksin
- Kontra indikasi : defisiensi imunologik atau kontak dengannya


* IMUNISASI DPT
Terdiri dari
- toxoid difteri merupakan  racun yang dilemahkan
- Bordittela pertusis merupakan bakteri yang dilemahkan
- toxoid tetanus  racun yang dilemahkan (+) aluminium fosfat dan mertiolat
o Merupakan vaksin cair. Jika didiamkan sedikit berkabut, endapan putih didasarnya
o Diberikan pada bayi > 2 bulan oleh karena reaktogenitas pertusis pada bayi kecil.
o Dosis 0,5 ml secara intra muskular di bagian luar paha.
o Imunisasi dasar 3x, dengan interval 4 minggu.
o Vaksin mengandung Aluminium fosfat, jika diberikan sub kutan menyebabkan iritasi lokal, peradangan dan nekrosis setempat.
- Reaksi pasca imunisasi:
o Demam, nyeri pada tempat suntikan 1-2 hari diberikan anafilatik + antipiretik
o Bila ada reaksi berlebihan pasca imunisasi  demam > 40°C, kejang, syok ® imunisasi selanjutnya diganti dengan DT atau DPaT
Kontraindikasi
• Kelainan neurologis n terlambat tumbuh kembang
• Ada riwayat kejang
• Penyakit degeneratif
•Pernah sebelumnya divaksinasi DPT menunjukkan: anafilaksis, ensefalopati, kejang, renjatan, hiperpireksia, tangisan/teriakan hebat.

* IMUNISASI CAMPAK
Vaksin dari virus hidup (CAM 70- chick chorioallantonik membrane) yang dilemahkan + kanamisin sulfat dan eritromisin Berbentuk beku kering, dilarutkan dalam 5 cc pelarut aquades.
o Diberikan pada bayi umur 9 bulan oleh karena masih ada antibodi yang diperoleh dari ibu.
o Dosis 0,5 ml diberikan sub kutan di lengan kiri.
o Disimpan pada suhu 2-8°C, bisa sampai – 20 derajat celsius
o Vaksin yang telah dilarutkan hanya tahan 8 jam pada suhu 2-8°C
o Jika ada wabah, imunisasi bisa diberikan pada usia 6 bulan, diulang 6 bulan kemudian
Efek samping: demam, diare, konjungtivitis, ruam setelah 7 – 12 hari pasca imunisasi. Kejadian encefalitis lebih jarang
Kontraindikasi:
* infeksi akut dengan demam, defisiensi imunologik, tx imunosupresif, alergi protein telur, hipersensitifitas dng kanamisin dan eritromisin, wanita hamil.
* Anak yang telah diberi transfusi darah atau imunoglobulin ditangguhkan minimal 3 bulan.
* Tuberkulin tes ditangguhkan minimal 2 bulan setelah imunisasi campak
* IMUNISASI HIB
o Untuk mencegah infeksi SSP oleh karena Haemofilus influenza tipe B
o Diberikan MULAI umur 2-4 bulan, pada anak > 1 tahun diberikan 1 kali
o Vaksin dalam bentuk beku kering dan 0,5 ml pelarut dalam semprit.
o Dosis 0,5 ml diberikan IM
o Disimpan pada suhu 2-8°C
o Di Asia belum diberikan secara rutin
o Imunisasi rutin diberikan di negara Eropa, Amerika, Australia.
* IMUNISASI MMR
Merupakan vaksin hidup yang dilemahkan terdiri dari:
o Measles strain moraten (campak)
o Mumps strain Jeryl lynn (parotitis)
o Rubela strain RA (campak jerman)
o Diberikan pada umur 15 bulan. Ulangan umur 12 tahun
o Dosis 0,5 ml secara sub kutan, diberikan minimal 1 bulan setelah suntikan imunisasi lain.
Kontra indikasi: wanita hamil, imuno kompromise, kurang 2-3 bulan sebelumnya mendapat transfusi darah atau tx imunoglobulin, reaksi anafilaksis terhadap telur
* IMUNISASI TYPHUS
Tersedia 2 jenis vaksin:
o suntikan (typhim) >2 tahun
o oral (vivotif) > 6 tahun, 3 dosis
o Typhim (Capsular Vi polysaccharide-Typherix) diberikan dengan dosis 0,5 ml secara IM. Ulangan dilakukan setiap 3 tahun.
o Disimpan pada suhu 2-8°C
o Tidak mencegah Salmonella paratyphi A atau B
o Imunitas terjadi dalam waktu 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi
Reaksi pasca imunisasi: demam, nyeri ringan, kadang ruam kulit dan eritema, indurasi tempat suntikan, daire, muntah.
* IMUNISASI VARICELLA
o Vaksin varicella (vaRiLrix) berisi virus hidup strain OKA yang dilemahkan. Bisa diberikan pada umur 1 tahun, ulangan umur 12 tahun. Vaksin diberikan secara sub kutan Penyimpanan pada suhu 2-8°C
o Kontraindikasi: demam atau infeksi akut, hipersensitifitas terhadap neomisin, kehamilan, tx imunosupresan, keganasan, HIV, TBC belum tx, kelainan darah.
o Reaksi imunisasi sangat minimal, kadang terdapat demam dan erupsi papulo-vesikuler.

* IMUNISASI HEPATITIS A
o Imunisasi diberikan pada daerah kurang terpajan, pada anak umur > 2 tahun. Imunisasi dasar 3x pada bulan ke 0, 1, dan 6 bulan kemudian. Dosis vaksin (Harvix-inactivated virus strain HM 175) 0,5 ml secara IM di daerah deltoid. Reaksi yag terjadi minimal kadang demam, lesu, lelah, mual-muntah dan hialng nafsu makan
Dosis vaksin
* Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian
* Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji coba.
2.4.2 Respon tubuh terhadap toksin
Efek toksin didalam tubuh:
* Reaksi alergi
Alergi adalah reaksi yang merugikan yang disebabkan oleh bahan kimia atau toksikan karena peka terhadap bahan tersebut. Kondisi alergi sering disebut sebagai “ hipersensitif “, sedangkan reaksi alergi atau reaksi kepekaannya dapat dipakai untuk menjelaskan paparan bahan polutan yang menghasilkan efek toksik. Reaksi alergi timbul pada dosis yang rendah sehingga kurve dosis responnya jarang ditemukan.


* Reaksi ideosinkrasi
Merupakan reaksi abnormal secara genetis akibat adanya bahan kimia atau bahan polutan.
* Toksisitas cepat dan lambat
Toksisitas cepat merupakan manifestasi yang segera timbul setelah pemberian bahan kimia atau polutan. Sedangkan toksisitas lambat merupakan manifestasi yang timbul akibat bahan kimia atau toksikan selang beberapa waktu dari waktu timbul pemberian.
* Toksisitas setempat dan sistemik
Perbedaan efek toksik dapat didasarkan pada lokasi manifestasinya. Efek setempat didasarkan pada tempat terjadinya yaitu pada lokasi kontak yang pertama kali antara sistem biologi dan bahan toksikan. Efek sistemik terjadi pada jalan masuk toksikan kemudian bahan toksikan diserap, dan didistribusi hingga tiba pada beberapa tempat. Target utama efek toksisitas sistemik adalah sistem syaraf pusat kemudian sistem sirkulasi dan sistem hematopoitik, organ viseral dan kulit, sedangkan otot dan tulang merupakan target yang paling belakangan.
Respon toksin tergantung pada :
1. Sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut
2. Situasi pemaparan
3. Kerentanan sistem biologis dari subyek
 Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas adalah :
* Jalur masuk ke dalam tubuh
Jalur masuk ke dalam tubuh suatu polutan yang toksik, umumnya melalui saluran pencernaan makanan, saluran pernafasan, kulit, dan jalur lainnya. Jalur lain tersebut diantaranya adalah intra muskuler, intra dermal, dan sub kutan. Jalan masuk yang berbeda ini akan mempengaruhi toksisitas bahan polutan. Bahan paparan yang berasal dari industri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan terhirup, sedangkan kejadian “keracunan” biasanya melalui proses tertelan.
* Jangka waktu dan frekuensi paparan
* Akut : pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24 jam
* Sub akut : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 1 bulan atau kurang
* Subkronik : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 3 bulan
* Kronik : pemaparan berulang terhadap bahan kimia untuk jangka waktu lebih dari 3 bulan
            Pada beberapa bahan polutan, efek toksik yang timbul dari paparan pertama sangat berbeda bila dibandingkan dengan efek toksik yang dihasilkan oleh paparan ulangannya. Bahan polutan benzena pada peran pertama akan merusak sistem syaraf pusat sedangkan paparan ulangannya akan dapat menyebabkan leukemia.
            Penurunan dosis akan mengurangi efek yang timbul. Suatu bahan polutan apabila diberikan beberapa jam atau beberapa hari dengan dosis penuh akan menghasilkan beberapa efek. Apabila dosis yang diberikan hanya separohnya maka efek yang terjadi juga akan menurun setengahnya, terlebih lagi apabila dosis yang diberikan hanya sepersepuluhnya maka tidak akan menimbulkan efek. Efek toksik yang timbul tidak hanya tergantung pada frekuensi pemberian dengan dosis berbeda saja tetapi mungkun juga tergantung pada durasi paparannya. Efek kronis dapat terjadi apabila bahan kimia terakumulasi dalam sistem biologi. Efek toksik pada kondisi kronis bersifat irreversibel. Hal tersebut terjadi karena sistem biologi tidak mempunyai cukup waktu untuk pulih akibat paparan terus-menerus dari bahan toksin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar