2.1 Tinjauan toksin yang digunakan untuk
vaksin
Jika sebuah mikroorganisme dapat menimbulkan penyakit maka
mikroorganisme ini di sebut pathogen. Terdapat beberapa mikroorganisme di alam
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia, dengan inokulum yang kecil dapat
menyebabkan penyakit pada manusia jika pertahanan tubuh mulai melemah.
Keganasan suatu penyakit merupakan ukuran tingkatan dari pathogenesis dan
dikaitkan pada organisme yang berpotensial menghasilkan toksin dan invasiness.
Toksigenitas atau produksi toksin ialah salah satu penyebab terbesar
dari bakteri yang menyebabkan penyakit. Toksin sendiri memiliki pengertian zat
racun yang dibentuk dan dikeluarkan oleh organisme yang dapat menyebabkan
kerusakan radikal dalam struktur, merusak total hidup atau keefektifan
organisme lain pada satu bagian. Toksin yang berasal dari bakteri adalah
komponen racun terlarut yang diproduksi oleh bakteri, dan menyebabkan pengaruh
negatif terhadap sel-sel inang dengan cara mengubah metabolisme normal dari sel
inang tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri ini bisa dibedakan atas dua
jenis yaitu endotoksin dan enterotoksin.
1. Endotoksin
Endotoksin adalah toksin yang merupakan bagian integral dari dinding sel
bakteri Gram negatif, baik coccus maupun basil dan tidak mengaktifkan pelepasan
dari sel. Aktivitas biologis dari endotoksin dihubungkan dengan keberadaan
lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan komponen penyusun permukaan dari membran
terluar (outer membran) bakteri Gram negatif seperti E. coli, Salmonella,
Shigella dan Pseudomonas.
LPS terletak pada membran terluar. Karena membran luar hanya dimiliki
oleh bakteri Gram negatif, maka endotoksin dapat dikatakan sebagai toksin yang
khas dimiliki oleh bakteri Gram negatif, bateri Gram positif tidak mempunyai
endotoksin .
Efek toksik dari LPS disebabkan oleh komponen lipid (lipid A) dari LPS
sementara polisakarida O yang hidrofilik berperan sebagai carrier pembawa lipid
A. Komponen lipid A ini bukanlah struktur makromolekuler tunggal melainkan
terdiri dari susunan kompleks dari residu-residu lipid.
Endotoksin adalah LPS sementara eksotoksin adalah polipetida.
Enzim-enzim yang menghasilkan LPS tersebut dikodekan oleh gen-gen pada kromosom
bakteri daripada plasmid atau DNA bakteriofage yang biasanya mengkodekan
eksotoksin. Toksisitas endotoksin lebih rendah dibandingkan dengan eksotoksin,
namun beberapa organisme memiliki endotoksin yang lebih efektif dibanding yang
lain. Endotoksin adalah antigen yang lemah dan menginduksi antibodi dengan
lemah sehingga tidak cocok digunakan sebagai antigen dalam vaksin. Keberadaan
endotoksin tanpa bakteri penghasilnya sudah cukup untuk menimbulkan gejala
keracunan pada inang contohnya keracunan makanan karena endotoksin yang
dihasilkan oleh bakteri Salmonella.
Gejala penyakit karena aktivitas endotoksin (LPS) terjadi jika bakteri
mati (misalnya karena aktivitas antimikroba, aktivitas phagosit atau obat
antibiotika) dan mengalami lisis sehingga LPS akan dilepas ke lingkungan atau
beberapa juga dilepaskan saat penggandaan bakteri. Endotoksin akan memberi efek
negatif jika terdapat dalam jumlah yang cukup besar (LPS lebih dari 100 ?g).
Karena bersifat non enzimatis, maka mekanisme reaksinya tidak spesifik. LPS
menyerang sistim pertahanan tubuh sehingga menyebabkan timbulnya efek biologis
dari endotoksin yaitu:
1. Demam karena pelepasan makrofag oleh
interleukin-1 yang beraksi karena pusat pengaturan temperatur hipotalamus.
Selain itu, demam juga dapat disebabkan oleh karena endotoksin dapat memicu
pelepasan protein pirogen endogen (protein di dalam sel) yang memengaruhi pusat
pengatur suhu tubuh di dalam otak.
2. Hipotensi karena meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah.
3. Aktivasi jalur alternatif dari jalur
komplemen sehingga terjadi peradangan dan kerusakan jaringan.
4. Aktivasi makrofag, peningkatan
kemampuan fagosit, dan aktivasi dari banyak klon limfosit B sehingga
meningkatkan produksi antibodi.
5. Peradangan, penurunan kadar besi dan
pembekuan darah
Efek langsung maupun tak langsung lain dari endotoksin termasuk
stimulasi pembentukan sel granulosit, penggumpalan dan degenerasi dari sel
trombosit.
2. Eksotoksin
Eksotoksin merupakan komponen protein terlarut yang disekresikan oleh
bakteri hidup pada fase pertumbuhan eksponensial. Produksi toksin ini biasanya
spesifik pada beberapa species bakteri tertentu (bisa Gram positif maupun Gram
negatif) yang menyebabkan terjadinya penyakit terkait dengan toksin tersebut.
Sebagai contoh, toksin botulin hanya dihasilkan oleh Clostridium botulinum.
Pada beberapa pathogen, toksin merupakan faktor virulence: toksin hanya
diproduksi oleh strain yang virulent. Beberapa patogen bisa mensekresikan
eksotoksin ke dalam pangan. Pada kondisi ini, walaupun bakterinya tidak ada,
toksin akan menyebabkan keracunan pangan jika masuk ke saluran pencernaan
(intoksikasi). Pada beberapa patogen, bakteri hidup masuk ke saluran pencernaan
dan memproduksi toksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan
(toksiko-infeksi).
Eksotoksin berukuran lebih besar dari endotoksin, dengan berat molekul
sekitar 50 – 1000 kDa. Toksin ini berfungsi seperti enzim dan memiliki
sifat-sifat enzim yaitu terdenaturasi oleh panas, asam dan enzim proteolitik.
Potensi toksiknya tinggi (konsentrasi 1 ?g dapat menyebabkan keracunan).
Aktivitas biologis dari eksotoksin berlangsung dengan mekanisme reaksi dan
substrat yang spesifik. Substrat (didalam inang) bisa berupa komponen dari
sel-sel jaringan, organ atau cairan tubuh. Biasanya, bagian yang dirusak oleh
toksin mengindikasikan lokasi dari substrat untuk toksin tersebut.
Istilah seperti enterotoksin, neuro-toksin, dan hemolysin kadang-kadang
digunakan untuk mengindikasikan sisi target dari suatu eksotoksin. Eksotoksin
bersifat antigenik. Artinya, secara in vivo, aktivitasnya dapat dinetralkan
oleh antibody yang spesifik untuk eksotoksin tersebut. Beberapa eksotoksin
memiliki aktivitas sitotoksik yang sangat spesifik. Misalnya, toksin botulin
yang hanya menyerang syaraf. Beberapa eksotoksin yang lain memiliki spektrum
aktivitas yang lebih lebar dan menyebabkan kematian (nekrosis) dari beberapa
sel dan jaringan (non spesifik) misalnya toksin yang diproduksi oleh
Staphylococcus, Streptococcus, Clostridium, dan sebagainya. Toksin dengan
spektrum aktivitas yang lebar ini biasanya merusak membran sel inang dan
menyebabkan kematian sel karena terjadinya kebocoran isi sel. Sitotoksin
menyebabkan kerusakan secara intraseluler.
Pengontrol
* Disekresikan oleh sel hidup,
konsentrasi tinggi dalam medium cair.
* Dihasilkan oleh bakteri gram positif
dan gram negatif
* Polipeptida dengan berat molekul
10.000-900.000.
* Relatif tidak stabil, toksisitas
sering hilang dengan cepat melalui pemanasan pada temperature di atas 60°c.
* Sangat antigenic, merangsang
pembentukan antitoksin titer tinggi. Antitoksin menetralisir toksin.
* Diubah menjadi toksoid yang bersifat
antigenic dan nontoksin oleh formalin, asam, panas,dll. Toksoid digunakan untuk
imunisasi (missal, toksoid tetanus).
* Sangat toksik, fatal bagi hewan dalam
jumlah 1 mikrogram atau kurang.
* Biasanya berikatan dengan reseptor
spesifik pada sel.
* Biasanya tidak menimbulkan demam bagi
host.
* Sering dikontrol oleh gen
ekstrakromosom (misal, plasmid).
* Bagian integral dinding sel bakteri
garam negative. Dilepaskan saat sel mati dan sebagian salama pertumbuhan.
Mungkin tidak perlu dilepaskan untuk menimbulkan efek biologis.
* Hanya ditemukan dalam bakeri gram
negatif.
* Kompleks lipopolisakarida. Bagian
lipid A yang kemungkinan yang menyebabkan toksisitas.
* Relatif stabil, tahan panas pada
temperature di atas 60°c selama berjam-jam tanpa kehilangan toksisitasnya.
* Imunogenik lemah, antibodi bersifat
antitoksik dan protektif.
* Tidak diubah menjadi toksoid.
* Toksik sedang, fatal bagi hewan dalam
jumlah puluhan sampai ratusan mikrogram.
* Reseptor spesifik tidak ditemukan pada
sel.
* Biasanya menimbulkan demam bagi host
dengan melepaskan interleukin-1 dan mediator lain.
* Sintesis dikendalikan oleh gen
kromosom.
Mekanisme toksisitas oleh mikroorganisme
Eksositosis dilakukan melalui tiga cara, yaitu :
1. Menghambat sintesis protein : toksin
dipteri
2. Hiperaktivitas ekskresi: toksin
kolera
3. Penghambatan aktivitas
neurotransmitter: toksin tetanus
Mikroba Penghasil Toksin Yang Berkaitan
Dengan Vaksin (Toksoid)
1. Clostridium tetani
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom
:
Bacteria
Division
:
Firmicutes
Class
:
Clostridia
Order
:
Clostridiales
Family
:
Clostridiaceae
Genus
:
Clostridium
Species
:
Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani
ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Tahan dalam autoklaf (1210C,
10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran
manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri
ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda,
domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan
neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian
sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin
dan tetanospasmin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus.
Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5
nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb)
manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
Patogenesis
Infeksi Clostridium tetani muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di
dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium
tetani berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat.
Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke
bagian anterior spinal cord.
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Gambar 2. Luka Akibat Besi Berkarat
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan
beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk
otak, toksin terikat pada ganglion di medula spinalis. Toksin menghambat
pelepasan asetilkolin (mengganggu transmisi neurotransmitter) Gejala klonis
yang ditimbulkan dari toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter
sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol.
Gambar 3. Mekanisme Pemblokan Neurotransmitter
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering
disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah.
Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan dan rasio kematian
sangatlah tinggi.
Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan
merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara :
1. Imunisasi aktif dengan toksoid
a. Anti Tetanus Serum (ATS)
Suatu vaksin yang terbuat dari serum
kuda yang telah kebal dari infeksi tetanus, namun karena angka kejadian alergi
yang cukup tinggi untuk vaksin ini, sehingga penggunaannya sudah mulai
ditinggalkan, termasuk di negara maju vaksin ini sudah tidak dipergunakan sama
sekali. Vaksin ini memberikan kekebalan secara pasif.
Gambar 4. Anti Tetanus Serum
b. Tetanus Toksoid (TT)
Vaksin ini mengandung toksin (racun)
dari kuman C. tetani yang telah dilemahkan. Vaksin ini sengaja dimasukkan ke
dalam tubuh dengan tujuan untuk merangsang antibodi anti Tetanus, dan
penggunaan vaksin ini perlu diperpanjang dengan vaksin booster. Dan jenis
vaksin ini adalah vaksin yang memberikan kekebalan aktif.
Gambar 5. Tetanus Toksin
c. Tetanus Globulin
Suatu vaksin yang mengandung fraksi
antibodi anti Tetanus dari manusia, dan vaksin ini dapat dipergunakan dengan
segera setelah penderita mendapatkan luka, karena bekerja secara pasif, maka
vaksin ini mampu menetralisir secara langsung racun dari kuman C. tetani yang
telah masuk ke dalam tubuh.
Gambar 6. Tetanus Globulin
2. Perawatan luka menurut cara yang tepat
3. Penggunaan antitoksi profilaksis
Namun sampai pada saat ini pemberian
imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan
terjadinya tetanus, dimana penderitanya akan mendapatkan kekebalan terhadap
racun atau toksin Tetanus baik secara pasif maupun aktif. Pencegahan dengan
pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara
pemberian imunisasi aktif( DPT atau DT ).
Pengobatan untuk penderita tetanus, dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain :
1. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis
30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan
dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan
secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of
globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang
berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah :
20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan
diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada
daerah pada sebelah luar.
3. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi.
2. Bakteri Corynebacterium diphtheriae
Gambar 7. Corynebacterium
diphtheriae
Klasifikasi
Kingdom : Bakteri
Filum :
Actinobacteria
Kelas :
Actinobacteria
Order :
Actinomycetales
Keluarga : Corynebacteriaceae
Genus :
Corynebacterium
Spesies :
Corynebacterium diphtheriae
Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan
difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini
bersifat setempat dan juga menyeluruh disebabkan oleh racun yang dihasilkan
oleh galur-galur Corynebacterium diphtheriae yang bersifat toksigenik. Ia juga
dikenal sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh
bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler
(1852-1915).
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu :
a. gravis : agak kasar, rata,berwarna
abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling besar. bentuk pemukul dan bentuk
halter, granula metakromatik sedikit,
pada area sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni
pada Mcleod’s chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.
b. mitis : koloni licin, cembung dan
hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan sejumlah
granula metakromatik, batasan sel tersusun huruf v & w, mirip spt karakter tulisan
kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada Mcleod’s chocolate. Pada
kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil
dan dan licin dengan pusat berwarna hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru
terang & gelap, tidak adanya granula metakromatik . penyakit : pertengahan
pada kaldu akan membentuk endapan.
. Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan
sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan
virulensi dari tiga tipe dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk
memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat
pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro)
dari 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100
menit, dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam
tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan
organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang
jaringan.
Morfologi dan Sifat Biakan
Kuman
difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora,
tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. diphtheriae
bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana
aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum
Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain
mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding
dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap
pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah dimatikan oleh
desinfektan.
Epidemiologi
Difteri
terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini
terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar
melalui kontak langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat
diisolasi dari berbagai tempat seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia.
Strain patogenik dari Corynebacteria dapat menginfeksi tanaman, hewan, atau
manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai reservoir penting
infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim sedang
atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.
Penentu Patogenitas
Patogenisitas Corynebacterium
diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu
1. Invasi jaringan lokal dari
tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi bakteri berikutnya.
Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap difteri C.
diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga
mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri.
Toksin difteri menyebabkan kematian sel eukariotik dan jaringan oleh inhibisi
sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin bertanggung jawab atas
gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C. diphtheriae tidak dapat
dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif mendahului toxigenesis,
sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan bahwa toksin difteri
memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek jangka pendek di
lokasi kolonisasi.
Patogenesis
Organisme
ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan
bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran. Toksin
yang dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan
didistribusikan ke jaringan tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas
komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis dan juga dapat menyebabkan
rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin
(proteinuria).
Penyakit klinis terkait dengan jenis
non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara kasus yang parah jarang dilaporkan,
sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh strain toksigen yang tidak terdeteksi
karena contoh koloni tidak memadai.
Gambaran klinis
Masa
inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis,
akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi,
tergantung pada tempat penyakit.
1)Anterior nasal difteri : Biasanya
ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan
nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena
penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh
antitoksin dan terapi antibiotik.
2)Pharyngeal dan difteri tonsillar :
Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk
malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi
cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari.
Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3)Difteri laring : Difteri laring dapat
berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk demam, suara serak, dan
batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan
kematian.
4)Difteri kulit : Difteri kulit cukup
umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan
batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput
lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori
eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh
toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering
adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang
tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada
bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi saraf
motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan kelumpuhan
diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena
obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan
untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga
20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit
selama 50 tahun terakhir.
Diagnosis
Diagnosis
klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering
terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang
toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies
Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa. Karena itu bila
pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri, maka hasil presumtif
adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini menunjukkan pentingnya
dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan hasil yang
dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium
harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar
penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan
pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus
segera dikirim ke laboratorium.
Pengobatan
Antitoksin
difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat
pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang
tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis
presumtif keluar, tanpa perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini
dilakukan karena toksin dapat dengan cepat terikat pada sel jaringan yang peka,
dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak dapat dinetralkan kembali. Jadi
penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan lebih lanjut
dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah perkembangan
penyakit.
Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti
Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder
(Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan
eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2
gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular
(300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U /
sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan
Pencegahan
infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan tidak
melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif
juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan
dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua diberikan pada saat anak akan
bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan menggunakan antitoksin
berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering berhubungan
dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan
yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri
juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
3. Clostridium botulinum
Gambaran Umum Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang,
membentuk spora, dan bersifat anaerob obligat serta mampu menghasilkan
neurotoksin yang dapat menyebabkan penyakit. Bakteri ini banyak terdapat di
tanah dan mungkin mencemari hasil pertanian maupun peternakan. Botulisme adalah
suatu penyakit yang disebabkan keracunan
makanan oleh bakteri. Botulisme berasal dari kata botulisme yang berarti sosis.
Penyakit ini diberi nama demikian karena selama bertahun-tahun sosis yang tidak dimasak dihubungkan dengan penyakit
ini. Botulin, juga dikenal sebagai botox, yaitu
toksin bakteri paling mematikan yang dapat terbentuk pada
makanan kaleng yang
tidak diproses dengan benar atau cukup dipanasi.
Penyakit ini terjadi karena memakan
toksin botulinum yang
terdapat dalam makanan yang diawetkan dengan cara kurang
sempurna, seperti yang dijumpai dalam makanan kaleng. Tetapi botulisme juga
dapat disebabkan karena kontaminasi luka yang akan menghasilkan toksin yang
tumbuh pada jaringan mati. Ada tujuh tipe Clostridium botulinum yang dikenali
karena perbedaan antigenik di antara toksin yang dihasilkannya yaitu tipe A, B,
C, D, E, F, dan G. Yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah tipe A, B, E,
dan tipe F. Tipe C dan D menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia,
sedangkan tipe G belum diketahui dapat menyebabkan penyakit atau tidak.
Clostridium botulinum Peyebab Botulism :
Etiologi
1. Morfologi
Morfologi dari Cl botulinum yakni berentuk
batang, berspora oval subterminal, anaerob, motil (flagela peritrikus) dan
merupakan bakteri gram negatif. Tipe dari Cl. Botulinum adalah tipe A, B, C, D,
E, dan F. Produksi toxin dapat pada daging kering dengan kadar air kurang dari
30%. Menghasilkan neurotoxin botulin dan pada umumnya ditemukan di tanah.
2. Sifat biakan
Di laboratorium Cl. Botulinum dapat
diisolasi pada media trytose cycloserine ( TSC), selalu dalam lingkunan
anerobik yang mengandung kurang dari 2% oksigen. Cl. Botulinum tidak
menggunakan laktosa sebagai sumber karbon utama. Hidup pada pH 4,8-7,.
3. Struktur antigen
Bakteri ini dikelompokkan menjadi grup
I-IV berdasarkan sifaf proteolitiknya dan memiliki tujuh struktur antigen yakni
antigen (A-G), serta antigen somatik.
Pathogenesis
Toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium adalah racun yang
paling ampuh. Sebagai contoh dosis letal (mematikan) bagi toksin tipe A pada
tikus diperkirakan 0,000000033 mg. Ini berarti 1 gram toksin dapat membunuh 33
milyar tikus. Racun ini menyerang urat
syaraf, menyebabkan kelumpuhan pada faring dan diafragma. Cara kerja toksin ini
adalah dengan menghambat pembebasan asetilkolin oleh serabut syaraf
ketika impuls syaraf lewat di sepanjang syaraf tepi.
Cl. Perfringens tipe C dan D menyebabkan botulism pada hewan sedangkan
yang lain menyebabkan botulism pada manusia. Hewan yang rentan adalah unggas,
sapi kuda dan beberapa jenis ikan. Bakteri ini menghasilkan racun saraf
(neurotoksin botulin). Neurotoksin hanya dihasilkan saat terjadi proses
endospora dalam keadaan anerobik. Sporanya tersebar luas di lingkungan, di
tanah, udara, debu, dan air laut.
Infeksi oleh Cl. Botulinum dapat melalui makanan maupun luka. Jika hewan
menelan pakan yang terkontaminasi spora Cl. Clostridium dari lingkungan
sekitarnya.Setelah tertelan maka akan menghasilkan neurotoksin di dalam usus.
Pada hewan Cl. Botulinum yang menginfeksi adalah tipe C dan D, sehingga toxin
yang di hasilkan adalah toxin C dan D. Kemudian toxin akan berikatan dengan
reseptor pada saraf kolinergik dan memblokade pengeluaran asetikolin. Hal ini
akan menggangu stimulasi gerakan otot sehingga mengakibatkan paralisis. Dalam
beberapa saat akan menyebabkan muntah, lemas, kejang, dan akhirnya paralisis
sistem respirasi. Infeksi melalui luka biasanya terjadi karena luka tusuk dan
mekanismenya sama dengan keracunan pada makanan.
Epidemiologi botulisme
Clostridium botulinum tersebar
luas di lingkungan darat dan perairan. Jika sporanya mencemari makanan
yang sudah diolah atau mengadakan kontak dengan luka maka dapat berkembang biak
menjadi sel-sel vegetatif dan menghasilkan toksin. Selain itu infeksi juga
dapat terjadi pada saluran bayi yang disebut botulisme bayi. Toksinnya
dihasilkan di dalam usus bayi, menyebabkan badan lemah, tidak dapat buang air
besar, dan lumpuh. Infeksi semacam ini mungkin disebabkan karena pemberian susu
yang mengandung spora Clostridium botulinum pada bayi.
Gejala dari keracunan botulisme
Gejala penyakit ini biasanya mulai muncul sekitar 12 – 48 jam
setelah mengkonsumsi makanan yang
sudah tercemar. Gejala tersebut
meliputi kesulitan berbicara, pupil melebar, penglihatan ganda, mulut terasa kering, mual, muntah, dan tidak dapat
menelan. Kelumpuhan dapat terjadi pada kantung
kemih dan semua otot yang bekerja di daerah tersebut. Kematian
mungkin terjadi beberapa hari setelah
timbulnya gejala karena tidak dapat bernafas atau jantung tidak bekerja lagi.
Gejala botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu makan
buruk, otot lisut. Jika gejala
penderita penyakit ini tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan
gangguan pernafasan.
Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang terjadi.
Diagmosa dapat diperkuat dengan melakukan uji di laboratorium dengan
mengisolasi bakteri. Isolasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil
spesimen dari feses pasien. Hasil isolasi dapat di isolasi pada hewan percobaat
(mencit) Untuk mengetahui tipenya dapat dilakukan uji netralisasi dengan
pemberian anti toksin pada mencit atau uji serologi berupa ELISA. Uji
netralisai membutuhkan waktu selama 48 jam.
Pencegahan Dan Pengobatan
Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti
cairan tubuh yang hilang.
Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat
cara pengawetan pangan yang keliru (khususnya di rumah atau industry rumah
tangga), misalnya pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam, pengasapan,
pengawetan dengan asam atau minyak. Bakteri ini mencemari produk
pangan dalam kaleng
yang beredar asam rendah, ikan asap,
kentang matang yang kurang
baik penyimpanannya, pie beku,
telur ikan fermentasi, seafood, dan madu. Tindakan pengendalian
khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah penerapan sterilisasi
panas dan penggunaan nitrit
pada daging yang dipasteurisasi.
Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan
memasak pangan kaleng dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan
pangan dalam lemari pendingin terutama untuk
pangan yang dikemas hampa udara
dan pangan segar atau
yang diasap. Hindari pula
mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannya telah menggembung. Spora Cl
Botulinum tersebar luas di alam, baik di tanah, air laut, air danau debu dan
udara. Pakan ternak sangat mudah terkontaminasi, untuk itu penyimpanan pakan
harus diperhatikan.
Untuk pengobatan dapat diberikan
antibiotik penicilin atau metronidazole.dan pemberian antitoksin botulinum.
2.2
Karakteristik vaksin dan jenis-jenis vaksin
2.2.1 Sejarah Penemuan Vaksin
Perkembangan
vaksin virus diawali dengan penelitian Edward Jenner yaitu seorang dokter dari Inggris menemukan
bahwa inokulasi cacar sapi (cowpox) pada seseorang ternyata dapat melindungi
orang tersebut dari penyakit cacar (smallpox).
Edward Jenner mengambil sedikit
cairan dari luka pada orang penyakit cacar yang kemudian diinokulasi dan
diberikan kepada orang lain dengan tujuan orang tersebut terhindar dari
penyakit cacar. Ternyata orang yang di berikan vang di berikan vaksin cacar
tersebut berhasil terhindar dari penyakit cacar. Angka anak yang terkena
penyakit cacar semakin menurun. Sejak saat itu vaksin mengalami perkembangan
baik dari cara menentukan epitop imunodominan, strategi perbanyakan protein
maupun cara aplikasinya.
Praktek vaksinasi berkembang cepat di
Inggris, kemudian menjadi hal yang diharuskan dalam kalangan Angkatan Darat dan
Angkatan Laut Inggris. Dan berbarengan dengan itu diterima pula oleh sebagian
besar negeri-negeri di dunia. Jenner dengan cuma-cuma mempersembahkan tekniknya
kepada dunia dan tak berusaha sedikit pun peroleh keuntungan uang dari itu.
Tetapi, di tahun 1802 parlemen Inggris sebagai tanda terimakasih dan
penghargaan menghadiahkannya uang sejumlah 20.000 pond. Maka Jenner pun menjadi
orang yang temasyhur di jagad, dibanjiri rupa-rupa penghormatan dan medali.
Jenner kawin dan punya tiga anak. Dia hidup hingga umur 73 tahun, meninggal
dunia di awal taliun 1823 di rumahnya di kota Berkeley. Hal ini menjadi awal
salah satu penemuan besar di dunia kedokteran, meskipun sebenarnya praktek ini
sudah dilakukan di India, Persia dan Cina.
Kemudian
Pada tahun 1880, Louis Pasteur dan kawan kawan telah menemukan cara vaksinasi
untuk pencegahan penyakit infeksi melalui penggunaan agen penyakit yang telah
dilemahkan terlebih dahulu, antara lain vaksin rabies yang berasal dari virus
alam yang ganas (street virus) menjadi virus yang tidak ganas (fix virus)
setelah mengalami pasase berulang. Sebelumnya Pasteur memasukkan vaksin rabies
ke tubuh manusia yang menjadi kontroversi dan mendapat protes keras oleh ahli
jiwa dan masyarakat. Karena mendapat protes keras dari masyarakat, Louis
Pasteur kemudian mengembangkan tehnik kimia untuk mengisolasi virus dan
melemahkannya, yang efeknya dapat dipakai sebagai vaksin. Oleh karena itu
peranan Louis Pasteur dalam dunia ke dokteran pada saat itu sangat besar,
karena telah berhasil menemukan varsin rabies. Selain vaksin rabies Pasteur
menemukan Vaksin Kolera dan Antraks, Pasteur
menyingkapi tabir penyakit infeksi yang juga telah merenggut nyawa
anak-anak nya. Pada tahun 1954, dua tim ahli dipimpin oleh Jonas Salk and
Albert Sabin mengembangkan vaksin Polio. Vaksin untuk mencegah Polio, digunakan
untuk membunuh virus digunakan untuk kampanye imunisasi. Kurang dari enam
tahun, kasus Polio menurun 90%. Tetapi vaksin Salk tidak melengkapi
imunisasi secara menyeluruh untuk semua jenis virus Polio. Pada tahun 1961,
Sabin telah mengembangkan vaksin oral yang bekerja secara aktif (hidup)
berupa virus yang telah dilemahkan, untuk menggantikan imunisasi dengan
suntik jenis Salk di Amerika Serikat. Pada tahun 1960-an, vaksin
digunakan secara rutin dan tidak menyebabkan kontroversi pada masyarakat
dan paramedis, dan vaksin virus aktif (hidup) telah dikembangkan untuk Campak
(1963), Rubella/ campak Jerman (1966) dan penyakit Gondong (1968). Dengan
adanya penemuan – penemuan tersebut, maka di jaman yang sekarang dikenalah
vaksin-vaksin yang digunakan di dunia kedokteran.
2.2.2 Pengertian Vaksin
Vaksin
berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi). Vaksin adalah
bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap
suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh
organisme alami atau “liar”. Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang
telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa
organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa
virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan
untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus,
atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel
degeneratif (kanker). Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem
imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi
tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Ada beberapa
jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu menstimulasi reaksi
kekebalan tanpa menimbulkan penyakit.
2.2.3 Komposisi Vaksin (Fisikokimia
antigen)
Komposisi vaksin terdiri dari antigen (atenuated/
diinaktifkan) ditambah adjuvant. Adjuvant ialah substansi yang bila
disuntikkan bersama-sama dengan antigen akan menambah produksi antibody.
Berbagai macam substansi dengan komposisi kimiawi memiliki efak adjuvant.
Substansi semacam itu meliputi alum dan garam-garam aluminium lainnya, natrium
alginate,endotoksin bakteri, dan suspense air dalam minyak dengan atau tanpa mikro
bakteri yang telah dimatikan. Sebagai contoh adjuvant Freund adalah yang paling
banyak dipelajari serta paling banyak digunakan didalam percobaan. Adjuvant
freund terdiri dari minyak mineral,zat pengemulsi dan basilus tuberkolosis yang
telah dimatikan.
Terdapat 4 jenis adjuvan yaitu :
1. Adjuvant sebagai antigen depot :
dilepaskan sedikit demi sedikit
contoh : cfa, ifa, aluminium hydroxida
2. Adjuvan bakteri :
contoh : corynebacterium parvum,
bordetella pertusis, muramyl dipeptida
3. Adjuvan sbg vehicle : ke limpha dan
nodus limfe
4. Adjuvan alternatif
2.2.4 Jenis - jenis Vaksin
Berdasarkan
bahan imun yang digunakan ada tiga jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (aktif),
vaksin hidup yang dilemahkan dan vaksin inaktif (vaksin mati).
1. Vaksin hidup (aktif)
Vaksin hidup terbuat dari virus hidup
yang diatenuasikan dengan cara pasase berseri pada biakan sel tertentu atau
telur ayam berembrio. Didalam vaksin mengandung virus hidup yang dapat
berkembang biak dan merangsang respon imun tanpa menimbulkan sakit. Vaksin
hidup yang telah dikembangkan antara lain terhadap pasteurella multocida (pada
ayam), vibrio cholera (pada manusia), anthrax (pada domba), rabies (pada
anjing).
2. Vaksin yang dilemahkan
Vaksin hidup yang dibuat dari bakteri
atau virus yang sudah dilemahkan daya virulensinya dengan cara kultur dan
perlakuan yang berulang-ulang, namun masih mampu menimbulkan reaksi imunologi
yang mirip dengan infeksi alamiah. Sifat vaksin yang dilemahkan, yaitu :
* Vaksin dapat tumbuh dan berkembang
biak sampai menimbulkan respon imun sehingga diberikan dalam bentuk dosis kecil
antigen
* Respon imun yang diberikan mirip
dengan infeksi alamiah, tidak perlu dosis berganda
* Dipengaruhi oleh circulating antibody
sehingga ada efek netralisasi jika waktu pemberiannya tidak tepat.
* Mempunyai kemampuan proteksi jangka
panjang dengan keefektifan mencapai 95%
* Virus yang telah dilemahkan dapat
bereplikasi di dalam tubuh, meningkatkan dosis asli dan berperan sebagai
imunisasi ulangan
Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin
MMR, vaksin TBC, vaksin demam tifoid, vaksin campak, gondongan, dan cacar air
(varisela).
3. Vaksin Mati (inaktif)
Vaksin inaktif dihasilkan dengan
menghancurkan infektivitasnya sedangkan imunogenitasnya masih dipertahankan.
dengan cara; (1) fisik misalnya dengan pemanasan, radiasi (2) kimia, dengan
bahan kimia fenol, betapropiolakton, formaldehid, etilenimin. Dengan perlakuan
ini virus menjadi inaktif tetapi imunogenitasnya masih ada. Vaksin ini sangat
aman karena tidak infeksius, namun diperlukan jumlah yang banyak untuk
menimbulkan respon antibodi. Sifat vaksin mati, yaitu :
* Respon imun yang timbul sebagian besar
adalah humoral dan hanya sedikit atau tidak menimbulkan imunitas seluler
* Titer antibodi dapat menurun setelah
beberapa waktu sehingga diperlukan dosis ulangan, dosis pertama tidak
menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya memacu dan menyiapkan system imun,
respon imunprotektif baru barumuncul setelah dosis kedua dan ketiga
* Tidak dipengaruhi oleh circulating
antibody
Contoh : vaksin rabies, vaksin
influenza, vaksin polio (Salk), vaksin pneumonia pneumokokal, vaksin kolera,
vaksin pertusis, dan vaksin demam tifoid.
Berdasarkan
mikroorganisme pembentuknya, terdapat vaksin yang terbuat dari komponen bakteri
dan terbuat dari komponen virus.
* Vaksin dengan Komponen Bakteri :
* Vaksin Toksoid
Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis
bakteri yang menimbulkan penyakit dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam
aliran darah. Bahan bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman.
Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid
plain toxoid yang mampu merangsang terbentuknya antibodi antitoksin.
Imunisasi bakteri toksoid efektif selama satu tahun. Bahan ajuvan digunakan
untuk memperlama rangsangan antigenik dan meningkatkan imunogenesitasnya.
Contoh : Vaksin Difteri dan Tetanus
* Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines)
Vaksin dengan pendekatan baru dalam
teknologi vaksin yang memiliki potensi dalam menginduksi imunitas seluler.
Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon ke dalam suatu plasmid
bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen yang diinsersikan ke
dalam sel mamalia. Setelah disuntikkan DNA plasmid akan menetap dalam nukleus
sebagai episom, tidak berintegrasi kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya
mensintesis antigen yang dikodenya. Beberapa kelemahan vaksin DNA bahwa
kemungkinan DNA dalam vektor plasmid akan berintegrasi kedalam genom
host/inang, kemungkinan akan menginduksi tumor atau menginduksi terbentuknya antibodi
terhadap DNA. Selain itu vaksin DNA dapat menginduksi respon imun seluler yang
kuat tidak hanya terhadap antigen mikroba melainkan juga terhadap antigen
inangnya. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui keamanan
vaksin DNA yang efektif terhadap patogen intraseluler.
* Vaksin dengan Komponen Virus :
* Vaksin Acellular dan Subunit
Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu
dalam virus atau bakteri dengan melakukan kloning dari gen virus atau bakteri
melalui rekombinasi DNA, vaksin vektor virus dan vaksin antiidiotipe.
Contoh vaksin hepatitis B, Vaksin
hemofilus influenza tipe b (Hib) dan vaksin Influenza.
* Vaksin Rekombinan
Vaksin rekombinan memungkinkan produksi
protein virus dalam jumlah besar. Gen virus yang diinginkan diekspresikan dalam
sel prokariot atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot meliputi sel bakteri
E.coli, yeast, dan baculovirus. Dengan teknologi DNA rekombinan selain
dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai
vektor untuk membawa gen sebagai antigen pelindung dari virus lainnya, misalnya
gen untuk antigen dari berbagai virus disatukan ke dalam genom dari virus
vaksinia dan imunisasi hewan dengan vaksin bervektor ini menghasilkan respon
antibodi yang baik. Susunan vaksin ini (misal hepatitis B) memerlukan epitop
organisme yang patogen. Sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui
isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin.
* Vaksin Idiotipe
Vaksin yang dibuat dengan melakukan
kloning dari gen virus melalui rekombinasi DNA, berdasarkan sifat bahwa Fab
(fragment antigen binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B
mengandung asam amino yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe
yang dapat bertindak sebagai antigen. Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan
virus melalui netralisasai dan pemblokiran terhadap reseptor pre sel B.
2.2.5 Keuntungan dan kekurangan Vaksin
Hidup Yang Dilemahkan
Keuntungan Vaksin Hidup Yang Dilemahkan
Kelebihan attenuated vaccine (vaksin hidup yang dilemahkan) adalah bahwa
agen infeksi yang dikandung dalam vaksin tersebut sama dengan tipe aslinya,
tetapi tidak lagi mampu menimbulkan penyakit (karena mengalami mutasi atau
dimutasikan) tetapi mempunyai jumlah imunogen yang sama. Selanjutnya karena
agen infeksinya masih hidup maka di dalam tubuh resipien akan bertambah banyak,
sehingga memberikan imunogen dalam jumlah hampir tidak terbatas sehingga
merangsang pembentukan antibodi yang lebih tahan lama dan juga memberi
perlindungan pada pintu-pintu masuk antigen dan tidak perlu adjuvant.
Kekurangan Vaksin Hidup Yang Dilemahkan
1. Agen infeksi yang terkandung di
dalamnya tersebut mempunyai kemungkinan untuk mengalami mutasi balik ke sifat
virulennya sehingga dapat menyebabkan penyakit.
2. Penyimpanan dan masa berlaku vaksin
yang terbatas, dperlukan stabilisator dalam penyimpanan
3. Tingginya resiko tercemar dengan
organisme yang tidak diinginkan.
2.2.6 Keuntungan dan kekurangan Vaksin
Mati
Keuntungan Vaksin Mati
Vaksin ini berupa mikroba yang dimatikan sehingga lebih stabil dan lebih
aman dibanding vaksin hidup karena mikroba tidak dapat bermutasi balik. Vaksin ini
menstimulasi sistem imun yang lebih lemah dibandingkan vaksin hidup. serta
vaksin ini mudah dalam proses penyimpanannya.
Kekurangan Vaksin Mati
1. Kekebalan berlangsung singkat,
sehingga harus ditingkatkan kembali dengan pengulangan vaksinasi yang mungkin
menimbulkan reaksi-reaklsi hipersensitifitas.
2. Pemberian secara parenteral
memberikan perlindungan yang terbatas.
3. Resistensi lokal pada pintu-pintu
masuk alamiah/multiplikasi utama infeksi virus tidak terjadi. Memerlukan
adjuvan untuk meningkatkan antigenisitas yang efektif.
4. Mempunyai viskositas yang tinggi
sehingga sulit disuntikkan, mudah mengalami kerusakan dalam penyimpanan pada suhu kamar, masa kadaluarsa yang singkat.
2.2.7 Bahaya Vaksin
Vaksin mengandung substansi berbahaya yang diperlukan untuk mencegah
infeksi dan meningkatkan performa vaksin. Seperti merkuri, formaldehyde, dan
aluminium, yang dapat membawa efek jangka panjang seperti keterbelakangan
mental, autisme, hiperaktif. alzheimer, kemandulan, dll. Vaksin yang digunakan
untuk melindungi dan mencegah tubuh terserang penyakit dapat berasal dari
mikroorganisme yang dilemahkan ataupun toksin yang dihasilkan mikroorganisme
tersebut. Namun seringkali vaksin juga menyebabkan beberapa efek samping yang
merugikan karena vaksin akan langsung mempengaruhi system kekebalan tubuh dan
juga system syaraf, misalnya :
1. Mikroorganisme yang digunakan dalam
membuat vaksin masih melanjutkan proses produksi. Tidak semua kuman yang
dilemahkan itu benar benar lemah pada waktu diproduksi sebagai vaksin
2. Mikroorganisme yang digunakan dalam
membuat vaksin masih memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit.
3. Ada sebagian orang yang alergi
terhadap sisa-sisa sel yang ditinggalkan dari proses vaksin meskipun sudah
dilakukan proses pemurnian.
4. Orang-orang yang bekerja dalam
pembuatan vaksin bersentuhan dengan organisme berbahaya yang digunakan sebagai
bahan pembuat vaksin meskipun sudah dicegah dengan pengaman seperti masker dan
sarung tangan. Material pembawa kuman ini terdiri dari material yang tidak aman
untuk kesehatan, seperti logam Aluminium, Mercuri dan Formalin. Zat-zat ini
terkenal sebagai zat yang berbahaya untuk sistem syaraf dan malah bersifat
menimbulkan kanker.
2.3 Pembuatan vaksin oleh virus
1. Kultivasi (Inokulasi) Virus Untuk
Pembuatan Vaksin
Kultivasi merupakan proses pembiakan sel dengan menggunakan
mikroorganisme dan media tertentu pada kondisi tertentu. Dari beberapa
penerapan kultur sel hewan, produksi vaksin virus adalah yang tertua. Prosesnya
adalah virus ditumbuhkan dalam kultur sel, misalnya sel dari embrio ayam,
ginjal monyet dan lama-kelamaan sel manusia. Setelah ditumbuhkan, lalu dipanen
dan virus-virus tersebut diekstraksi dengan penyaringan. Hasilnya lalu dipakai
intik membunuh virus-virus itu juga atau jika vaksin tersebut dilemahkan, maka
disimpan dalam suhu rendah hingga siap digunakan. Contoh vaksin yang dibuat
dengan cara ini adalah poliomielistis, gondong, cacar air, rubella dan rabies.
Adanya vaksin memungkinkan tubuh membangun kekebalan, misalnya membentuk
antibody yang sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dan suatu sel penting yang
akan tumbuh dan menghasilkan antibody, jika penyakit timbul dalam suatu bentuk
virulen.
Metode berikut ini merupakan penanaman virus pada media tertentu. Metode
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
A. Metode In Ovo
Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada
telur ayam yang berembrio. Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem
yang telah digunakan secara luas untuk isolasi, perkembangan dan karaterisasi
avian virus serta untuk memproduksi vaksin virus. Embrio dan membran
pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur
berbagai tipe virus yang berbeda. Keberhasilan dalam mengisolasi dan
mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu : rute inokulasi,
umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan
pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana
telur ayam berada.
Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik
(spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan telur
dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi
positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi
virus. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus, dibutuhkan cara
untuk mendeteksi infeksi virus.
Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui
dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu : kematian embrio, pembentukan lesi
pada CAM (Chorio Alantois Membran) seperti edema atau perkembang plak, lesi
pada embrio seperti kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku
yang abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan
lien, perubahan warna kehijauan pada kaki, foci nekrotik pada hepar. Metode
yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio ayam meliputi :
kemampuan cairan corioallantois dan untuk menyebabkan hemaglutinasi dari RBC
ayam, penggunaan teknik serologis dan molekular, mikroskop elektron. Harus
diperhatikan untuk dapat membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya
bakteri dan agen lain (Purchase, 1989).
Struktur Telur Berembrio
Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran
membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi
tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkan telur membantu
mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi
gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan
pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi
embrio. Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur
sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif
besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan allantoic.
Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong
amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning
telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi
untuk perkembangan embrio (Purchase, 1989).
Metode ini dapat dilakukan dengan tiga
jenis inokulasi, antara lain:
1. Inokulasi pada ruang
chorioalantois
Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum dimasukkan
¾ inci dengan sudut 45º dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan
diinokulasikan. Setelah 40-48 jam cairan telur yang sudah diinkubasi dapat
diuji untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang kecil pada kerabang di pinggir
dari rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan jarumnya, diambil
0,1-0,2 ml cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang sama
dari 10% suspensi dari sel darah yang. Cairan alantois yang terinfeksi dipanen
setelah 1-4 hari inokulasi. Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan
semalam dalam suhu 4ºC kemudian injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka
kerabang tersebut dengan pinset steril. Membran ditekan ke atas yolk sac dan
cairan diambil dengan spuit dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Kultur cairan
tersebut untuk menghindari cairan terkontaminasi bakteri (Stephen,1980). Contoh
virus yang diinokulasikan pada ruang chorioalantois ini antara lain, virus ND
dan virus influenza.
2. Inokulasi pada membran
chorioalantois
Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur
diletakkan horizontal di atas tempat telur. Desinfektan kerabang disekitar
ruang udara dan daerah lain di atas embrio telur. Buat lubang pada daerah
tersebut dan diperdalam lagi hingga mencari membran kerabang. Virus
diinokulasikan pada membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin dan
diinkubasi. Setelah 3-6 hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen
dengan mengeluarkan yolk sac dan embrio.
3. Inokulasi pada yolk sac
Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5-7 hari. Post inokulasi diinkubasi
selama 3-10 hari. Virus diinokulasikan pada bagian yolk sack dan dijaga jangan
sampai terkontaminasi bakteri (Stephen, 1980). Virus yang biasa diinokulasikan
di bagian ini adalah virus rabies.
Gambar 10: Kultivasi (Inokulasi) Virus Pada Telur Berembrio
B. Metode In Vitro
Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada
kultur jaringan. Kultur jaringan virus dimulai dengan kultivasi embrio anak
ayam cincang didalam serum atau larutan-larutan garam. Ini menuntun ke arah
penggunaan kultur jaringan murni sel-sel hewan yang dapat ditumbuhi virus. Kini
sel hewan dapat ditumbuhkan dengan cara yang serupa seperti yang digunakan
untuk sel bakteri. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadah-wadah plastik atau
kaca, maka sel-sel tersebut akan melekatkan dirinya pada permukan wadah itu dan
terus-menerus membelah diri sampai seluruh daerah permukaan yang tertutupi
medium terisi. Terbentuklah suatu lapisan tunggal sel dan dipergunakan untuk
mengembangkan virus. Sel-sel jaringan yang berbeda-beda lebih efektif untuk
kultivasi beberapa virus ketimbang yang lain. Pendekatan ini telah memungkinkan
kultivasi banyak virus sebagai biakan murni dalam jumlah besar untuk penelitian
dan untuk produksi vaksin secara komersial. Juga luas penggunaannya untuk
isolasi dan perbanyakan virus dari bahan klinis. Vaksin yang disiapkan dari kultur
jaringan mempunyai keuntungan dibandingkan dengan yang disiapkan dari telur
ayam berembrio dalam hal mengurangi kemungkinan seorang pasien untuk
mengembangkan hipersensitivitas atau alergi terhadap albumin telur (Merchant
and Packer, 1956).
C. Metode In Vivo
Dengan cara ini, virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka.
Metode ini merupakan metode yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini
dapat digunakan untuk membedakan virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir
mirip misalnya Vesikular Stomatitis pada sapi. Hewan laboratorium yang
digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun
marmut (Merchant and Packer, 1956).
Contoh Vaksin Oleh Virus :
Vaksin Polio
Imunisasi
polio adalah suatu imunisasi yang memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
poliomielitis. Polio adalah suatu penyakit radang yang menyerang syaraf yang
menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua
lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot
pernafasan dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian. Penularan
penyakit polio ini melalui tinja orang yang terinfeksi, percikan ludah
penderita, ataupun makanan dan minuman yang dicemari. Virus polio berkembang
biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran
darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang. Masa inkubasi virus antara 6-10
hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada
salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan
mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya
tahan tubuh si anak.
Terdapat 2 macam vaksin polio :
1. IPV (Inactivated Polio Vaccine,
Vaksin Salk)
Mengandung virus polio yang telah
dimatikan dan diberikan melalui suntikan. Vaksin polio inactived yang dibuat
oleh Aventis Pasteur berisi tipe 1,2,3 dibiakkan pada sel-sel VERO ginjal kera
dan dibuat tidak aktif dengan formaldehid. Imunitas mucosal yang ditimbulkan
oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh OPV
2. OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin
Sabin)
Mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan
dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV) efektif
melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis
polio. Vaksin virus polio hidup oral
yang dibuat oleh PT Biofarma Bandung berisi virus polio tipe 1,2,3 adalah suku
Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dibuat
dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Ketika masuk
melalui oral maka vaksin ini akan menempatkan diri di usus dan memacu
pembentukan antibody baik dalam darah maupun dalam epitel usus, yang
menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar yang dating masuk
kemudian.
Cara Kerja Imunisasi Polio :
a. Inaktifasi.
Vaksin Polio dibuat dengan cara
menggunakan bakteri atau virus yang sudah di inaktifasi. Vaksin ini umumnya
lebih aman dari vaksin hidup karena organisme penyebab penyakit tidak dapat
bermutasi kembali menyebabkan penyakit setelah organisme tersebut dimatikan.
b. Vaksinasi
Vaksin yang mengandung virus, bakteri
atau organisme lain yang telah mati disuntikkan ke dalam tubuh. Vaksin kemudian
merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi untuk melawan
organisme tersebut. Pada lain waktu saat organisme tersebut kembali menyerang
tubuh, antibodi dari sistem kekebalan akan menyerang dan akan menghentikan
infeksi.
Dosis Pemberian Imunisasi Polio :
Vaksin
polio diberikan sebanyak 2 tetes(0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan
menggunakan sendok yang berisi air gula, bila dalam 10 menit dimuntahkan, maka
pemberian sesuai dosisnya harus diulang
* Dosis ke-1 : saat lahir / saat pulang
dari rumah sakit
* Dosis ke-2 : usia 2 bulan
*
Dosis ke-3 : usia 4 bulan
* Dosis ke-4 : usia 6 bulan
*
Dosis ke-5 : usia 18 bulan
* Dosis ke-6 : usia 5 tahun
Dosis
pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer,
sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan
antibobi sampai pada tingkat yang tertingi. Setelah mendapatkan serangkaian
imunisasi dasar, kepada orang dewasa tidak perlu dilakukan pemberian booster
secara rutin, kecuali jika dia hendak bepergian ke daerah dimana polio masih
banyak ditemukan. Kepada orang dewasa
yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio dan perlu menjalani imunisasi,
sebaiknya hanya diberikan IPV.
Kepada
orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian
IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV.
Sebaiknya diberikan OPV. Kepada
penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV,
leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan
kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker,
kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya. IPV bisa diberikan kepada anak
yang menderita diare. Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat,
sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV
bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya
berlangsung hanya selama beberapa hari. Hasil penelitian Gendro Wahyuhono
(2001) pada 604 anak di Metro Kabupaten Lampung menunjukkan bahwa imunisasi
polio efektif setelah anak mendapatkan imunisasi 3 kali dosis, di mana
persentase anak yang mempunyai antibodi tripel positif meningkat setelah anak
mendapat imunisasi 3 kali dosis yaitu, 96,6 %.
Tekik Pemberian Imunisasi Polio :
a. Jumlah Pemberian
Bisa lebih dari jadwal yang telah
ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal. Namun jumlah yang
berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak ada istilah overdosis dalam
imunisasi.
b. Usia Pemberian
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di
usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat
lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.
c. CaraPemberian
Bisa lewat suntikan (Inactivated
Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV).
Di tanah Indonesia, yang digunakan adalah OPV.
d. Efek samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil
saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat
jarang.
e. Tingkat Kekebalan
Dapat mencekal hingga 90%.
f.
Kontra indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang
menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 38 derajat celcius), muntah
atau diare, penyakit kanker atau keganasan, HIV/AIDS, sedang menjalani
pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme
kekebalan terganggu.
2.4 Respon tubuh terhadap vaksin dan
toksin
2.4.1 Reaksi tubuh terhadap
vaksin yaitu:
Apabila ramuan vaksin tersebut memasuki aliran darah anak. Tubuhnya akan
segera bertindak untuk menyingkirkan racun tersebut melalui organ ekresi atau
melalui reaksi imun seperti demam, bengkak atau ruam pada kulit. Apabila tubuh
anak kuat untuk meningkatkan reaksi imun, tubuh anak mungkin akan berhasil
menyingkirkan vaksin tersebut dan mencegahnya terjangkit kembali dimasa yang
akan datang. Akan tetapi jika tubuh anak tidak kuat untuk meningkatkan reaksi
imun, vaksin beracun akan bertahan dalam jaringan tubuh.
Timbunan racun ini dapat menyebabkan penyakit seperti diabetes pada
anak-anak, asma, penyakit neurologi, leukimia, bahkan kematian mendadak.
Ratusan laporan mencatat efek samping jangka panjang yang buruk terkait vaksin
seperti penyakit radang usus, autisme, esenfalitis kronis, skelerosis multipel,
artritis reumatoid dan kangker. Selain itu jika tubuh diberi vaksin tubuh akan
membentuk kekebalan tubuh atau adanya
respon imun. Dilihat dari berapa kali tahapan antigen maka dapat dikenal
dua macam respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.
* Respons imun primer
Respons imun primer adalah respons imun
yang terjadi pada tahapn pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang
terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM dengan titer yang
lebih rendah dibanding dengan respons imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya.
Waktu antara antigen masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama
bila dibanding dengan respons imun sekunder
* Respons imun sekunder
Pada respons imun sekunder, antibodi
yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang lebih
tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun primer. Hal ini
disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons imun primer akan cepat
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma
yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit
T akan lebih cepat mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel
T aktif sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori. Pada
imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan memberi respons
adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa kelak. Untuk mendapatkan titer
antibodi yang cukup tinggi dan mencapai nilai protektif, sifat respons imun
sekunder ini diterapkan dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.
• Pemberian vaksin dalam tubuh akan
menimbulkan kekebalan tubuh contohnya dengan pemberian imunisasi sejak dini.
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang
serupa tidak akan terjadi penyakit. Terdapat dua macam kekebalan, yaitu
kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang
diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah
kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang diperoleh
setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung
lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari,
sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif
adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen
seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya
berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologik.
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu di dunia seperti pada
imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada
jenis-jenis penyakit yang transmisinya bergantung kepada manusia, seperti
misalnya penyakit difteria. Agar dapat lebih mudah memahami mengenai proses
imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu diketahui
tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh (lihat juga bab tentang
respons imun).
Macam-macam imunisasi sebagai berikut
diantaranya :
* IMUNISASI BCG
Vaksin BCG tidak dapat mencegah
seseorang terhindar dari infeksi M. tuberculosa 100%, tapi dapat mencegah
penyebaran penyakit lebih lanjut, Berasal dari bakteri hidup yang dilemahkan (
Pasteur Paris 1173 P2), Ditemukan oleh Calmette dan Guerin
•
Diberikan sebelum usia 2 bulan Disuntikkan intra kutan di daerah insertio m.
deltoid dengan dosis 0,05 ml, sebelah kanan
•
Imunisasi ulang tidak perlu, keberhasilan diragukan
Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus
dilarutkan dengan 4 cc NaCl 0,9%. Setelah dilarutkan harus segera dipakai dalam
waktu 3 jam, sisanya dibuang. Penyimpanan pada suhu < 5°C terhindar dari
sinar matahari (indoor day-light).
Cara penyuntikan BCG
•
Bersihkan lengan dengan kapas air
• Letakkan jarum hampir sejajar dengan
lengan anak dengan ujung jarum yang
berlubang menghadap keatas.
•
Suntikan 0,05 ml intra kutan
–
merasakan tahan
–
benjolan kulit yang pucat dengan pori- pori yang khas diameter 4-6 mm
Reaksi sesudah imunisasi BCG
1. Reaksi normal
o 2 minggu indurasi, eritema, kemudian
menjadi pustula
o 3-4 minggu pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu
pengobatan)
o 8-12 minggu ulkus menjadi scar diameter 3-7 mm.
2. Reaksi regional pada kelenjar
o Merupakan respon seluler pertahanan
tubuh
o Kadang terjadi di kelenjar axila dan
servikal (normal BCG-it is)
o Timbul 2-6 bulan sesudah imunisasi
o Kelenjar berkonsistensi padat, tidak
nyeri, demam (-)
o Akan mengecil 1-3 bulan kemudian tanpa
pengobatan.
* IMUNISASI HEPATITIS B
- Vaksin berisi HBsAg murni
- Diberikan sedini mungkin setelah lahir
- Suntikan secara Intra Muskular di
daerah deltoid, dosis 0,5 ml.
- Penyimpanan vaksin pada suhu 2-8°C
- Bayi lahir dari ibu HBsAg (+)
diberikan imunoglobulin hepatitis B 12 jam setelah lahir + imunisasi Hepatitis
B
- Dosis kedua 1 bulan berikutnya
- Dosis ketiga 5 bulan berikutnya (usia
6 bulan)
- Imunisasi ulangan 5 tahun kemudian
- Kadar pencegahan anti HBsAg >
10mg/ml
- Produksi vaksin Hepatitis B di
Indonesia, mulai program imunisasi pada tahun 1997
Efek samping
• Demam ringan
• Perasaan tidak enak pada pencernaan
• Rekasi nyeri pada tempat suntikan
* IMUNISASI POLIO
o Vaksin dari virus polio (tipe 1,2 dan
3) yang dilemahkan, dibuat dalam biakan sel-vero : asam amino, antibiotik, calf
serum dalam magnesium klorida dan fenol merah
o Vaksin berbentuk cairan dengan kemasan
1 cc atau 2 cc dalam flacon, pipet.
o Pemberian secara oral sebanyak 2 tetes
(0,1 ml)
o Vaksin polio diberikan 4 kali,
interval 4 minggu
o Imunisasi ulangan, 1 tahun berikutnya,
SD kelas I, VI
o Anak diare gangguan penyerapan vaksin.
o Penyimpanan pada suhu 2-8°C
o Virus vaksin bertendensi mutasi di
kultur jaringan maupun tubuh penerima vaksin
o Beberap virus diekskresi mengalami
mutasi balik menjadi virus polio ganas yang neurovirulen
o Paralisis terjadi 1 per 4,4 juta
penerima vaksin dan 1 per 15,5 juta kontak dengan penerima vaksin
- Kontra indikasi : defisiensi
imunologik atau kontak dengannya
* IMUNISASI DPT
Terdiri dari
- toxoid difteri merupakan racun yang dilemahkan
- Bordittela pertusis merupakan bakteri
yang dilemahkan
- toxoid tetanus racun yang dilemahkan (+) aluminium fosfat
dan mertiolat
o Merupakan vaksin cair. Jika didiamkan
sedikit berkabut, endapan putih didasarnya
o Diberikan pada bayi > 2 bulan oleh
karena reaktogenitas pertusis pada bayi kecil.
o Dosis 0,5 ml secara intra muskular di
bagian luar paha.
o Imunisasi dasar 3x, dengan interval 4
minggu.
o Vaksin mengandung Aluminium fosfat,
jika diberikan sub kutan menyebabkan iritasi lokal, peradangan dan nekrosis
setempat.
- Reaksi pasca imunisasi:
o Demam, nyeri pada tempat suntikan 1-2
hari diberikan anafilatik + antipiretik
o Bila ada reaksi berlebihan pasca
imunisasi demam > 40°C, kejang, syok
® imunisasi selanjutnya diganti dengan DT atau DPaT
Kontraindikasi
• Kelainan neurologis n terlambat tumbuh
kembang
• Ada riwayat kejang
• Penyakit degeneratif
•Pernah sebelumnya divaksinasi DPT
menunjukkan: anafilaksis, ensefalopati, kejang, renjatan, hiperpireksia,
tangisan/teriakan hebat.
* IMUNISASI CAMPAK
Vaksin dari virus hidup (CAM 70- chick
chorioallantonik membrane) yang dilemahkan + kanamisin sulfat dan eritromisin
Berbentuk beku kering, dilarutkan dalam 5 cc pelarut aquades.
o Diberikan pada bayi umur 9 bulan oleh
karena masih ada antibodi yang diperoleh dari ibu.
o Dosis 0,5 ml diberikan sub kutan di
lengan kiri.
o Disimpan pada suhu 2-8°C, bisa sampai
– 20 derajat celsius
o Vaksin yang telah dilarutkan hanya
tahan 8 jam pada suhu 2-8°C
o Jika ada wabah, imunisasi bisa
diberikan pada usia 6 bulan, diulang 6 bulan kemudian
Efek samping: demam, diare, konjungtivitis,
ruam setelah 7 – 12 hari pasca imunisasi. Kejadian encefalitis lebih jarang
Kontraindikasi:
* infeksi akut dengan demam, defisiensi
imunologik, tx imunosupresif, alergi protein telur, hipersensitifitas dng
kanamisin dan eritromisin, wanita hamil.
* Anak yang telah diberi transfusi darah
atau imunoglobulin ditangguhkan minimal 3 bulan.
* Tuberkulin tes ditangguhkan minimal 2
bulan setelah imunisasi campak
* IMUNISASI HIB
o Untuk mencegah infeksi SSP oleh karena
Haemofilus influenza tipe B
o Diberikan MULAI umur 2-4 bulan, pada
anak > 1 tahun diberikan 1 kali
o Vaksin dalam bentuk beku kering dan
0,5 ml pelarut dalam semprit.
o Dosis 0,5 ml diberikan IM
o Disimpan pada suhu 2-8°C
o Di Asia belum diberikan secara rutin
o Imunisasi rutin diberikan di negara
Eropa, Amerika, Australia.
* IMUNISASI MMR
Merupakan vaksin hidup yang dilemahkan
terdiri dari:
o Measles strain moraten (campak)
o Mumps strain Jeryl lynn (parotitis)
o Rubela strain RA (campak jerman)
o Diberikan pada umur 15 bulan. Ulangan
umur 12 tahun
o Dosis 0,5 ml secara sub kutan,
diberikan minimal 1 bulan setelah suntikan imunisasi lain.
Kontra indikasi: wanita hamil, imuno
kompromise, kurang 2-3 bulan sebelumnya mendapat transfusi darah atau tx
imunoglobulin, reaksi anafilaksis terhadap telur
* IMUNISASI TYPHUS
Tersedia 2 jenis vaksin:
o suntikan (typhim) >2 tahun
o oral (vivotif) > 6 tahun, 3 dosis
o Typhim (Capsular Vi
polysaccharide-Typherix) diberikan dengan dosis 0,5 ml secara IM. Ulangan
dilakukan setiap 3 tahun.
o Disimpan pada suhu 2-8°C
o Tidak mencegah Salmonella paratyphi A
atau B
o Imunitas terjadi dalam waktu 15 hari
sampai 3 minggu setelah imunisasi
Reaksi pasca imunisasi: demam, nyeri
ringan, kadang ruam kulit dan eritema, indurasi tempat suntikan, daire, muntah.
* IMUNISASI VARICELLA
o Vaksin varicella (vaRiLrix) berisi
virus hidup strain OKA yang dilemahkan. Bisa diberikan pada umur 1 tahun,
ulangan umur 12 tahun. Vaksin diberikan secara sub kutan Penyimpanan pada suhu
2-8°C
o Kontraindikasi: demam atau infeksi
akut, hipersensitifitas terhadap neomisin, kehamilan, tx imunosupresan,
keganasan, HIV, TBC belum tx, kelainan darah.
o Reaksi imunisasi sangat minimal,
kadang terdapat demam dan erupsi papulo-vesikuler.
* IMUNISASI HEPATITIS A
o Imunisasi diberikan pada daerah kurang
terpajan, pada anak umur > 2 tahun. Imunisasi dasar 3x pada bulan ke 0, 1,
dan 6 bulan kemudian. Dosis vaksin (Harvix-inactivated virus strain HM 175) 0,5
ml secara IM di daerah deltoid. Reaksi yag terjadi minimal kadang demam, lesu,
lelah, mual-muntah dan hialng nafsu makan
Dosis vaksin
* Dosis vaksin terlalu tinggi atau
terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis yang terlalu
tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu
rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui
dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang
direkomendasikan.
Frekuensi pemberian
* Frekuensi pemberian juga mempengaruhi
respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun
sekunder menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya,
dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian pun akan
mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada
saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera
dinetralkan oleh antibodi spesifik tersebut sehingga tidak sempat merangsang
sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu
bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks
antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Oleh sebab itu,
pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan
hasil uji coba.
2.4.2 Respon tubuh terhadap toksin
Efek toksin didalam tubuh:
* Reaksi alergi
Alergi adalah reaksi yang merugikan yang
disebabkan oleh bahan kimia atau toksikan karena peka terhadap bahan tersebut.
Kondisi alergi sering disebut sebagai “ hipersensitif “, sedangkan reaksi
alergi atau reaksi kepekaannya dapat dipakai untuk menjelaskan paparan bahan
polutan yang menghasilkan efek toksik. Reaksi alergi timbul pada dosis yang
rendah sehingga kurve dosis responnya jarang ditemukan.
* Reaksi ideosinkrasi
Merupakan reaksi abnormal secara genetis
akibat adanya bahan kimia atau bahan polutan.
* Toksisitas cepat dan lambat
Toksisitas cepat merupakan manifestasi
yang segera timbul setelah pemberian bahan kimia atau polutan. Sedangkan
toksisitas lambat merupakan manifestasi yang timbul akibat bahan kimia atau
toksikan selang beberapa waktu dari waktu timbul pemberian.
* Toksisitas setempat dan sistemik
Perbedaan efek toksik dapat didasarkan
pada lokasi manifestasinya. Efek setempat didasarkan pada tempat terjadinya yaitu
pada lokasi kontak yang pertama kali antara sistem biologi dan bahan toksikan.
Efek sistemik terjadi pada jalan masuk toksikan kemudian bahan toksikan
diserap, dan didistribusi hingga tiba pada beberapa tempat. Target utama efek
toksisitas sistemik adalah sistem syaraf pusat kemudian sistem sirkulasi dan
sistem hematopoitik, organ viseral dan kulit, sedangkan otot dan tulang
merupakan target yang paling belakangan.
Respon toksin tergantung pada :
1. Sifat kimia dan fisik dari bahan
tersebut
2. Situasi pemaparan
3. Kerentanan sistem biologis dari
subyek
Faktor utama yang mempengaruhi
toksisitas adalah :
* Jalur masuk ke dalam tubuh
Jalur masuk ke dalam tubuh suatu polutan
yang toksik, umumnya melalui saluran pencernaan makanan, saluran pernafasan, kulit,
dan jalur lainnya. Jalur lain tersebut diantaranya adalah intra muskuler, intra
dermal, dan sub kutan. Jalan masuk yang berbeda ini akan mempengaruhi
toksisitas bahan polutan. Bahan paparan yang berasal dari industri biasanya
masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan terhirup, sedangkan kejadian “keracunan”
biasanya melalui proses tertelan.
* Jangka waktu dan frekuensi paparan
* Akut : pemaparan bahan kimia selama
kurang dari 24 jam
* Sub akut : pemaparan berulang terhadap
suatu bahan kimia untuk jangka waktu 1 bulan atau kurang
* Subkronik : pemaparan berulang
terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu 3 bulan
* Kronik : pemaparan berulang terhadap
bahan kimia untuk jangka waktu lebih dari 3 bulan
Pada
beberapa bahan polutan, efek toksik yang timbul dari paparan pertama sangat
berbeda bila dibandingkan dengan efek toksik yang dihasilkan oleh paparan
ulangannya. Bahan polutan benzena pada peran pertama akan merusak sistem syaraf
pusat sedangkan paparan ulangannya akan dapat menyebabkan leukemia.
Penurunan
dosis akan mengurangi efek yang timbul. Suatu bahan polutan apabila diberikan
beberapa jam atau beberapa hari dengan dosis penuh akan menghasilkan beberapa
efek. Apabila dosis yang diberikan hanya separohnya maka efek yang terjadi juga
akan menurun setengahnya, terlebih lagi apabila dosis yang diberikan hanya
sepersepuluhnya maka tidak akan menimbulkan efek. Efek toksik yang timbul tidak
hanya tergantung pada frekuensi pemberian dengan dosis berbeda saja tetapi
mungkun juga tergantung pada durasi paparannya. Efek kronis dapat terjadi
apabila bahan kimia terakumulasi dalam sistem biologi. Efek toksik pada kondisi
kronis bersifat irreversibel. Hal tersebut terjadi karena sistem biologi tidak
mempunyai cukup waktu untuk pulih akibat paparan terus-menerus dari bahan
toksin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar