2.1 Sistem Pertahanan Tubuh
Sistem
pertahanan tubuh vertebrata, khususnya manusia memiliki mekanisme pertahanan
berlapis. Jika patogen masuk ke dalam tubuh, sistem pertahanan tubuh yang
berlapis akan segera bekerja.
Sistem
pertahanan tubuh terdiri atas tiga garis pertahanan. Garis pertahanan pertama
terdiri atas kulit, membran mukosa, serta hasil sekresi dari kulit dan membran
mukosa. Garis pertahanan kedua terdiri atas sel darah putih fagositik, protein
antimikroba, dan respon peradangan. Adapun garis pertahanan ketiga terdiri dari
limfosit dan antibodi. Garis pertahanan pertama dan kedua dikelompokkan ke
dalam sitem pertahanan tubuh nonspesifik, sedangkan garis pertahanan ketiga
termasuk sistem pertahanan tubuh spesifik (Brum, et al., 1994:644).
2.1.1
Sistem Pertahanan Tubuh Nonspesifik
Garis
pertahanan pertama pada sistem pertahanan nonspesifik dikenal juga dengan
istilah sistem pertahanan nonspesifik eksternal. Sementara itu, garis
pertahanan kedua dikenal juga dengan sistem pertahanan nonspesifik internal.
1. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Eksternal
Pertahanan
pertama pada tubuh manusia dan hewan menggunakan integument atau penutup tubuh.
Pada manusia, yang dimaksud dengan integument adalah kulit dan membran mukosa.
Pertahanan pertama ini berperan penting dalam menahan benda asing seperti
bakteri. Selain itu, kulit mengeluarkan minyak dan keringat yang mengandung
asam dan garam dengan pH berkisar antara 3-5. Kondisi ini dapat membunuh
bakteri atau setidaknya mencegah banyaknya kolonisasi mikroorganisme di
permukaan kulit.
Pada
permukaan saluran pernapasan, usus, sistem ekskresi, dan sistem reproduksi
terdapat lapisan lender (mukus). Selain berperan sebagai pelindung secara
fisik, membran mukosa juga mengekskresikan mukus yang mampu membunuh mikroorganisme
yang membahayakan tubuh. Mikroorganisme yang masuk bersama makanan atau
minuman, akan terbunuh oleh air liur (saliva) yang mengandung protein anti
mikroba. Salah satu jenis proteinnya adalah lisozim. Apabila mikroorganisme
sampai masuk ke dalam lambung maka akan menghadapi lingkungan asam pada
lambung. Asam akan membunuh banyak mikroorganisme sebelum masuk ke dalam usus.
Pada
usus besar terdapat banyak bakteri E. coli yang hidup bersimbiosis dengan
manusia. Keberadaan bakteri ini akan menjadi pesaing utama dalam memperoleh
nutrisi bagi mikroorganisme pendatang baru.
2. Pertahanan Tubuh Nonspesifik Internal
Garis
pertahanan pertama tubuh berupa kulit dan membran mukosa mungkin saja dapat
ditembus oleh mikroorganisme. Apabila pertahanan pertama dapat ditembus
mikroorganisme pathogen maka garis pertahanan tubuh yang kedua akan segera
bekerja. Garis pertahanan kedua yang dikenal dengan sistem pertahanan
nonspesifik internal terutama bergantung pada fagositosis.
Sel
darah putih fagositik
Sel
fagosit terdiri atas neutrofil, monosit, dan eosinofil. Jumlah neutrofil
sekitar 60-70% dari semua sel darah putih. Neutrofil hanya dapat hidup beberapa
hari. Neutrofil akan masuk kedalam jaringan yang terinfeksi, kemudian menelan
dan merusak mikroorganisme yang ada disana.
Monosit
berjumlah sekitar 5% dari seluruh sel darah putih. Meskipun demikian, monosit
dapat bekerja dengan efektif dalam pertahanan tubuh. Monosit akan bermigrasi ke
dalam jaringan dan bekembang menjadi makrofag. Makrofag juga memfagositosis
sel-sel tubuh yang telah mati. Makrofag pada jaringan merupakan fagosit yang
bekerja dengan cepat dan berumur panjang. Makrofag dapat memfagositosis benda
asing dalam waktu singkat sekitar 1/100 detik.
Eosinofil
berjumlah 1,5% dari keseluruhan sel darah putih. Peranan utama eosinofil adalah
melawan penyerang berukuran lebih besar seperti cacing darah Schistosoma
mansoni. Aktivitas fagositosis pada eosinofil sangat terbatas.
Selain
sel-sel fagosit, aktivitas pertahana nonspesifik juga melibatkan sel pembunuh
alami (natural killer). Sel pembunuh tidak menyerang mikroorganisme yang masuk,
melainkan menyerang sel ubuh yang terserang virus dan sel-sel yang membentuk
tumor.
Protein Antimikroba
Berbagai
jenis protein juga berperan dalam pertahanan tubuh nonspesifik. Infeksi
mikrooganisme akan merangsang sekelompok anti mikroba yang teridri atas 21
protein serum yang akan melisiskan mikroorganisme. Sekelompok anti mikroba ini
dikenal sebagai sistem komplemen. Aktifitas sistem komplemen diawali dengan
kontak antara salah satu protein dengan permukaan tubuh mikroorganisme. Hal
tersebut akan mengakibatkan terbentuknya pori-pori pada membran sel mikroorganisme
yang pada akhirnya akan mengalami lisis.
Kumpulan
protein lain yang berperan dalam pertahanan tubuh nonspesifik adalah
interferon, interferon diekskresikan oleh sel-sel yang terserang oleh suatu
virus. Bagi sel yang mengekskresikannya, interferon tidak memberikan manfaat.
Akan tetapi, interferon akan berdifusi ke dalam sel-sel di sekitarnya dan
menginduksi sel-sel tersebut untuk membentuk zat kimia yang akan menghambat
perkembangan virus.
Respons peradangan
Kerusakan
sel atau jaringan, misalnya karena terluka atau tertusuk duri akan
mengakibatkan suatu respon peradangan. Respon peradangan dimulai oleh
adanyasinyal kimiawi. Sinyal kimiawi dapat berupa senyawa histamin yang
dihasilkan oleh sel tubuh sebagai respon dari kerusakan jaringan (Campbell, et
al., 2006:487). Histamine yang terbentuk berperan dalam meningkatkan
konsentrasi otot dan permeabilitas dinding pembuluh darahkapiler di sekitar
areal yang terinfeksi.
Peningkatan
aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah akan memudahkan perpindahan
sel-sel fagosit dari darah ke dalam jaringan yang terluka. Netrofil merupakan
fagosit pertama tiba di daerah yang terluka. Selanjutnya, monosit akan menyusul
dan berkembang menjadi makrofag yang akan membunuh semua bakteri yang masuk.
Selain itu makrofag juga akan membersihkan sel-sel jaringan yang rusak.
Kasus
di atas adalah apabila peradangan terlokalisir pada suatu tempat. Selain itu,
tubuh dapat juga melancarkan respons nonspesifik sistemik (menyebar). Salah
satu contoh respons sistemik adalah demam. Toksin yang dihasilkan oleh
mikroorganisme pathogen di sekitar daerah luka akan menyebabkan demam sehingga
suhu tubuh akan relative tinggi. Di samping itu, demam juga disebabkan oleh sel
darah putih yang melepaskan suatu senyawa yang disebut pirogen. Pirogen akan
meningkatkan suhu tubuh menjadi lebih tinggi.
Demam
yang sangat tinggi akan sangat membahayakan tubuh. Adapun demam dalam tingkat
normal akan membantu menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen.
2.1.2 Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik
Garis
pertahanan ketiga dari sistem pertahanan tubuh adalah limfosit dan antibodi,
yang mengenali secara spesifik mikroorganisme tertentu. Pertahanan tubuh yang
ketiga ini termasuk pertahanan tubuh spesifik yang kerjanya bertepatan dengan
pertahanan tubuh kedua. Pertahanan tubuh ini dikenal juga dengan sebutan sistem
kekebalan tubuh. Molekul asing yang mendatangkan suatu respons spesifik dari
sistem kekebalan tubuh disebut antigen. Antigen meliputi molekul yang dimiliki
virus, bakteri, protozoa, fungi cacing parasit, dan mikroorganisme lainnya.
Sistem
kekebalan tubuh bereaksi terhadap antigen dengan cara mengaktifkan sel limfosit
B yang akan mengekskresikan protein khusus yang disebut antibodi. Istilah
antigen merupakan singkatan dari antibodi generating (pembangkit antibodi).
Setiap antigen memiliki susunan molekul khusus yang akan merangsang sel
limfosit B tertentu untuk mengekskresikan antibodi yang berinteraksi secara
spesifik dengan antigen tersebut.
Struktur Sistem Kekebalan Tubuh
Sistem
kekebalan tubuh pada vertebrata khususnya manusia, sangat bergantung pada sel
darah putih (leukosit). Bersama-sama dengan sel darah lainnya, sel darah putih
dibentuk oleh sebuah jaringan meristem yang disebut sel induk (stem cells).
Limfosit
terdiri atas limfosit B dan limfosit T. Telah diketahui perkembangan limfosit
terjadi dalam sumsum tulang. Limfosit yang meneruskan pematangannya dalam
sumsum tulang berkembang menjadi limfosit B. Sedangkan limfosit yang bermigrasi
ke timus dan meneruskan pematangannya disana berkembang menjadi limfosit T.
a. Limfosit B
Limfosit
B jumlahnya mencapai 30% dari keseluruhan limfosit yang ada di dalam tubuh.
Limfosit B dibentuk dan mengalami pematangan dalam sumsum tulang (bone marrow).
Huruh “B” pada limfosit B berasal dari kata “bursa fabrisius”, yaitu organ pada
unggas tempat pematangan limfosit B. pada organ bursa fabrisius inilah limfosit
B pertama kali ditemukan. Akan tetapi, beberapa juga menyebutkan bahwa huruf
“B” pada limfosit B berasal dari “bone marrow”.
Limfosit
B yang berkembang dalam sumsum tulang mengalami pembelahan atau deferensiasi
sel plasma dan sel limfosit B memori. Sel plasma bertugas mengekskresikan
antibodi ke dalam cairan tubuh. Sedangkan sel limfosit B memori berfungsi
menyimpan informasi antigen.
b.
Limfosit T
Seperti
halnya limfosit B, limfosit T dibentuk di sumsum tulang. Akan tetapi, proses
pematangan limfosit terjadi di kelenjar timus, sehingga disebut limfosit T yang
berasal dari kata “timus”.
Pada
saat perkembangannya di kelenjar timus, limfosit T berdiferensiasi menjadi
beberapa jenis limfosit. Jenis-jenis limfosit tersebut adalah:
1) Limfosit T sitotoksit, berfungsi
dalam menghancurkan sel yang telah terinfeksi.
2) Limfosit T penolong, berfungsi
mengaktifkan limfosit T dan limfosit B.
3) Limfosit T supresor, berfungsi
mengurangi produksi antibodi yang dihasilkan sel-sel plasma.
4) Limfosit T memori, berfungsi
mengingat antigen yang pernah masuk ke dalam tubuh, sehingga antigen yang
pernah masuk ke tubuh akan mudah dikenali dan lebih cepat dihancurkan.
Setelah
mengalami pematangan, limfosit T dan B akan masuk ke dalam sistem peredaran
limfatik. Oleh karena itu, sel-sel limfosit banyak ditemui pada peredaran darah
limfatik, sumsum tulang, kelenjar timus, kelenjar limpa, amandel, darah, dan
sistem pencernaan.
c. Antibodi
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa limfosit B membentuk sel plasma yang
akan mengekskresikan antibodi. Antibodi terdiri atas sekelompok protein serum
globuler yang disebut imunoglobulin. Immunoglobulin ini merupakan protein
khusus yang dipindahkan ke bagian membran sel, kemudian akan mengenali dan
membunuh sel asing yang ditemui.
Levine
dan Miller (1991:785) menjelaskan bahwa terdapat lima kelompok immunoglobulin,
yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.
1) IgM, merupakan antibodi pertama yang
menyerang suatu antigen. IgM berperan mengaktifkan sistem komplemen. Keberadaan
IgM dalam darah mengindikasikan adanya infeksi baru oleh pathogen
2) IgG merupakan antibodi yang paling
banyak ditemukan dalam aliran darah. Antibodi IgG dapat menembus pembuluh
darah. IgG juga dapat menembus plasenta dan membawa sistem kekebalan dari ibu
kepada janin sehingga dapat melindungi janin dari infeksi.
3) IgA banyak ditemukan pada kelenjar
keringat, sistem pencernaan, sistem pernapasan, dan saluran reproduksi. IgA
mencegah masuknya virus atau bakteri melalui jaringan epitel.
4) IgD berfungsi dalam diferensiasi
limfosit B menjadi sel-sel plasma dan sel limfosit B memori.
5) IgE bertanggung jawab terhadap reaksi
alergi. Konsentrasi IgE akan meningkat pada orang yang terinfeksi alergi.
Sebuah
molekul antibodi umumnya mempunyai dua tempat pengikatan antigen yang identik
dan spesifik untuk epitop yang menyebabkan produksi antibodi tersebut. Epitop
merupakan bagian kecil dari antigen yang dapat dimasuki oleh antibodi.
Masing-masing molekul terdiri atas empat rantai polipeptida, yaitu dua rantai
berat (heavy chain) yang identik dan dua rantai ringan (light chain) yang identik
yang dihubungkan oleh jembatan disulfida untuk membentuk suatu molekul
berbentuk Y. Pada kedua ujung molekul berbentuk Y itu terdapat daerah variable
(V) rantai berat dan ratai ringan. Disebut demikian karena urutan asam amino
pada bagian ini sangat bervariasi dari satu antibodi ke antibodi yang lain.
Daerah V rantai berat dan daerah V rantai ringan secara bersama-sama membentuk
suatu kontur unik tempat pengikatan antigen milik antibodi. Interaksi antara
tempat pengikatan antigen dengan epitopnya mirip dengan interaksi enzim dan
substratnya.
Sementara
tempat pengikatan antigen bertanggung jawab atas kemampuan antibodi untuk
mengidentifikasi suatu epitop spesifik sebagai suatu antigen, ekor antibodi
berbentuk Y, dibentuk oleh daerah konstan (C) rantai berat, yang bertanggung
jawab atas persebarannya dalam tubuh dan atas mekanisme pembuangan antigen yang
diperantarainya. Terdapat lima jenis utama daerah konstan rantai berat dan hal
tersebut menentukan kelima kelas utama antibodi.
2.2 MEKANISME TERBENTUKNYA KEKEBALAN
SPESIFIK
Bila
pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka
imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah
mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen.
Limfosit adalah garis pertahanan ketiga
tubuh yang merupakan sel kunci dalam sistem kekebalan. Limfosit merespon
terhadap kontak dengan mikroba dengan cara membangkitkan respon kekebalan yang
efisien dan selektif, yang bekerja di seluruh tubuh untuk mengeluarkan
penyerang tertentu. Sel-sel sistem kekebalan merespons dengan serupa terhadap
sel-sel yang dicangkokkan dan bahkan sel-sel kanker, yang mereka deteksi sebagai
sesuatu yang asing.
Tubuh vertebrata mengandung
dua jenis utama limfosit. Limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T). Seperti
makrofaga, kedua jenis limfosit itu bersirkulasi di seluruh darah dan limfa,
dan terkonsentrasi dalam limpa, nodus limfa, dan jaringan limfatik lainnya.
Karena limfosit mengenali dan merespon terhadap mikroba tertentu dan molekul
asing, maka limfosit dikatakan memperlihatkan spesifitas. Molekul asing yang
mendatangkan suatu respons spesifik dari limfosit disebut sebagai antigen.
Antigen meliputi molekul yang dimiliki virus, bakteri, fungi, protozoa dan
cacing parasit.
Sel T dan sel B
terspesialisasi bagi jenis antigen yang berlainan, dan kedua jenis sel itu
melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi. Salah satu
cara antigen menimbulkan respons kekebalan adalah dengan cara mengaktifkan sel
B untuk mensekresi protein yang disebut antibodi. Masing-masing antigen
mempunyai bentuk molekuler khusus dan merangsang sel-sel B tertentu untuk
mensekresi antibodi yang berinteraksi secara spesifik dengan antigen
tersebut.Limfosit B dan T membedakan antigen dengan bentuk molekular yang hanya
berbeda sedikit.
Sel B dan sel T dapat
mengenali antigen spesifik karena adanya reseptor antigen yang terikat pada membran
plasmanya. reseptor pada antigen pada sel B adalah versi transmembran molekul
antibodi, yang dikenal sebagai antibodi membran (atau imonoglobulin). Reseptor
pada antigen pada sel T disebut reseptor sel T. Sebuah limfosit sel B atau T
memiliki sekitar 100.000 reseptor untuk antigen, dengan spesifisitas yang
persis sama. Reseptor yang dihasilkan oleh limfosit tunggal ditentukan oleh
kejadian genetik acak yang terjadi dalam limfosit tersebut selama perkembangan
awalnya. Dengan keanekaragaman limfosit, sistem kekebalan mempunyai kekebalan
untuk merespon jutaan molekul antigenik yang berbeda dan memiliki kemampuan
merespon terhadap jutaan patogen potensial yang berlainan.
a.
Antigen Berinteraksi dengan Limfosit Spesifik
Mikroorganisme
penginfeksi hanya berinteraksi dengan limfosit yang mengandung reseptor
spesifik terhadap berbagai antigenik yang dimilikinya. Masing-masing limfosit
terseleksi itu diaktifkan untuk membelah dan untuk berdifrensiasi, dan akhirnya
membentuk dua klon sel. Satu klon atas sejumlah besar sel efektor, yaitu
sel-sel berumur pendek yang melawan dan menyerang antigen yang sama. Klon lain
terdiri atas sel memori, yaitu sel berumur panjang yang mengandung reseptor
spesifik untuk antigen yang sama. Sel memori disiapkan untuk berproliferasi
atau memperbanyak diri dan berdifrensiasi secara cepat ketika sel-sel itu
nantinya mengadakan kontak dengan antigen yang sama.
Perbanyakan dan difrensiasi limfosit secara selektif yang terjadi saat
pertama kali tubuh terpapar suatu antigen disebut respon kekebalan primer.
Sejak pemaparan awal antigen diperlukan waktu sekitar 10-17 hari bagi limfosit
terselksi untuk membangkitkan respon sel efektor yang maksimum. Jika individu
terpapar antigen yang sama lagi beberapa waktu kemudian, respon akan menjadi
lebih cepat (hanya 2 sampai 7 hari), dengan besaran respon yang lebih hebat dan
lebih lama. Inilah yang disebut sebagai respon kekebalan sekunder. Kemampuan
sistem kekebalan untuk membangkitkan respon kekebalan sekunder merupakan dasr
dari memori imunologis.
b. Perkembangan Limfosit Menghasilkan
Sistem Kekebalan yang Membedakan “diri sendiri” (self) dari yang “bukan diri
sendiri” (nonself)
Limfosit berasal dari sel induk pluripoten di sumsum tulang atau hati
janin yang sedang berkembang. Limfosit yang bermigrasi dari sumsum tulang ke
timus, berkembang menjadi sel T (“T” dari kata timus). Limfosit yang tetap
berada dalam sumsum tulang dan meneruskan pematangannya disana akan menjadi sel
B.
> Toleransi Kekebalan terhadap “Diri
Sendiri” (self)
Ketika sel B dan sel T mengalami pematangan, reseptor antigennya diuji
untuk reaktivitas “diri sendiri”. Limfosit yang mengandung reseptor yang
spesifik untuk molekul yang telah ada dalam tubuh dibuat menjadi tidak fungsional
atau dirusak, sehingga yang tersisa hanya limfosit yang bereaksi dengan molekul
asing. Kemampuan untuk membedakan diri sendiri dari yang bukan diri sendiri
terus berkembang bahkan ketika sel itu bermigrasi ke organ limfatik. Tubuh
secara normal tidak mempunyai limfosit dewasa yang bereaksi dengan komponen
diri sendiri (Toleransi terhadap Diri Sendiri). Kegagalan mengembangkan sifat
toleransi “diri sendiri” dapat mengakibatkan penyakit autoimun seperti multiple
scerosis.
> Peranan Marka (Penanda)Permukaan
Sel dalam Fungsi dan Perkembangan Sel T
Sel T mempunyai suatu interaksi yang sangat penting dengan salah satu
kelompok penting molekul asli. Molekul tersebut merupakan kumpulan glikoprotein
permukaan sel yang dikode oleh sebuah keluarga gen yang disebut sebagai
kompleks histocompatibilitas mayor (MHC). MHC merupakan suatu sidik jari
biokimiawi yang dapat dikatakan unik bagi setiap individu. Dua kelas utama
molekul MHC menandai sel tubuh sebagai “diri sendiri”. MHC kelas I ditemukan pada
semua sel bernukleus, yaitu pada setiap sel tubuh. Molekul MHC kelas II
terbatas hanya pada beberapa jenis sel khusus yang meliputi makrofaga, sel B,
sel T yang telah diaktifkan dan sel-sel yang menyusun bagian interior timus.
Sel T yang sedang berkembang berinteraksi dengan sel-sel timus, yang mengandung
kadar molekul MHC kelas I dan molekul MHC kelas II yang tinggi. Hanya sel T
yang mengandung reseptor dengan afinitas untuk MHC-self yang mencapai
pematangan.
Satu komponen penting respons kekebalan adalah MHC, yang memperlihatkan
suatu kombinasi dari diri sendiri (molekul MHC) dan bukan diri sendiri (fragmen
antigen) yang dikenali oleh limfosit T spesifik. Molekul MHC dan interaksinya
dengan sel T sangat penting bagi suatu sistem kekebalan yang fungsional. Tugas
suatu molekul MHC adalah penyajian (presentasi) antigen. Masing-masing molekul
MHC menggendong fragmen antigen protein dalam lekukan berbentuk ayunan dan
menyajikannya ke sel T. Sel T Sitotoksik (Tc) mempunyai reseptor antigen yang
terikat dengan fragmen antigen yang diperlihatkan oleh molekul MHC kelas I
tubuh. Sel T helper (Th) mempunyai reseptor yang terikat dengan fragmen antigen
yang diperlihatkan oleh molekul MHC kelas II tubuh. Masing-masing kombinasi MHC
antigen akan membentuk kompleks yang unik yang dikenali oleh reseptor antigen
spesifik pada sel T tertentu.
2.3 RESPON KEKEBALAN
Sistem
kekebalan dapat menghasilkan dua jenis respon terhadap antigen yang meliputi :
respon humoral dan respons yang di perantai oleh sel. Kekebalan humoral
(humoral immunity) melibatkan aktivasi sel B dan diikuti oleh produksi antibody
yang beredar di dalam plasma darah dan limfa, yang merupakan cairan yang dulu
dikenal sebagai humor. Sekitar abad kesembilan belas, para peneliti
melaksanakan percobaan memindahkan cairan semacam itu dari hewan yang sudah
sembuh dari suatu infeksi ke hewan lain yang belum pernah terpapar dengan
infeksi tersebut. Para peneliti telah memindahkan kekebalan humoral (antibodi)
dari hewan ke hewan. Mereka juga
menemukan bahwa kekebalan terhadap beberapa infeksi dapat diteruskan hanya jika
sel-sel, yang diidentifikasi sebagai limfosit T, dipindahkan. Jenis kekebalan
kedua ini, yang bergantung pada kerja sel T, menjadi dikenal sebagai kekebalan
yang diperantai sel ( cell-mediated immunity).
Antibodi yang beredar sebagai
respons humoral terutama bekerja melawan bakteri bebas, toksin, dan virus yang
ada dalam cairan tubuh. Sebaliknya, sel-sel T yang merupakan bagian dari
respons yang diperantai sel secara aktif melawan bakteri dan virus yang berada
di dalam tubuh yang terinfeksi, juga melawan fungi, protozoa, dan cacing
parasit. Kekebalan diperantai sel juga sangat penting dalam respons tubuh
terhadap jaringan yang dicangkokkan dan sel-sel kanker, di mana keduanya
dianggap sebagai ‘’bukan diri sendiri’’ gambar 43.10 menyajikan gambaran secara
umum respon humoral dan respons yang diperantai sel, yang merupakan dua cabang
system kekebalan. Hubungan yang menyatu pada gambar yaitu interaksi pensinyalan
sel diantara limfosit-limfosit. Yang sangat penting dalam pensinyalan ini
adalah sel helper, yang merespon antigen yang disajikan oleh makrofage yang merangsang
sel B maupun merangsang sel T lainnya.
2.3.1 LIMFOSIT T HELPER
Peranan Limfosit T Helper
Limfosit
T helper berfungsi dalam kekebalan humoral maupun kekebalan yang diperantarai
oleh sel. Sel T helper (Sel T pembantu) mengatur respon imun bawaan serta
adaptif dan membantu menentukan tipe respon imun yang akan dibuat oleh tubuh
pada patogen khusus. Sel tersebut tidak memiliki aktivitas sitotoksik dan tidak
membunuh sel yang terinfeksi atau membersihkan patogen secara langsung, namun
mereka mengontrol respon imun dengan mengarahkan sel lain untuk melakukan tugas
tersebut. Sel T helper mempunyai reseptor yang berikatan dengan molekul MHC
(Major Histocompatibility Complex) kelas II yang mengandung antigen. MHC
mengandung antigen kompleks yang juga dikenali oleh reseptor sel pembantu CD4
yang merekrut molekul didalam sel T yang bertanggung jawab untuk aktivasi sel
T.
Molekul
MHC kelas II yang dikenali oleh sel T helper hanya ditemukan pada jenis sel
tertentu, terutama sel-sel yang menelan antigen asing. Sel-sel yang
menghancurkan antigen adalah sel b dan makrofaga. Kelompok sel tersebut
bertindak sebagai sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell, APC) yang
mensiagakan sistem kekebalan melalui sel T helper, bahwa ada antigen asing
dalam tubuh. Sebagai contoh, sebuah makrofaga yang telah menelan dan merusak
bakteri mengandung fragmen kecil bakteri (peptida). Sementara molekul MHC kelas
II yang baru disintesis bergerak menuju permukaan makrofaga, molekul itu
menangkap salah satu diantara peptide bakteri itu dalam lekukan pengikat
antigennya dan membawanya ke permukaan, sehingga memperlihatkan peptide asing
itu ke sel T helper. Interaksi antara sel penyaji antigen dengan sel T
helpersemakin meningkat dengan kehadiran CD4. Interaksi antara CD4 dengan
molekul MHC kelas II membantu mempertahankan sel T helper dan sel penyaji tetap
menyatu, sementara aktivasi antigen yang berrsifat spesifik sedang berlangsung.
Ketika
sel T helper diseleksi melalui kontak spesifik dengan kompleks MHC kelas II dan
antigenpada sebuah APC sel t helper akan memperbanyak diri dan berdiferensiasi
menjadi klon sel T helper yang diaktifkan dan sel T helper memori. Sel T helper
yang diaktifkan mensekresikan beberapa sitokin yang berbeda, yang merupakan
protein yang berfungsi untuk merangsang limfosit lain. Sebagai contoh sitokin
interleukin-2 (IL-2) membantu sel B yang telah mengadakan kontak dengan antigen
untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi. IL-2 juga
membantu sel T sitotoksik untuk menjadi pembunuh yang aktif. Sel T helper itu
sendiri patuh pada pengaturan oleh sitokin. Sementara makrofaga memfagositosis
dan menyajikan antigen, makrofaga itu dirangsang untuk mensekresi suatu sitokin
yang disebut interleukin-1 (IL-1). IL-1 dalam kombinsi dengan antigen yang
disajikan, mengaktifkan sel T helper untuk menghasilkann IL-2dan sitokin lain.
Merupakan satu contoh uumpan balik positif adalah peristiwa saat IL-2 yang
disekresi oleh sel T helper juga akan merangsang sel tersebut untuk
memperbanyak diri lebih cepat lagi dan untuk menjadi penghasil sitokin yang
lebih aktif lagi. Dengan cara ini sel T helper memodulasi respon kekebalan
humoral (sel B) maupun respon kekebalan yang diperantarai oleh sel (sel T
sitotoksik).
2.3.2 RESPON HUMORAL
Respon
kekebalan humoral diawali ketika sel B yang mengandung reseptor antigen
(antibody membran) terseleksi oleh antigen spesifik. Aktivitas sel B dibantu
oleh IL-2 dan sitokin lain dan disekresikan oleh sel T helper yang diaktifkan
oleh antigen yang sama. Sel B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi klon
sel plasma yang mensekresikan antibody dan klon sel B memori yang berumur
panjang akibat adanya rangsangan oleh antigen dan sitokin. Anti gen yang memicu
jenis respon sel B ini dikenal sebagai antigen yang bergantung pada sel T
(T-dependent antigen) karena dapat merangsang produksi antibodi hanya dengan
bantuan dari TH. sebagian besar antigen protein bergantung pada sel T. antigen
lain seperti polisakarida dan protein dengan banyak polipeptida identik
berfungsi sebagai antigen yang tidak bergantung pada sel T (T-independent
antigen). Antigen jenis itu mencakup polisakarida-polisakarida dari banyak
kapsul bakteri dan protein-protein yang menyusun flagella bakteri. Subunit
berulang antigen ini berikatan secara simultan dengan sejumlah antibodi membran
pada permukaan sel B. hal ini menyediakan rangsangan yang cukup bagi sel B untuk membangkitkan sel plasma
yang mensekresikan antibodi tanpa bantuan IL-2. Respon terhadap antigen yang
tidak bergantung pada sel T ini sangat penting dalam melawan banyak bakteri,
akan tetapi respon itu umumnya lebih lemah dibandingkan dengan respon terhadap
antigen yang bergantung pada sel T dan tidak ada sel memori yang dihasilkan
dalam respon yang tidak bergantung pada sel T ini.
Sel
B mengandung molekul MHC kelas II. Sel B adalah sel penyaji antigen. Ketika
antigen pertama kali berikatan dengan antibdi membrane, sel B akan
menghancurkan beberapa dari molekul asing itu melalui endositosis yang
diperantarai reseptor. Dalam sebuah proses yang sangat mirip dengan penyajian
dalam makrofaga, sel B menyajikan antigen k sel T helper. Akan tetapi, meskipun makrofag dapat menelan
dan menyajikan fragmen peptida dari berbagai variasi antigen, sel B membawa dan
hanya menyajikan fragmen peptida antigen yang terikat padanya secara spesifik.
Para ahli imunologi memperkirakan bahwa makrofag adalah sel penyaji antigen
utama dalam respon primer (ketika sel B spesifik untuk suatu antigen tertentu
jarang ditemukan). Pada respon humoral manapun proses yang baru dibahas
merangsang berbagai sel B yang berlainan,dimana masing-masing sel menjadi suatu
klon yang terdiri dari ribuan sel-sel plasma. Masing-masing sel plasma ditaksir
mensekresi sekitar 2000 molekul antibodi perdetik selama 4 sampai 5hari masa
hidup sel tersebut.
2.3.3 RESPON KEKEBALAN YANG DIPERANTARAI
SEL
Faktor terpenting dalam kekebalan ini adalah sel-sel hidup, yaitu
sel-sel T limfosit. Sel-sel ini secara aktif melawan bakteri dan virus yang ada
dalam sel tubuh yang terinfeksi. Sel-sel ini juga dapat melawan protozoa,
jamur, dan cacing parasit.
Dalam respon yang diperantarai sel T, sel T sitotoksik akan berperan
melawan pathogen intraseluler. Limfosit T sitotoksik yang diaktifkan oleh
antigen membunuh sel-sel kanker dan sel-sel yang terinfeksi oleh virus atau
patogen intraseluler lainnya.
Semua sel-sel bernukleus dalam tubuh secara terus-menerus menghasilkan
molekul MHC kelas I. Molekul MHC kelas I yang baru disintesis bergerak menuju
permukaan sel, molekul itu menangkap fragmen kecil dari salah satu protein lain
yang disintesis oleh sel tersebut. Jika sel tersebut ternyata mengandung virus
yang bereplikasi, fragmen peptida protein virus itu ditangkap dan diangkut ke
permukaan sel. Dengan cara ini, molekul MHC kelas I memaparkan protein asing
yang disintesis dalam sel terinfeksi atau sel abnormal, ke sel T sitotoksik.
Interaksi antara sel penyaji antigen dan sel T sitotoksik sangat ditingkatkan
oleh kehadiran protein permukaan sel T yang disebut CD8. CD8 terdapat pada
sebagian besar sel T sitotoksik dan mempunyai afinitas terhadap sebagian
molekul MHC kelas I. Interaksi MHC kelas I dan CD8 membantu mempertahankan
kedua sel itu tetap menyatu sementara aktivasi antigen yang bersifat spesifik
sedang berlangsung.
Sebuah sel T sitotoksik yang diaktifkan oleh kontak spesifik dengan
kompleks MHC kelas I dan antigen pada sel yang terinfeksi atau sel tumor dan
dirangsang lebih lanjut oleh IL-2 dari sel T helper, berdiferensiasi menjadi
sel pembunuh yang aktif. Sel ini membunuh apa yang disebut sel target, terutama
dengan cara membebaskan perforin, yaitu protein yang membentuk pori atau lubang
pada membrane sel target. Karena ion dan air mengalir ke dalam sel target, maka
sel itu membengkak dan akhirnya lisis. Kematian sel-sel yang terinfeksi itu
bukan saja menghilangkan tempat bagi patogen untuk bereproduksi, tetapi juga
memaparkannya ke antibody yang sedang beredar, sehingga menandainya untuk
dibuang dan dihancurkan. Setelah merusak sel yang terinfeksi, sel T sitotoksik
terus bergerak membunuh sel-sel lain yang terinfeksi dengan patogen yang sama
2.2.4 Pembuangan Antigen yang
Diperantarai Antibodi
Pengikatan antibodi dengan antigen untuk membentuk kompleks
antigen-antibodi merupakan dasar dari beberapa mekanisme pembuangan antigen.
Yang paling sederhana diantaranya adalah netralisasi, dimana antibodi berikatan
dengan menghambat aktivasi antigen tersebut. Sebagai contoh, antibodi
menetralkan suatu virus dengan melekat pada molekul yang harus digunakan oleh
virus untuk menginfeksi sel inangnya. Dengan cara serupa, antibodi bisa
berikatan dengan permukaan bakteri patogenik. Mikroba ini, sekarang dilapisi
dengan antibodi, dengan mudah dilenyapkan oleh fagositosis. Dalam suatu proses
disebut opsonisasi, antibodi yang terikat itu meningkatkan pertautan makrofag
ke mikroba tersebut sehingga juga meningkatkan fagositosis.
Aglutinasi (penggumpalan) bakteri atau virus diperantarai oleh antibodi
secara efektif menetralkan dan mengopsonisasi mikroba tersebut. Aglutinasi
mungkin terjadi karena masing-masing
molekul antibodi mempunyai paling tidak dua tempat pengikatan antigen. IgG,
misalnya, dapat berikatan dengan epitop identik pada dua sel bakteri atau
partikel virus, yang mengikatkan mereka bersama-sama. IgM dapat mengikatkan
bersama lima atau lebih virus atau bakteri. Kompleks besar ini dengan mudah
difagositosis oleh makrofag. Mekanisme seperti ini adalah presipitasi
(pengendapan), yaitu pengikatan silang molekul-molekul antigen yang terlarut
yaitu molekul terlarut dalam cairan tubuh untuk membentuk endapan atau
presipitat yang lalu dikeluarkan dan dibuang oleh fagositosis.
Salah satu pembuangan antigen yang diperantarai antibodi yang paling
penting adalah fiksasi komplemen, yaitu aktivasi sistem komplemen oleh kompleks
antigen antibodi. Komplemen terdiri sekitar 20 protein serum yang berbeda, yang
tanpa adanya infeksi, protein yang pertama dalam rentetan protein komplemen itu
diaktifkan, sehingga memicu rentetan langkah-langkah aktivasi dimana masing-masing
komponen maengaktifkan langkah berikutnya dalam rentetan reaksi itu.
Penyelesaian rentetan reaksi komplemen itu menyebabkan lisisnya banyak jenis
virus dan sel-sel patogen. Pelisisan sel oleh komplemen dapat dicapai dalam dua
cara. Jalur klasik (disebut demikian karena ditemukan paling awal) dipicu oleh
antibodi yang terikat ke antigen dan dengan demikian penting perannya dalam
respon kekebalan humoral. Jalur alternatif dipicu oleh bahan-bahan yang secara
alamiah ditemukan pada banyak bakteri, ragi, virus, dan parasir protozoa. Jalur
ini tidak melibatkan antibodi dan dengan demikian merupakan pertahanan
nonspesifik yang penting.
Jalur klasik dapat dimulai ketika antibodi IgM atau IgG berikatan dengan
suatu patogen, misalnya sel bakteri. Komponen komplemen pertama menghubungkan
dua antibodi yang terikat sehingga diaktifkan, dan memulai rentetan reaksi itu.
Akhirnya, protein komplemen mengakibatkan kompleks serangan membran (membrane
attack complex/MAC), yang membentuk pori berdaimeter 7-10 nm pada membran
bakteri itu. Ion dan air mengalir masuk kedalam sel, yang menyebabkan sel
tersebut bengkak dan lisis. Pori MAC serupa dengan pori perforin yang
dihasilkan oleh sel T sitotoksik.
Pada jalur klasik dan jalur alternatif, banyak protein komplemen yang
diaktifkan turut menyebabkan peradangan. Dengan berikatan dengan basofil dan
sel-sel mast, beberapa protein komplemen memicu pembebasan histamin, molekul
pensinyalan luka yang memicu dilatasi (pembesaran) dan peningkatan permebilitas
pembuluh darah. Beberapa protein komplemen yang aktif juga menarik fagosit ketempat
itu. Selain itu, salah satu protein komplemen yang diaktifkan dapat menyebabkan
opsonisasi. Salinan protein ini akan melapisi permukaan bakteri dan seperti
antibodi merangsang fagositosis. Pada contoh terakhir kerjasama dalam sistem
pertahanan tubuh, antibodi, komplemen, dan fagosit berfungsi secara
bersama-sama dalam fenomena yang disebut kelekatan kekebalan (immune
adherence). Mikroba yang dilapisi antibodi dan protein komplemen menempel ke
dinding pembuluh darah, sehingga patogen tersebut lebih mudah dimangsa oleh
sel-sel fagosit yang beredar didalam tubuh.
2.4 KETIDAKSEIMBANGAN SISTEM IMUN
Kerjasama yang sangat teratur antara limfosit dengan zat – zat asing,
dengan satu sama lain, dan dengan sel tubuh lain, memberikan kita perlindungan
yang luar biasa dari banyak penyakit. Akan tetapi, jika keseimbangan yang rumit
ini diganggu oleh tidak berfungsinya sistem kekebalan, pengaruhnya pada
individu dapat berkisar mulai dari sedikit ketidaknyamanan pada beberapa kasus
alergi hingga ke akibat penyakit autoimun dan penyakit defisiensi kekebalan.
o Alergi
Alergi adalah respons yang hipersensitif (berlebihan) terhadap antigen
lingkungan tertentu, yang disebut sebgai alergen. Satu hipotesis untuk
menjelaskan sumber atau asal muala alergi adalah bahwa alergi merupakan sisa –
sisa evolusioner respons sistem kekebalan terhadap cacing parasiti. Mekanisme
humoral yang melawan cacing mirip dengan
respons alergi yang menyebabkan kelainan seperti hay fever dan asma
karena alergi.
Alergi yang paling umum melibatkan antibodi dari kelas IgE. Sebagai
contoh hay fever terjadi ketika sel plasma mensekresi IgE yang spesifik terhadap
alergen serbuk sari. Beberapa diantara antibodi IgE terikat melalui ekornya ke
sel – sel mast yang terdapat dalam jaringan ikat, tanpa berikatan dengan serbuk
sari. Kemudian, ketika butiran serbuk sari itu memasuki tubuh, serbuk sari itu
terikat dengan tempat peningkatan antigen dari sel – sel mast yang berasosiasi
dengan IgE, sehingga mengaitsilangkan molekul – molekul antibodi yang
berdekatan. Kejadian ini menginduksi sel – sel mast untuk mengalami degranulasi
yaitu membebaskan histasmin dan agen peradangan lain dari vesikula yang disebut
granula. Kejadian peradangan ini menghasilakan gejala alergi yang khas seperti
bersin, hidung berair, mata berair, dan kontraksi oto polos yang dapat
menyebabakan kesulitan bernafas. Antihistamin akan menurunkan gejala alergi
dengan cara menghambat reseptor untuk histamin.
Kosekuensi respons alergik akut yang paling serius adalah renjatan
anafilaktik ( anaphylactic shok), yang merupakan suatu reaksi terhadap alergen
yang tertelan atau disuntikan, yang dapat mengancam jiwa manusia. Renjatan
anafilaktik terjadi ketika degranulasi sel mast menyebar luas memicu pembesaran
pembuluh darah periferal secara mendadak, yang menyebabkan penurunan tekanan
darah secara mendadak. Kematian bisa terjadi dalam tempo beberapa menit.
Respons alergi terhadap racun lebah atau penisilin dapat menyebabkan renjatan
anafilaktik pada orang – orang yang sangat alergi pada zat – zat ini. Demikian
juga, orang yang sangat alergi terhadap kacang tanah, ikan, atau makanan lain
bisa meninggal hanya karena memakan sejumlah kecil saja alergen tersebut.
Beberapa individual dengan hipersensitivitas yang hebat membawa squid atau
jarum suntik yang mengandung hormon epinefrin, yang dapat melawan respons
alergi ini.
Reaksi Alergi Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu respon Alergi yang berat dan menyerang berbagai
organ. Reaksi alergi ini merupakan suatu reaksi alergi tipe cepat ( tipe I ),
yaitu reaksi antara antigen spesifik yang terikat pada sel mast. Selain itu
dikenal pula istilah reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan reaksi
anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada
sel mast sehingga menyebabkan terlepasnya mediator. Mediator tersebut adalah
histamin, SRA-A, ECF-A, PAF dan heparin. Reaksi hipersensitifitas tipe cepat
terdiri dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE.
* Etiologi Analfilaksis atau Penyebab anafilaksis sangat beragam,
diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen (jamur atau ekstrak
rumput-rumputan), serum kuda, zat diagnostik (misalnya zat radioopak untuk
radiodiagnostik) bisa ular (venom), produk darah, anestetikum local seperti
lidokain atau prokain, enzim, hormone dan lain-lain Beberapa makanan telah
dikenal sebagai penyebab alaergi anafilaktik seperti susu sapi, kerang, dan
kacang-kacangan.
* Patofisiologi Reaksi Alergi Anafilaksis akan lebih jelas kalau kita
lihat pengaruh mediator pada organ target seperti sistem kardiovaskuler,
traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis dan kulit. Rangsangan alergen
pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang
memacu serangkaian peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis.
Histamin yang merupakan salah satu mediator sel mast dapat menyebabakan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem
vascular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang
lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamine
meninggikan permiabiltas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskuler
ini menyebabkan respon wheal-flare, dan biia terjadi secara sistemik dapat
menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioedema. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung, dan bila
pelepasan histamin terjadi secara sistemik maka aktifitas otot polos usus dapat
meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.
* Gejala klinis reaksi alergi anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan
reaksi sistemik. reaksi lokal terdiri dari urtikaria dan angioedema pada daerah
yang kontak dengan antigen. Reaksi lokal dapat berat tetapi jarang sekali
fatal. Reaksi sisteniik terjadi pada organ target seperti traktus
respiratorius, sistem ardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, dan kulit.
Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit sesudah kontak dengan
penyebab.Gejala awal reaksi sistemik ringan adalah rasa gatal dan panas
dibagian perifer tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan
tenggorokan.
* Pencegahan merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan
anafilaksis. Pencegahan meliputi anamnesis yang teliti, penggunaan antibiotik
sesuai indikasi, dan mel akukan uji kulit terhadap beberapa antibiotika atau
antitoksin yang berasal dari serum hewan sebelum di berikan kepada pasien.
o
Penyakit Aoutoimun
Menurut Baratawidjaya (2006), autoimun adalah respon imun terhadap
antigen jaringan sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal yang
berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya.
Potensi autoimun ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat
mengeskpresikan reseptor spesifik untuk banyak self antifen.
Autoimun terjadi karena self-antigen dapat menimbulkan aktivasi,
proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang
menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T
atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit autoimun.
Dalam populasi, sekitar 3,5% orang menderita penyakit autoimun. 94% dari
jumlah tersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes mellitus tipe
1, anemia pernisiosa, artritis rheumatoid, tiroiditis, vitiligo dan sclerosis
multiple. Penyakit ditemukan lebih banyak pada wanita (2,7 x dibandingkan
pria), diduga karena hormon.
* Faktor yang Berperan pada Automunitas
1. Infeksi dan Kemiripan Molekular
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun
tertentu. Beberapa penyakit memiliki epitope yang sama dengan antigen sendiri.
Respon imun yang timbul terhadap bakteri tersebut bermula pada rangsangan
terhadap sel T yang selanjutnya merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi.
Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya
eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat
ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan
akibat respon imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang
ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca
infeksi streptokok, disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung
dan menimbulkan miokarditis.
2. Sequestered Antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya,
tidak terpapar dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen
tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Perubahan anatomik dalam jaringan
seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat
memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada
keadaan normal. Contohnya protein intraoktakular pada sperma.
3. Kegagalan Autoregulasi
Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat
terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respon MHC, kadar
sitokin yang rendah (misalnya TGF-?) dan gangguan respon terhadap IL-2.
Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila
terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga
menimbulkan autoimunitas.
4. Aktivasi Sel B Poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh
virus (EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara
langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas
berbagai autoantibodi.
5. Obat-obatan
Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi
kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah
imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari
penyakit autoimun yang dicetuskan obat. Mekanisme terjadinya reaksi autoimun
pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat
prokainamid dapat ditemukan antibodi antinuklear dan timbul sindroma berupa
LES. Antibodi menghilang bila obat dihentikan.
6. Faktor Keturunan
Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetic. Meskipun
sudah diketahui adanya kecendrungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi
bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah kompleks dan diduga
terjadi atas pengaruh beberapa gen.
Ketidakseimbangan imun mendasari banyaknya penyakit kronis. oleh karena
itu Transfer Factor boleh berfungsi sebagai pemodulator sistem imun, ia boleh
membantu untuk mengembalikan keseimbangan sistem imun, seperti gangguan
penyakit autoimun.
Beberapa Gangguan Autoimun yang
bisa di tenangkan dengan Transfer Factor
Gangguan
Jaringan yang terkena
Konsekwensi
Anemia hemolitik autoimun
Sel darah merah
Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terjadi, menyebabkan
kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Limpa mungkin membesar.
Anemia bisa fatal.
Bullous pemphigoid
Kulit
Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang merah, terbentuk di
kulit, gatal biasa,dengan pengobatan, prognosis baik.
Sindrom Goodpasture
Paru-paru dan ginjal
Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah, kepenatan, bengkak, dan
gatal, mungkin berkembang. Prognosis baik jika pengobatan dilakukan sebelum
kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.
Penyakit Graves
Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar tinggi
hormon thyroid (hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat,
tidak tahan panas, tremor, berat kehilangan, dan kecemasa. Dengan pengobatan,
prognosis baik.
Tiroiditis Hashimoto
Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan kadar hormon thyroid
rendah (hypothyroidism). Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar,
tidak tahan ke dingin, dan mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan hormon
thyroid perlu dan biasanya mengurangi gejala secara sempurna.
Multiple sclerosis
Otak dan spinal cord
Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel tidak bisa
meneruskan sinyal syaraf seperti biasanya. Gejala mungkin termasuk kelemahan,
sensasi abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan
sukar menahan hajat. Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan
pergi. Prognosis berubah-ubah.
Myasthenia gravis
Koneksi antara saraf dan otot
(neuromuscular junction)
Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah,
tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi
secara luas. Obat biasanya bisa mengontrol gejala.
Pemphigus
Kulit
Lepuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa mengancam hidup.
Pernicious anemia
Sel tertentu di sepanjang perut
Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin
B12. (Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel
syaraf). Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan
sakit kepala ringan. Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan
sensasi.
Tanpa pengobatan, tali tulang belakang
mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar
menahan hajat. Risiko kanker perut bertambah. Juga, dengan pengobatan,
prognosis baik.
Rheumatoid arthritis
Sendi atau jaringan lain seperti
jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantung
Banyak gejala mungkin terjadi. termasuk demam, kepenatan, rasa sakit
sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan
sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit.
Progonosis bervariasi
Systemic lupus erythematosus (lupus)
sendi, ginjal, kulit, paru-paru,
jantung, otak dan sel darah
Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat.
Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan,
dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-paru, atau jantung
mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada,
mungkin terjadi. Bercak mungkin timbul.
Ramalan berubah-ubah secara luas, tetapi
kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-kadang
kekacauan.
Diabetes mellitus tipe 1
Sel beta dari pankreas (yang memproduksi
insulin)
Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera
makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang.
Pengobatan seumur hidup dengan insulin
diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel
pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup. Prognosis bervariasi
sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan
hingga waktu yang lama.
Vasculitis
Pembuluh darah
Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu bagian badan
(seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal, paru-paru, atau usus) atau beberapa
bagian. Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal,
kehilangan berat badan, kesukaran pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit
kepala, kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan
ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi. Prognosis
bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan rusak. Biasanya, prognosis
lebih baik dengan pengobatan.
o Penyakit imunodefisiensi ( defisiensi
kekebalan)
Imunodefisiensi adalah suatu keadaan dimana sistem imun tidak berfungsi
dengan benar sebagaimana mestinya sebagai sistem pertahanan tubuh manusia.
Konsep : Kolonel Ogden Brutton 1952.
Penyakit imunodefisiensi terdapat hampir sebanyak komponen sistem
kekebalan itu sendiri. Banyak defisiensi bawaan lahir mempengaruhi fungsi
pertahanan kekebalan humoral maupun kekebalan yang diperantarai sel. Dalam
imunodefisiensi gabungan yang hebat ( severe combined immunodeficiency, SCID ),
kedua cabang sistem kekebalan itu tidak berhasil berfungsi.bagi orang yang mengidap
penyakit genetik in, kelangsungan hidup jangka pangajnnya memerlukan
transplantasi sumsum yang akan terus menyediakan limfosit fungsional. Untuk
jenis SCID, yang disebabkan oleh defisiensi enzim adenosin deaminase ( ADA ),
saintis medis telah bekerja untuk mengembangkan terapi gen di mana sel – sel
individu itu sendiri dikeluarkan, lalu di berikan gen ADA yang funsional, dan
dikembalikan ke dalam tubuh. Pengobatan ini akan menghilangkan bahaya dari
penyakit graft versus host ( cangkokan versus inang ). Akan tetapi, hasilnya
sampai saat ini belum dapat dipastikan karena pasien juga diberikan tambahan
dosis enzim tersebut.
Imunodefisiensi tidak selalu
merupakan suatu kondisi bawaan lahir, seorang individu bisa mengalami difungsi
sistem kekebalan di kemudian hari dalam hidupnya. Sebagai contoh, kanker
tertentu menekan sistem kekebalan, khususnya penyakit hodgkin, yang merusak
sistem limfatik.
Fungsi kekebalan yang sehat tampakanya bergantung pada sistem endokrin
dan sistem saraf. Pada kenyataannya semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa
cekaman fisik dan emosional dapat menghancurkan dan merugikan kekebalan. Hormon
yang disekresi oleh adrenal selam stres memepengaruhi sejumlah sel – sel darah
putih dan dapt menekan sistem kekebalan dengan berbagai cara lain.
Hubungan antara cekaman emosional dengan fungsi kekebalan juga
melibatkan sistem saraf. Beberapa neurotransmeter yangdisekresikan ketika kita
sedang santai dan bahagia bisa meningkatkan sistem kekebalan.
o HIV/AIDS
AIDS adalah penyakit imunodefisiensi (
defisiensi kekebalan) yang disebabkan oleh virus. Pada tahun 1981, para perawat
dan pekerja kesehatan di Amerika Serikat memperhatikan adanya peningkatan
jumlah kasus sarkoma Kaposi, yaitu sejenis kanker kulit dan pembuluh darah, dan
pneomonia Pneumocystis carinii, yaitu suatu infeksi akibat protozoa.
Peningkatan laju itu dapat terlihat karena kejadian penyakit ini jarang
ditemukan di antara populasi umum, penyakit ini diketahui terjadi terutama pada
individu yang menderita supresi atau tekanan sistem kekebalan yang sangat
hebat. Pengamatan ini mengahantarkan ke apa yang akahirnya dikenal sebagai
acquired immunodeficiency syndrome, atau AIDS. Penderita AIDS sangata rentan
penyakit oportunistik, yaitu infeksi dan kanker yang mengambil kesempatan saat
terjadi kelumpuhan sistem kekebalan. Prtozoa Pneumocystis adalah organisme yang
ada di mana – mana, dan organisme itu tidak menyebabakna pneumonia pada orang
yang memepunyai sistem kekebalan yang sehat. Pada oarang yang menderita AIDS,
penyakit oportunistik, kerusakan nerologis, dan penurunan fisiologis dan
berakhir dengan kematian.
Pada tahun 1983, sejenis retrovirus, yang sekarang disebut sebagai human
immunodeficiency virus ( HIV), telah diidentifikasi sebagai agen penyebab AIDS.
HIV merupakan patogen paling mematikan yang pernah di ketahui. Virus itu
kemungkinan berkembang dari virus alain yang mirip HIV di Afrika tenagh
kemungkinan telah menyebabkan kasus infeksi yang tidak dikenal dan AIDS disana
selama bertahun – tahun. Virus itu telah diidentifikasi dalam sampel darah yang
diawetkan .
Terdapat dua galur utama virus itu yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah
galur yang paling luas persebarannya dan lebih virulen. Kedua sel- sel yang mengadung molekul CD4 permukaan. Karena
CD4 berfungsi sebagai reseptor utama untuk virus itu, maka sel T helper sangat
rentan terhadap infeksi. Sel – sel lain yang lebih mengandung lebih sedikit
mengandung CD4, seperti makrofaga dan beberapa limfosit B, juga merupakan sel –
sel yang diinfeksi oleh HIV.
Sel – sel yang paling rentan terhadap patogenesis HIV adalah sel T CDA
dan makrofaga. Pada kedua jenis sel itu, masuknya virus tidak hanya memerlukan
CDA, namun juga molekul protein kedua yang disebut koreseptor. Koreseptor yang
baru – baru ini mencakup fusin, yang ditemukan pada sel T helper, dan CCR5 yang
ditemukan pada makrofaga. Fusin dan CCR5 secara normsl berfungsi sebagai
reseptor untuk berbagai kemokin. Ternyata memang, sebagian besar partikel HIV
yang dihasilkan dalam individu yang terinfeksi paling tidak berbeda sedikit
dari firus yang semula menginfeksi. Karena kehadiran virus yang ebrsifat
kronis, seseorang terus mempunyai antibodi antiHIV, mungkin sampai tahap akhir
AIDS, ketika kedua cabang kekebalan itu ambruk karen kehilangan sel – sel T
CD4. Satu kemungkinan adalah bahwa interaksi yang diperantai oleh HIV
menginduksi sel T untuk mengalami apoptosis tidak pada waktunya. Apoptosis
merupakan suatu mekanisme pengahancuran
diri yang dalam kedaan normal sanggat teratur dan sangat normal.
Pada saat ini, infeksi HIV tidak dapat diobati, dan perkembangan HIV
menajdi AIDS tidak dapat dicegah. Mesikpun kombinasi obat – obatan baru
menunjukkan harapan dalam memperlambat kemajuan ini, pengobatan itu sangat
mahal dan tidak tersedia bagi semua orang yang positif HIV. Obat – obatan yang
tampakanya memperlambat reflikasi virus ketika digunakan dalam berbagai
kombinasi, meliputi inhibitor sintesi DNA, inhibitor transkriptase balik dan
yang ketiga adalah suatu kelas obat baru yang disebut inhibitor protease.
Penularan HIV memerlukan transfer cairan tubuh yang mengdung sel – sel
terinfeksi, seperti semen atau darah. Hubungan kelamin yang tidak aman ( yaitu
tanpa menggunakan kondom) di antara laki – laki homoseksualv dan penularan
melalui jarum suntik yang tidak steril ( kahas pada orang – orang pengguna obat
– obatan intravena) merupakan penyebab kasus AIDS paling banyak yang dilaporkan
sejauh ini di Amerika Serikat dan Eropa. Akan tetapi, penuularan HIV diantara
hetero seksual ssemakin meningkat secara cepat sebagai akibat hubungan kelamin
yang tidak terlindungi dengan pasangan yang terenfeksi.
HIV tidak ditularkan melalui hubungan sosial biasa. Sejauh ini, hanya
satu kasus penularan HIV melalui ciuman yang telah dilaporkan, dan baik orang
yang menularkan virus itu dan yang menerimanya akan mengalami pendarahan gusi.
Kunci untuk mengenali resiko adalah mengingat bahwa virus itu paling baik dtularkan
melalui tranfer langsung sel yang terinfeksi, dan hal ini mungkin terjadi
ketika darah atau sekresi tubuh dilewati dari satu orang ke orang lain.
Penularan ibu ke anak telah dalam
terjadi dua cara yaitu penularan selama perkembangan janin terjadi pada hampir
25% pada ibu yang terinfeksi HIV, dan virus itu dapat juga lewat dari ibu ke
anak selama menyusui.
Pendekatan paling baik untuk memperlambat penyebaran HIV adalah dengan mendidik orang mengenai praktek
– pratek yang menularkan virus itu, seperti penggunaan jarum suntik yang tidak
steril dan hubungan kelamin tanpa menggunakan kondom. Meskipun kondom tidak
sepenuhnya menghilangkan resiko penularan HIV ( atau virus lain yang ditularkan
dengn cara yang serupa, seperti virus hepatitis B), namun kondom dapat
menguranginya. Setiap orang yang melaukan kelamin memulai vagina, oral, atau
anal dengan pasangan yang sebelumnya mempunyai pengalaman hubungan kelamin yang
tidak aman dengan orang lain selam dua dekade sebulmnya mempunyai resiko
terpapar ke HIV.
> Pengujian HIV
- Infeksi HIV dapat diketahui melalui
sebuah pengujian antibodi mengenai HIV. Ketika seseorang terinfeksi dengan HIV,
antibodinya dihasilkan dalam jangka waktu 3–8 minggu. Tahap berikutnya sebelum
antibodi tersebut dapat dideteksi dikenal sebagai "tahap jendela".
(window period)
- Pengujian dapat dilakukan dengan
mengunakan sampel darah, air liur atau air kencing.
- Pengujian yang cepat ada dan menyediakan
suatu hasil diantara 10–20 menit. Suatu hasil positif biasanya menuntut suatu
test konfirmatori lebih lanjut.
- Pengujian HIV harus dilakukan sejalan
dengan bimbingan sebelum–selama–dan sesudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar